Skip to main content

Posts

Showing posts with the label No. 03

Om Swastiastu

SARAD

  Beginilah kami haturkan sembah kami  ke hadapan-Mu,  Hyang Paramakawi .  Karunia beras-Mu  kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami  ulat-ulat  jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu,  Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati  Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung  menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. .   Maka, inilah  SARAD  persembahan kami  Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk  kayonan  cerah  makenyah  kami letakkan di sisi kiri  pamedal genah tawur   di...

Lelipi Ngentut

Siapa pun percaya, kalau Pura Dalem Muter Kesiman, Denpasar, yang letaknya di sebelah timur Sungai Ayung, itu tenget (angker). Tempat suci ini punya benang merah sejarah yang semestinya diketahui dan dipahami oleh orang-orang Bali. Pura ini telah hadir dalam peradaban Bali Kuna, berperan penting dalam pemerintahan raja-raja di Bali. Tempat ini sebuah wilayah keramat hingga sekarang, kendati rumah penduduk dan restoran menge-pungnya. Di selatan pura ini adalah hutan lebat sampai ke daerah Sanur. Hutan ini disebut Petegaling Megalak, yang sangat angker, keramat. Daerah inilah yang kini menjadi Pa-dang-galak. Oleh  Raja Bedaulu, Asta Sura (dikenal dengan gelar Sri Tapuk Ulung, Batuireng), Petegaling Megalak dipercayakan kepada Ki Gudug Basur sebagai penguasanya.  Ketika Majapahit menyerbu Bali, patih Arya Wang Bang ditugaskan menundukkan Kesiman. Tapi Ki Gudug Basur tak mau takluk. Pertempuran sengit terjadi di Petegaling Megalak antara laskar Majapahit me-lawan prajurit Bali. Di...

Cosss.... Celeng Hilang Makecos

Wayan Rupa, perajin ukir kayu dari Sukawati, contoh orang Bali yang pintar mensyukuri hidup. Ber-awal dari hanya bekerja sebagai tukang ukir pada seorang majikan, dua tahun kemudian Wayan sudah mandiri seiring dengan mengalirnya pesanan ukiran dan bangunan Bali.  Menapaki usia 65 tahun, hidup Bapa Wayan kian enteng karena telah memiliki usaha pemborong bangunan Bali dan sebuah art shop yang dikelola anak lelaki-nya. Dia tidak menampik kalau pembangunan hotel wisata telah memberi jalan baru pada kehidupannya yang lebih sejahtera. “Walau begitu, saya tidak mau diperbudak pariwisata.  Saya harus tetap lebih meningkatkan bakti kepada Hyang Widhi,” begitu tangkisnya jika ada yang bertanya mengapa ia lebih memilih pariwisata ketimbang jadi petani.  Bapa Wayan yakin, wisatawan datang ke Bali karena Bali unik, dan keunikan Bali adalah ciptaan Hyang Widhi. Karena itu, melaksanakan ajaran agama adalah jalan untuk berterimakasih kepada-Nya agar keunikan Bali dipelihara, sehingga wis...

Rindu Luk Gregel Jero Suli

Alunan tembangnya menyihir penonton, membuat penikmatnya larut dalam kepiluan atau bertempik gembira. Ia penembang yang tak ada duanya, tak punya penerus, papa di hari tua. Drama tari arja  itu produk orang kampung. Untuk menikmatinya dibutuhkan suasana dusun: tak ada listrik, ja-lan tanah, rimbunan pohon, suara jang-krik, dan desiran angin. Kalangan, arena pertunjukan, tak punya batas dengan penon-ton. Seni pentas klasik ini sungguh-sungguh milik rakyat. Dari kesenian rakyat itulah Jero Suli lahir, dibesarkan, disanjung-sanjung, sebelum pertengahan ‘70-an. Kemudian dilupakan, setelah drama gong menggilasnya. Arja, opera Bali itu, hanya diseminarkan, ditelaah, dipelajari, dan ditangisi keruntuhannya. Dalam  ribuan kali perbincangan itu selalu muncul nama Jero Suli, menjadi legenda seni pentas yang begitu kaya nilai artistik itu. Pengiringnya, gamelan geguntangan, yang sangat sederhana, tapi begitu ritmik dan romantik, kini diobrak-abrik gong kebyar yang berdenyar-denyar. Zaman...

Ke Petulu, Kokokan Bercumbu

Setidaknya ada lima spesies Kokokan tidur saban malam di Petulugunung: Ardenola speciosa (blekok sawah), Bubulcus ibis (kuntul kerbau), Egretta alba (kuntul putih berseri), Egretta intermedia (kuntul perak), dan Egretta garzetta (kuntul perak kecil). Populasi mereka ribuan. Sebuah tim peneliti dari Universitas Udayana memperkirakan jumlahnya 8.000 ekor. Tapi peneliti lain memperkirakan ll8.500 ekor lebih. Tapi ada juga peneliti yang memperkirakan populasinya tak lebihdari 6.000 ekor. Tiga jenis burung itu: Bulbulus ibis, Egretta garzetta dan Egretta intermedia merupakan satwa yang dilindungi oleh undang-undang yang dikeluarkan Menteri Kehutanan tahun 1991. Burung-burung berleher jenjang ini saban sore dan pagi membuat Petulugunung hiruk pikuk. Apalagi di musim kawin, yang berlangsung sepanjang September-Oktober. Bulan Desember mulai tampak anak-anak kokokan disapih induknya. Januari, anak-anak kokokan mulai belajar terbang. Banyak yang tak kuat mengepakkan sayap, jatuh terpelanting ke ...

