Skip to main content

Posts

Showing posts with the label No. 02

Om Swastiastu

SARAD

  Beginilah kami haturkan sembah kami  ke hadapan-Mu,  Hyang Paramakawi .  Karunia beras-Mu  kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami  ulat-ulat  jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu,  Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati  Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung  menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. .   Maka, inilah  SARAD  persembahan kami  Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk  kayonan  cerah  makenyah  kami letakkan di sisi kiri  pamedal genah tawur   di...

SARAD Klik

Surat itu dilayangkan dari nun jauh disana: Belgia. Pengirimnya, Adam Gunter, cuma butuh beberapa detik mengirim surat itu sampai di Redaksi SARAD, di Denpasar, Bali. Segera kami sadar, inilah surat elektronik ( e-mail ) pertama yang kami terima sejak kami   on-line   di jagat maya internet, minggu pertama Januari 2000.  Tekad membuat situs web muncul begitu kami merancang SARAD edisi cetak. Usul itu dilontarkan Made Widnyana Sudibya, yang menekuni website sejak dua tahun terakhir. Dialah yang kemudian menjadi  webmaster  kami. Sejumlah  website  sudah digarap rekan yang kami akrab sapa Pak Wid ini. Jika  Anda seorang peselancar di dunia maya, lantas bertemu dengan  baliethnic.com , itulah salah satu situs rancangan Pak Wid.  ‘Tukang insinyur’ jebolan Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Unud ini, mengaku girang tak alang kepalang ketika sejumlah e-mail lainnya masuk susul-menyusul. Dia pun sigap membalas setiap surat, sama sigapnya dengan...

Lulus Ujian, Sunari Ngidam

Judul Buku  : Sunari   Pengarang  : I Ketut Rida   Penerbit  : Yayasan Obor, Jakarta   Tahun, tebal  : 1999, 82 halaman Setelah 60 tahun lebih, kini novel berbahasa Bali terbit lagi di Jakarta. Ceritanya ringan, namun baik untuk belajar bahasa Bali. Yayasan Rancage yang berpusat di Bandung pun langsung memberi Hadiah Rancage Tahun 2000. Novel Sunari karya I Ketut Rida (1939) merupakan salah satu karya penting dalam sejarah sastra Bali modern karena dua alasan. Pertama, novel Sunari muncul justru ketika perkembangan sastra Bali modern (seperti juga umumnya sastra berbahasa daerah di daerah lain di Nusantara) dilanda rasa keprihatinan yang mendalam karena jarangnya karya sastra yang terbit dan tipisnya sambutan masyarakat. Kehadiran Sunari setidaknya menyuntikkan rangsangan baru untuk menyemarakkan perkembangan sastra Bali modern memasuki milenium baru.  

Pakelem

 “Alam semesta dan jagat manusia itu punya unsur raga sama. Itulah: Pretiwi (bumi), Apah(air), Teja (sinar), Bayu (angin), dan Akasa (eter). Dinamakan Panca Mahabhuta, Anakku.” Begitu Guru senantiasa mengajarkan kepada kami.

Siwaratri, bukan hari Penebusan Dosa

  Tanya Jawab Prihal Tatwa: I Gede Sura Batara atau Dewa? Saya ucapkan selamat atas terbitnya majalah SARAD. Membuka-buka halaman demi halaman, saya sangat senang. Inilah kira-nya majalah yang sudah lama saya dambakan. Isinya sejuk, tidak ada sensasi, dan banyak memberikan tuntunan pendalaman makna baik terhadap agama maupun budaya Bali. Karena Redaksi juga menyediakan konsultasi berkaitan dengan masalah agama, maka pada kesempatan kali ini saya ingin mengajukan beberapa per-tanyaan.  Kalau dicermati di masyarakat Bali, tampaknya hingga kini masih jarang digunakan istilah dewa. Yang lebih sering digunakan adalah batara. Adakah perbedaan istilah dewa dengan batara? Kenapa di masyarakat Bali lebih sering digunakan istilah batara, sedangkan di buku-buku justru lebih sering digunakan istilah dewa. Di masyarakat, misalnya, digunakan nama Batara Brahma, Batara Wisnu, Batara Siwa. Demikian juga halnya dalam seni pertunjukan, lebih sering digunakan batara. Namun di buku-buku ...

