Alunan tembangnya menyihir penonton, membuat penikmatnya larut dalam kepiluan atau bertempik gembira. Ia penembang yang tak ada duanya, tak punya penerus, papa di hari tua.
Drama tari arja itu produk orang kampung. Untuk menikmatinya dibutuhkan suasana dusun: tak ada listrik, ja-lan tanah, rimbunan pohon, suara jang-krik, dan desiran angin. Kalangan, arena pertunjukan, tak punya batas dengan penon-ton. Seni pentas klasik ini sungguh-sungguh milik rakyat.
Dari kesenian rakyat itulah Jero Suli lahir, dibesarkan, disanjung-sanjung, sebelum pertengahan ‘70-an. Kemudian dilupakan, setelah drama gong menggilasnya. Arja, opera Bali itu, hanya diseminarkan, ditelaah, dipelajari, dan ditangisi keruntuhannya. Dalam ribuan kali perbincangan itu selalu muncul nama Jero Suli, menjadi legenda seni pentas yang begitu kaya nilai artistik itu. Pengiringnya, gamelan geguntangan, yang sangat sederhana, tapi begitu ritmik dan romantik, kini diobrak-abrik gong kebyar yang berdenyar-denyar.
Zaman keemasan arja adalah masa jaya Jero Suli sebagai pregina. Jika ada pertunjukan arja ia menjadi primadona, jaminan penonton datang berbondong-bondong, dari pelosok, jalan kaki menyeberangi sungai, melintasi lembah dan bukit, berkilometer jauhnya, malam hari, menggunakan pene-rangan prakpak (daun kelapa kering yang dibakar), beberapa menggunakan obor (karena minyak tanah mahal), tak ada menggunakan senter, yang di waktu itu merupakan barang mewah.
Kala itu yang tersohor adalah Arja Bon Bali. Penarinya merupakan gabungan dari sekaa sebunan yang ada di desa-desa Bali Selatan. Di sekaa inilah Suli mengembangkan bakat dan kemampuannya bersama pregina lain seperti Ribu, Monjong, Sadru. “Di zaman itu ada dua pregina yang menjadi jaminan Arja Bon Bali pasti tampil memukau, Suli dan Ribu,” kenang Anak Agung Ngurah Ketut Dresta (83).
Dresta mengaku dirinya adalah pemimpin sekaa Arja Bon Bali yang pernah sangat populer. Hampir tak ada orang Bali yang tak pernah mendengar nama sekaa ini. Sekaa ini pula yang menjadi salah satu pelopor dan petunjuk seperti apa kesenian Bali tradisi dikelola sebagai entertainment: hadir di tengah kegiatan upacara adat dan agama, dibayar sangat murah oleh yang pu-nya karya, ditonton gratis. “Tapi kami waktu itu sangat bahagia,” kenang Jero Suli, lirih tertatih-tatih.
Arja Bon Bali beranggotakan dua belas pregina. “Kalau pentas bayarannya dua ratus rupiah untuk tiga pregina,” ujar Dresta. Honor itu menjadi Rp 25.000 untuk setiap penari di tahun ‘80-an. Mereka tampil ke seluruh pelosok Bali. Dan ditunggu-tunggu. Primadonanya adalah Jero Suli dan Ribu. “Kalau ada yang datang kemari meminta Arja Bon Bali pentas, mereka selalu meng-ajukan syarat harus ada Suli dan Ribu,” kata Dresta. “Tanpa mereka pesanan pasti dibatalkan, atau ditunda.”
Tahun ‘60-an hingga ‘70-an, menonton arja adalah sebuah kebutuhan. Orang bersedia menahan kantuk yang berat menunggu petunjukan arja yang biasanya dimulai selepas pk.22.00. Menonton arja bukan monopoli yang dewasa dan orang tua, tapi juga sa-ngat diminati anak-anak yang berusia belum sepuluh tahun. Anak-anak itu biasa-nya duduk berdesak-desak sampai ke tepi kalangan, agar bisa menatap jelas wajah-wajah sang penari. Kadang mereka mencolek-colek busana pregina pujaan itu.