Rezeki Kokokan di Petulu Gunung

Ribuan kokokan telah mengubah wajah Dusun Petulugunung. Desa jadi terkenal, perekonomian warga pun membaik. Satu contoh kelimpahan rezeki dari kemurahan dan keajaiban alam. Prahara tahun 1965 yang berdarah-darah membuat banyak desa di Bali mencekam dan genting. Ribuan orang komunis, yang benar-benar kader atau yang cuma ikut-ikutan, digorok di jalan-jalan. Saudara membunuh kerabat, teman menghabisi kawan. Rumah-rumah dibakar, tempat ibadah keluarga dihancurkan. Banyak anak-anak tiba-tiba menjadi yatim, ribuan wanita menjanda. Tak seorang pun orang Bali ingin kekejian itu hadir kembali. Tapi Dusun Petulugunung di Ubud, Gianyar, akhir 1965 justru menerima anugerah alam. Ketika itu, bersamaan dengan piodalan di Pura Desa, ribuan kokokan (bangau) “menyerbu” dusun itu: gaduh, berteriak-teriak, hinggap di pohon-pohon besar yang rindang. Orang-orang yang ramai di Pura Desa tercenung menyaksikan pemandangan yang mereka anggap sebagai sebuah keajaiban. Tak seorang pun tahu dari mana datangnya r...

Tak Dosa, Pakai Busana Warna-warni ke Pura

Konsultasi Susila Ida Bagus Wijaya Kusuma Siapa Berhak Diberi? Kalau sedang makan di tempat makan terbuka, seperti di lesehan, saya sering didatangi pengemis. Ada anak-anak, ada ibu-ibu setengah umur. Ada juga wanita dengan menggendong bayinya. Begitu juga kalau sedang mengendarai kendaraan saat  lampu merah, jendela mobil adakalnya digedor orang yang berlaku seperti pengemis. Sejauh ini, saya tak pernah memberi sepeser pun kepada mereka. Soalnya, saat tinggal di luar Bali saya sering melihat pengemis pun ada sindikatnya, ada yang mengorganisasi mereka. Karena tak pernah memberi kepada pengemis itu, saya sering dibilang pelit oleh saudara-saudara saya.  Benarkah tindakan saya atau keliru? Apakah setiap pengemis atau orang yang minta kepada kita mesti kita berikan, walaupun dia disuruh orang lain, misalnya? Apakah itu tidak berarti akan mendidik orang jadi malas? Apakah ini tidak dosa? Adakah etikanya untuk memberikan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan? Bagaimana kriter...

Pedanda Bisa Raja pun Boleh

Adat Bali memposisikan laki dan perempuan setara dan berpasangan. Masing-masing punya tugas dan kewenangan sendiri. Mau jadi pendeta bisa, menjadi raja pun tak dilarang.     Sungguh kasihan wanita Bali. Hidupnya didominasi laki-laki. Mereka tak  berhak mendapatkan warisan. Hanya laki-laki yang berhak atas warisan. Bali itu diskriminatif!”   Tanpa hujan tanpa angin, seorang pe-ngacara wanita yang juga dikenal sebagai aktivis perempuan di Jakarta tiba-tiba saja membanjirkan tudingannya. Karena diberondongkan dalam suatu jumpa pers, kontan saja media massa cetak maupun elektro-nik mengutip omongan sang pengacara yang meluncur layaknya air bah itu, belum lama berselang. Dan, kesimpulan semacam ini bukanlah yang pertama kali dilontarkan orang luar terhadap Bali. Tapi, benarkah adat Bali berlaku tak adil bagi wanita?  

Mimpi Luwih Luh Luwes

Pengusaha kerajinan perak, Desak Made Suarti, sepakat wanita Bali dikatakan sudah memiliki potensi kuat. “Tiang lihat wanita Bali sudah memiliki kekuatan, semangat, kecerdasan, kelembutan  sebagai seorang luh luwih (wanita utama) dan luh luwes. Tinggal ditingkatkan untuk memasuki dunia mo-dern,” paparnya.     Wanita Bali asal Gianyar yang disun-ting pria Amerika ini menilai, perempuan modern di Eropa dan Amerika, memang memiliki kecantikan, namun cenderung melupakan sisi kewanitaannya. “Mereka lupa mengontrol diri terhadap apa yang semestinya ia lakukan sebagai seorang wanita,” katanya. Sebaliknya, wanita Bali meskipun masuk jagat modern,  tetap punya jati diri, seperti kesetiaan pada suami, mendidik anak, dan bertanggung jawab terhadap keluarga.    