Busung Bali Sulit Dicari

Orang Bali sangat tergantung pada busung (janur). Kebutuhan busung pun tinggi, sehingga harus didatangkan dari Jawa dan Lampung. Tapi ibu-ibu lebih suka busung Bali, karena lebar, lemes, dan mudah menjahitnya. Tapi, busung Bali semakin sulit dicari.   Menjelang pukul sembilan malam di Pasar Badung. Para pedagang  sayur yang mengangkut barangnya dengan pikup mulai memasuki areal parkir, beriringan dengan mobil pengangkut buah-buahan. Pikup sayur datangd ari Baturitu, Tabanan. Yang mengangkut buah dari Jember. Sebuah pikup L300 cokelat tua kemudian masuk. Sopir memutar kendaraannya ke barat, masuk ke utara, lalu berhenti di bagian timur parkir. Kondektur membuka terpal, janur-janur yang tersusun rapi pun tersembul. Orang-orang yang menunggu sedari tadi merubungnya. Mereka merogoh dompet, menyerahkan uang. Kondektur itu menepiskannya. “Sabar Bu, Pak, sabar, nanti petugas marah,” ka-tanya sembari menggulung terpal.  

Pelopor Tedung dari Taensiat

Karena teguh mempertahankan kualitas, pajeng buatan Made Kara tersebar di banyak belahan dunia. Presden Sukarno pun  kagum dengan pajeng buatannya. Kini, Kara masih bisa melihat pajeng buatannya yang berumur 30 tahun, seumur dengan perjalanan usahanya membuat pajeng Bali Falsafah bisnis mengajarkan untuk mengambil setiap kesempatan bila ada jalan untuk melakukannya. Tapi ini tidak berlaku untuk Made Kara, pembuat pajeng asal Denpasar ini. Padahal jika ia mau kesempatan besar itu ada padanya. Pengalamannya dalam pembuatan pajeng pesanan Bung Karno saat pelaksaaan Asian Games di Jakarta tahun 50-an dulu bisa menjadi modal bagi usaha pajeng yang ia tekuni. Awalnya Made Kara adalah seorang pragina arja. Ia banyak dibentuk oleh seniman-seniman besar seperti I Gusti Ngurah Redok, I Gusti Made Riuh (Penatih), hingga Nyoman Kakul di Batuan, Gia-nyar. Hanya saja nasibnya tak sepopuler guru-gurunya. Kara dikenal tidak sebagai pragina tapi sebagai pembuat pajeng prada.  Api tak jauh dar...

Merengkuh Untung dari Bisnis Tedung

Asian Games 1961 di Jakarta menyulap tedung dari perangkat upa-cara menjadi komoditi bisnis. Payung khas Bali ini kini sudah bisa didapatkan di mana-mana di seluruh dunia. Bali itu semarak. Jempana, tedung, kober, umbul-umbul, pajeng, berseliweran di mana-mana, setiap waktu. Hotel-hotel menggunakan  tedung dan pajeng (payung) sebagai trade mark promosi produk mereka. Pajeng dengan warna perada gemerlap dipajang di lobi, menyapa wisatawan untuk memasuki atmosfir Bali. Pajeng yang semula digunakan untuk nedungin Ida Batara di pura, kini digamit untuk pariwisata. Dalam brosur –brosur  hotel dan produk jasa pariwisata, penggunaan pajeng  seolah merupakan suatu keharusan sebagai duplikat identitas Bali untuk menambah nilai jual produk yang ditawarkan.  Layaknya koboi untuk Amerika. Pajeng memang identik dengan karakter seni orang Bali, yang membuat Presiden Sukarno kesengsem, lalu menjadikan pajeng sebagai identitas Indonesia di arena Asian Games di Jakarta, 1961. Seja...

Tak Cukup Sujud, Pedharman Dipugar

Tiga tahun belakangan pembangunan pura-pura padharman di Besakih makin marak. Menepis  kesan jor-joran dan eksklusif, masing-masing soroh saling bantu-membantu. Bahkan ada soroh yang sampai membantu proposal segala. Gusti Nyoman Dharma, pemuda yang lama diperantauan ini tampak bingung memasuki pelataran pura. Le-bih dari enam tahun ia tak pernah pedek tangkil ke Besakih termasuk pura  padharmannya , Pura Padharman Arya Kenceng. Maklum saja, pemuda asal Tabanan kota ini selepas kuliah di Bandung tak langsung mudik, tapi mengadu nasib di kota sejuk Bandung, hingga jarang tangkil. Dalam hati ia tak yakin pura yang ia masuki adalah pura seperti yang ia baca pada sebilah papan didepan pura. ‘’ Patut niki pura padahrman Arya Kenceng ,’’ tanyanya meyakinkan pada pemedek yang juga tangkil. Meski telah terima jawaban, Dharma tak langsung  masila , ambil  canang  dan dupa seperti  pemedek  lainnya. Ia bimbang. Peralatan sembahyangnya ia taruh, lantas ia jalan...

