Beginilah kami haturkan sembah kami ke hadapan-Mu, Hyang Paramakawi . Karunia beras-Mu kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami ulat-ulat jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu, Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. . Maka, inilah SARAD persembahan kami Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk kayonan cerah makenyah kami letakkan di sisi kiri pamedal genah tawur di...
Setengah abad silam, di Desa Tangkup, Karangasem, seo-rang kakek (90 tahun) masesangi:kalau ada jembatan ke Tangkup, di atas Tukad Telagawaja, ia akan menghaturkan guling akelan (enam ekor). Lima belas tahun lalu jembatan itu dibangun, Kakek pun membayar sesa-ngi di Sukra Umanis Merakih, 25 Februari 2000. Hujan turun lebat, tak tersedia bale pemiosan untuk ida pedanda. Ketika cuma gerimis kecil tersisa, pemujaan dilangsungkan dari bak mobil pikup. Terbuktilah sabda Hyang Widhi: dengan cara apa pun, di mana pun, kamu menyembah Aku, Aku terima. Desa Tangkup kini bukan lagi daerah terisolir di Karangasem. Hyang Widhi sungguh ada di mana-mana.
Comments
Post a Comment