Di Antara Tugas dan Pesona

Wanita Bali banyak dikagumi orang asing sejak 1920-an. Bahkan disebutkan sebagai wanita asli tercantik di dunia. Belakangan, peneliti luar menilai wanita Bali terdesak dan dieksploitasi laki-laki. Bagaimana pendapat wanita Bali dan peneliti lokal? Wanita asli tercantik di dunia. Begitulah predikat yang pernah disematkan orang asing terhadap wanita Bali. Adalah Helen Eva Yates dalam bukunya, Bali: Enchanted Isle (Bali, Pulau yang Memikat), yang terbit 1933 di London, memberikan penilaian gemilang itu. Pujian tersebut dicetuskan setelah Helen melihat kulit sawo matang wanita Bali yang mengkilat disiram sinar matahari, karena tanpa baju. Helen melenggang di Bali sebagai turis tahun 1920-an. Wanita Bali memang memikat perhatian pengamat asing sejak 1920-an. Tak mengherankan, bila banyak buku-buku sarjana asing yang mengungkapkan soal wanita Bali. Baik karena kecantikannya maupun tanggung jawabnya dalam pekerjaan rumah dan ritual. Namun, di balik puja-puji tentang wanita Bali, Helen jug...

Tiang Peradaban Bernama Wanita

Kitab Manawadharmasastra menyuratkan: Di mana wanita dihormati di sana dewa-dewa merasa senang. Tetapi di mana wanita tidak dihormati, maka tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala. Maka, tak berlebihan bila wanita disebutkan sebagai tiang peradaban.   luh luih    luh luu    luh galuh    bacakan luh    ne patut suluh   Adalah Made Sanggra (74), penyair Bali modern yang juga tokoh veteran, menulis puisi jenaka sarat makna itu dalam buku Kidung Republik, terbitan Yayasan Wahana Dharma Sastra, Sukawati, Gianyar, 1997. Judulnya: Luh (Wanita).  Bagi Anda yang lihai berbahasa Bali, deretan lima baris kata tersebut tentulah bukan semata-mata akrobat kata-kata. Sebalik-nya,  justru mengurai makna wanita dalam visi Bali secara mendalam:  /wanita utama (luh luih)/ wanita hina dina (luh luu)/ wanita ayu mempesona (luh galuh)/ itulah ragam wanita (bacakan luh)/ yang patut dijadikan cermin (ne patut suluh)// ....

Yang Tuyuh Bekerja demi Kemuliaan Hidup

Cantik mempesona sekaligus pekerja keras yang perkasa, itulah citra melambung wanita Bali di mata orang luar. Terkurung tradisi, ditindas laki-laki, sekaligus tak punya hak waris, itulah citra kelam perempuan Bali yang tak kunjung surut. Padahal, adat dan susastra-agama di Bali memposisikan wanita begitu mulia. Jadi pendeta bisa, raja pun boleh. Kenapa orang luar begitu ‘miring’ menilai adat Bali terhadap perempuan? Sisi mana sebaiknya diluruskan? Jadwal kerja sehari-hari wanita Bali sangat padat. Tapi mereka tak mengeluh. Malah ada yang merasa lek (malu) kalau cuma diam. Bukan semata-mata karena keterdesakan ekonomi, melainkan juga ingin memuliakan hidup dengan jalan bekerja. Alangkah padat jadwal kerja Ketut Werti. Ketika udara masih terasa dingin, pukul 04.30 pagi, wanita yang tinggal di wilayah Denpasar Selatan ini sudah masuk dapur. Menyalakan api, mendidihkan air. Di sela-sela itu, dia masih sempat mencuci piring makan dan gelas yang digunakan semalam oleh kedua anak dan...

Tuah Wanita Bali

Laki-laki menjadikan wanita sengsara, anak membuatnya bahagia. Sungguh? Betapa menyesakkan kisah ini, tapi ia bisa menjadi ungkapan dari zaman ke zaman: anak lebih dibutuhkan oleh seorang ibu tinimbang oleh sang bapak. Laki-laki menaruh pengharapan di banyak tempat, di sembarang waktu. Ia punya peluang tanpa batas untuk berkuasa, berkelana kemana pun ia ingin, menyentuh apa pun yang ia mau, dan mencicipi apa saja, siapa saja, yang ia suka. Tapi wanita? Pengharapannya cuma satu: anak.  Putra pengharapan yang sangat menyayangi ibu itu kemudian punya tuntutan gamang: ia ingin istrinya seperti ibunda. Si istri pun tumbuh di tengah mahligai yang sempit dan kaku. Ia merintih karena harus menjadi wanita yang takluk. Ia menderita seperti dikutuk sejarah: sengsara oleh laki-laki yang dibentuk ibunda. Kisah pun kembali ke awal: wanita itu disengsarakan laki-laki, dan berharap anak akan membahagiakannya. Sungguh celaka, wanita juga disakiti oleh kaumnya.