Menelusuri Jalan Leluhur di Blitar

Pura kahyangan jagat berdiri di Blitar. Arsitekturnya khas Jawa Timur. Padmasana-nya menggunakan dasar ular kobra, bukan naga. Selain sebagai tempat persembahyangan, pura ini memang dimaksudkan untuk menggali kembali kebudayaan Hindu di Jawa yang telah lama terkubur. Ada kesan sangat lain menyusup ke sanubari ketika kami, sejumlah mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, mengikuti upacara piodalan di Pura Penataran Prabha Bhuwana, Blitar, Jawa Timur. Sekilas memang mengingatkan kami pada upacara-upacara piodalan di pura-pura di seantero Bali. Namun, segera kami tersadar, saat itu, kami bukan menjejakkan kaki di tanah Bali, melainkan di sebuah daerah yang dikenal sebagai tanah kelahiran mendiang Presiden RI Pertama, Soekarno  —ratusan kilometer di sebelah barat tanah Bali.  Alunan gamelan yang mengiringi gemulai tarian Jawa memberi nuansa lain. Kidung-kidung dalam bahasa Jawa yang mengiringi Rama Pandita, pemimpin upacara setempat, menguncarkan bait-bait mantra pengantar ...

Situs Air dengan Sebelas Tirta

Danau Batur, memang, sebuah si- tus air terlengkap dalam jagat agraris Bali. Ada sebelas sumber air (tirtha) di seputar danau ini. Masing-masing: Telaga Waja, Danu Gadang, Danu Kuning, Bantang Anyud, Pelisan, Mangening, Pura Jati, Rajang Anyar, Manik Bungkah (Toya Bungkah), Mas Mampeh, dan Tirtha Prapen. Masing-masing sumber air ini memiliki fungsi sendiri-sendiri, sekaligus menjadi pemasok air sungai-sungai utama di Bali. Danu Kuning, misalnya, memasok (ngecok) ke Tukad Melangit di Klungkung dan Tukad Pakerisan.  Sedangkan Danu Gading memasok air ke Tukad Bubuh, Telaga Waja ngecokin Tukad Telaga Waja yang memasok air ke subak di Karangasem dan Klungkung, demikian seterusnya. Pasokan air inilah yang kemudian menjadikan subak-subak di wilayah yang dialiri oleh sungai-sungai bersangkutan akhirnya nyungsung (bertanggung jawab) ke Pura Danu di Batur, Beratan, Tamblingan, atau malah Gunung Agung langsung. Artinya, “Subak dengan kewajiban-kewajibannya dibagi berdasarkan sumber air di...

Bebotoh Pantang Disapa

Boleh jadi pulau yang paling banyak punya julukan adalah Bali. Ia dijuluki Pulau Surga, Pulau Dewata, Pulau Kahyangan, tempat para dewa dan bidadari memberi wahyu, kemolekan, cinta, dan kasih sa-yang. Ketika dunia porak poranda oleh perang, perkelahian, atau dijejali perseteruan merebut uang dari kerja pabrik-pabrik, Bali dijuluki Firdaus Terakhir, taman yang sepenuhnya menjanjikan kedamaian. Orang-orang kaya di negeri maju, yang sering dipusingkan oleh berbagai persoalan duniawi, berbisik kepada rekan-rekannya, “Datanglah ke Bali sebelum mati.”  

IB Adnyana Manuaba - Tak Lupa Kawitan

Sulit sekali melupakan kawitan saya di Unud,” ujar Prof Drs IB Adnyana Manuaba geleng-geleng kepala. Lho, memangnya Unud itu milik keluarga? Guru besar ergonomi, anggota MPR RI dari utusan daerah Bali, itu pun bercerita begini.   Usai Sidang Umum MPR, Oktober 1999 lalu, sebenarnya Adnyana terpilih kembali sebagai anggota Badan Pekerja  (BP) MPR, berkat kepiawaian olah intelektualnya. Klausul tentang pariwisata dalam Tap MPR tentang GBHN, secara utuh sampai titik komanya, merupakan buah pikirannya. “Ini sejarah bagi orang Bali,  karena hampir selama tiga puluh tahun tahun terakhir hal itu tak pernah ada,” katanya bangga. Lantas apakah Adnyana Manuaba menerima posisi itu?   “Tidak saya menolak,” katanya kepada SARAD.  Sebabnya, stafnya di S2 dan S3 yang dia rintis mengancamnya. “Kalau Bapak terpilih lagi sebagai  anggota BP MPR, kami akan bubarkan program S2 dan S3 ini,” ujar Adnyana menirukan ancaman anak buahnya. Jika ia terpilih lagi, berarti ia harus teru...

