Cantik mempesona sekaligus pekerja keras yang perkasa, itulah citra melambung wanita Bali di mata orang luar.Terkurung tradisi, ditindas laki-laki, sekaligus tak punya hak waris, itulah citra kelam perempuan Bali yang tak kunjung surut. Padahal, adat dan susastra-agama di Bali memposisikan wanita begitu mulia. Jadi pendeta bisa, raja pun boleh. Kenapa orang luar begitu ‘miring’ menilai adat Bali terhadap perempuan? Sisi mana sebaiknya diluruskan?
Jadwal kerja sehari-hari wanita Bali sangat padat. Tapi mereka tak mengeluh. Malah ada yang merasa lek (malu) kalau cuma diam. Bukan semata-mata karena keterdesakan ekonomi, melainkan juga ingin memuliakan hidup dengan jalan bekerja.
Alangkah padat jadwal kerja Ketut Werti. Ketika udara masih terasa dingin, pukul 04.30 pagi, wanita yang tinggal di wilayah Denpasar Selatan ini sudah masuk dapur. Menyalakan api, mendidihkan air. Di sela-sela itu, dia masih sempat mencuci piring makan dan gelas yang digunakan semalam oleh kedua anak dan suaminya.
Ketika air di panci mengepul, ia seduh kopi buat suaminya yang masih terlelap, seusai meronda air di sawahnya. Sesaat kemudian, dia tanak nasi. Sambil menunggu nasi matang, ia menyapu, dari lantai kamar hingga pekarangan rumah. Usai itu, dia belanja sayur-mayur ke warung dekat rumahnya, berlanjut hingga mengolahnya jadi lauk siap santap. Beres memasak, ia mempersiapkan saiban (sajen nasi dengan lauk ala kadarnya), lantas menghaturkannya sebagai wujud syukur ke hadapan Hyang Widhi, dari sanggah hingga ke pintu masuk pekarangan.