Ketut Sutarmin - Api Cinta Antonio Blanco

Ada dua Ronji yang dibalut kesedihan ketika pelukis Antonio Blanco meninggal di Ubud. Yang pertama adalah Ni Ronji yang dinikahi Blanco, ketika pelukis itu terpana oleh eksositisme pedesaan Bali di tahun 30-an. Ni Ronji yang kedua adalah Ketut Sutarmin (25) yang memerankan tokoh Ni Ronji dalam sinetron Api Cinta Antonio Blanco garapan Ja-tayu Cakrawala Film.   Sutarmin, yang juga sering dipanggil Ketut Melati, tak punya hubungan darah dengan Blanco, “Tapi karena memerankan Ronji, saya jadi dekat dengan dia,” tutur Ketut. “Saya sedih ketika mendengar berita dia me-ninggal. Tapi dia sudah sangat tua, ya?” katanya.   Ketut, anak kedelapan dari sepuluh bersaudara, tak pernah mimpi jadi bintang sinetron. Ia coba-coba saja melamar setelah membaca iklan Jatayu memerlukan gadis Bali asli untuk memerankan Ni Ronji. Ia pun mengikuti tes, menyingkirkan sejenak pekerjaannya sehari-hari membantu kakaknya di salon di Kuta. Ia menyisihkan ratusan pelamar, “Karena kata mereka, saya memiliki s...

Ketut Siandana - Tat Twam Asi

Sumber photo :  sawidji.com Seorang lelaki siteng acap kali muncul di karya-karya piodalan Pura Sad Kahyangan. Tubuhnya yang kekar membuat ia gampang ambil bagian dalam kerja yang memerlukan ketahanan fisik. Misalnya, ketika melasti ke Pantai Klotok saat upacara Panca Bali Krama tahun lalu, atau tatkala mendaki Puncak Mangu, nedunang Ida Batara Luhur Puncak Mangu. Ia selalu sigap, dan kuat. “Ini kegiatan yang sangat membahagiakan,” ujar laki-laki itu, Ketut Siandana   Sulung dari tiga anak laki-laki Wayan Kari ini selalu menyempatkan waktu tangkil ke pura, di tengah kesibukannya mengurus banyak perusahaan. Ia menggeluti mulai dari usaha toko kelontong sampai pelayaran (cruise) untuk wisatawan asing. Semua bisnis itu berpayung di bawah bendera Waka Gae Selaras. Semakin menukik ia ke kegiatan usaha mengurus orang asing,  justru kian kuat hasratnya berada di tempat-tempat suci. Ia ingin, usaha yang digelutinya sejak 1990, tetap mempertahankan kebaliannya. “Usaha-usaha kami m...

Jero Mangku Kusuma - Pawisik

Jika ingin tahu gairah bajang teruna kota menghadap Hyang Widhi, datanglah ke Pura Jagatnatha, di jantung Denpasar, saat purnama tilem. Inilah pura idaman kawula muda usia, pelajar, mahasiswa, dan pekerja belia. Banyak yang masih malu-malu, tak sedikit yang agresif, gesit, saling cubit, manja. Meriah. Yang paling tahu persis tingkah mereka tentu pemangku di Pura Jagatnatha: Jero Mangku Kusuma. “Kita harus memahami keinginan bajang teruna kita,” ujarnya teduh.   Sudah 20 tahun ia mengabdikan diri di Jagatnatha. Ia pun fasih karakter daa teruna Denpasar. Yang dia peroleh adalah, “Melihat anak-anak muda itu, kita bisa meraba seperti apa wajah Hindu di masa depan,” katanya. Ada remaja yang sangat rajin tangkil, sehingga Mangku hafal betul raut wajahnya. Ada pula yang cuma ikut-ikutan ke pura. “Tapi jangan buru-buru menyalahkan mereka. Semua itu proses pencarian untuk bertemu Sang Pencipta,” ujar laki-laki yang fasih berbahasa Belanda, Spanyol, Perancis, Ingggris, dan Jerman ini. Jika a...

Ida Ayu Mas Agung - Membangun Harmoni

Banyak orang mendambakan harmoni, tapi Dra Ida Ayu Mas Agung tidak. Ia justru menuduh harmoni telah menjadikan masyarakat terbuai, terlena, terlelap, tak berbuat apa-apa, dan akhirnya loyo.    Ia mencontohkan pulau kelahirannya, Bali, yang ternyata telah dikungkung dogma harmoni. Ia menuduh pembangunan Bali yang menitikberatkan pada sektor pariwisata, mengakibatkan kerugian bertumpuk-tumpuk. Salah satu penyebab kerugian  adalah dogma harmoni itu tadi.    Hidup bergelimang harmoni  ter-nyata dengan gemilang menenangkan orang Bali. Orang Bali benar-benar adem. Mereka pun takut keluar dari buaian keharmonisan itu, takut dituduh penyebab disharmoni. Akibatnya, orang Bali gampang direkayasa untuk kepentingan macam-macam dengan dalih harmoni. “Itulah kita sebagai orang Bali. Sudah terbius oleh opium harmoni,’’ ujarnya.   Ada jalan keluar untuk menghadapi buaian ini, Dayu? Ia menawarkan agar orang Bali mencoba membangun harmoni yang tidak membuat mereka terle...

Hindu tidak Mengenal Pembakuan Ritual

Tanya Jawab Prihal Upakara:   I Gusti Ketut Widana     Penjor Galungan tak Sama Om Swastyastu, Sewaktu Galungan lalu saya menemukan di lapangan, ada umat Hindu di Bali yang memenjor, ada pula yang tidak memenjor walaupun mereka sama-sama tinggal dalam satu wilayah desa adat. Juga ada dalam satu kompleks perumahan. Kenapa bisa demikian? Apakah ada sanksinya bagi umat yang tidak memenjor? Atau, apakah setiap Galungan diwajibkan  memenjor ?  Bagaimana penjor yang lengkap dan benar menurut sastra-agama? Unsur-unsur apa saja yang minimal harus ada dalam sebuah penjor? Bagaimana kalau unsur-unsur itu tidak ada, apa yang bisa digunakan untuk mengganti? Kain, misalnya, ada yang menggunakan kain ada juga yang tidak di pucak penjor. Warnanya pun tampaknya bebas, ada kain warna kuning, ada juga kain warna putih. Apakah semuanya boleh-boleh saja, atau ada standarnya? Om Santi, Santi, Santi, Om.  Putu Gede Kusumanegara Nusa Dua, Badung.

jro mangku !, titiang nunas tirtha.

jro mangku !, titiang nunas tirtha.

Bali Kekurangan Air ?

Fungsi air di Bali berkembang sesuai zaman. Kalau dulu air untuk memenuhi kebutuhan irigasi sektor pertanian, kini meluas termasuk untuk pariwisata, mulai dari mengisi ribuan kolam renang di hotel-hotel hingga menyirami rumput-rumput lapangan golf. Dua yang terakhir ini sangat rakus air sepanjang tahun. Kalau dulu air untuk memanjakan petani, kini tugasnya bertambah: memanjakan turis. Akibatnya, konflik pemanfaatan air pun tak bisa dihindari. Di tengah ketatnya rebutan pemakaian air, muncul begitu banyak keluhan dan kekhawatiran akan terjadinya krisis air. Dalam jajak pendapat secara kualitatif (lewat interview) bulan Juni-Agustus 1998 lalu, terungkap: hampir  50 % (14 dari 32) intelektual Bali menyebutkan masalah air sebagai salah satu masalah pokok Bali di masa depan. Mereka menduga, permasalahan air ini berkaitan dengan booming pariwisata awal 1990-an. Fasilitas pariwisata mendapat prioritas menggunakan air bersih produksi PDAM melebihi masyarakat umum. Secara teori tampaknya ...

Pemujaan Dewa Air

“ … Puja dan sujud hamba waktu pagi dan malam hari, O, Narmada Dewi, bebaskanlah kami dari pengaruh bisa naga….” Begitulah kepatutan manusia memuja Narmada Dewi, yang mengalirkan air Sungai Narmada yang suci. Upacara dan pemujaan itu digelar saban pagi dan malam hari. Tujuannya, agar air senantiasa ber-mana dalam arti menyehatkan dan menyuburkan. Ini disimbolkan (di-nyasa-kan) dengan telah dibebaskannya bisa naga, sebagaimana kutipan Visnu Purana di awal tulisan ini. Dalam sumber-sumber ajaran tattwa, baik dalam purana (terutama Visnu Purana dan Shiva Purana) maupun sumber lontar (riptaprasasti) di Bali, air memang dinyatakan sebagai wujud fisik Dewa Wisnu.