Di zaman itu arja tak cuma sebuah ope-ra, tapi perjalanan hidup sehari-hari masyarakat Bali. Di situ ada musik, lagu, tari, dan juga pitutur: bagaimana hidup selayaknya dilakoni, seperti apa kesedihan, kebahagiaan, watak baik dan buruk, berperan. Dalam dinamika kesenian seperti itulah Jero Suli tampil. Ia selalu memerankan tokoh Mantri Manis, peran sentral drama tari klasik ini. Maka yang dibutuhkan dari pertunjukan yang berakhir hingga subuh ini, adalah energi dan stamina sebagai penari dan penembang. “Tapi kekuatan utama Jero Suli adalah kemampuannya mengolah tembang menjadi luk gregel yang sa-ngat memikat,” komentar Kadek Suartaya, dosen kara-witan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar.
Hanya dua tukang suling (seruling) yang sanggup melayani luk gregel Suli. “Satu dari Bona, lainnya dari Peliatan,” kata Dresta. Dengan alunan dua peniup suling itu, luk gregel Suli jadi makilit (melilit) padu. Lengkaplah arja menjadi opera klasik Bali yang dramatik dan romantik.
Jero Suli pun menjadi primadona. Yang ditunggu penonton adalah tembang yang dilantunkan Suli. Ia sanggup menampilkan adegan sedih dibalut tembang yang me-nyayat, “Sehingga penonton menjadi larut dan menangis tersedu-sedu,” ujar Suartaya. Jika tokoh yang diperankan Suli menemukan ke-gembiraan dan tembang yang dilantunkan penuh keceriaan, penonton pun bertempik sorak bahagia. “Jero Suli sangat menjiwai perannya, dan itu ia bangkitkan lewat tembang. Ia menyihir penonton dengan luk geregel yang sangat dikuasainya,” tambah Kadek.
Mendengar alunan tembang ladrang Jero Suli, penonton pun merinding. Orang Bali yang fanatik menonton pertunjukan arja mengakui, “Jika Jero Suli menembang, serieng-serieng bulun kalonge, membangunkan bulu halus di lengan dan tengkuk.” Bagi mereka yang tak sempat menonton Suli di pentas, akan menunggu alunan suaranya setiap Minggu siang di radio, lewat gelombang RRI Stasiun Denpasar. Di depan radio pun banyak ibu-ibu yang terisak jika Suli melantunkan tembang kesedihan dan kepiluan.
Suli dilahirkan di Desa Keramas, Gia-nyar, dari pasangan Wayan Rajeg dan Gusti Ayu Gubrig, dengan nama Made Kanya. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga yang bergelut dalam dinamika seni drama tari arja. Ayahnya adalah penari sekaa arja muani (laki). Maka keseharian Kanya adalah me-nyanyi, menembang, makidung. “Jika mencari kayu bakar ke tegalan, saya dan kawan-kawan menembang, sa-ling sahutin, “ ujar Suli, yang cuma berpendi-dikan sekolah dasar.
Tahun 1963 ia merebut juara pertama lomba matembang se-Bali. Sejak itu bintangnya bersinar, dan mulai menapaki kesenian arja. “Padahal dulu saya penari ja-nger,” aku Suli.
Bakat seni pentas Kanya sesungguhnya tumbuh dan berkembang sejak zaman Jepang. Sehari-hari jika mendengar tembang arja, tangannya langsung bergerak-gerak menari, tubuhnya condong ke samping. Ia senantiasa menunjukkan sikap siap menari.
Terlibat dalam pertunjukan arja ke berbagai pelosok desa, ia bertemu Anak Agung Ketut Dresta, dari Kesiman, yang kemudian menyuntingnya. “Saya lupa tahun berapa kami kawin, sekitar tahun enam dua atau enam tiga,” kata Dresta. Di-sunting bangsawan, Nyoman Kanya ganti nama, berhak menggunakan Jero. Ia kemudian dikenal se-ba-gai Jero Suli, nama yang mengantar-nya menjadi legenda penari arja.
Sekarang Suli sudah tua renta, 70 tahun. Sehari-hari nyaris tak ada kegiatan berarti yang ia lakoni. Kalau melangkah ia tertatih-tatih. Ia hidup dari bantuan orang lain. “Dulu saya yang dilayani, sekarang saya yang melayani hidupnya,” aku Dresta. Untuk makan, membuatkan kopi, menuntunnya ke kamar mandi, Suli harus dibantu suami.
Tahun ‘70an, suatu pagi, ketika menyeberang jalan hendak ke RRI Stasiun Denpasar di Jalan Melati, ia ditabrak sepeda motor. Seminggu dirawat di rumah sakit, sejak itu ia tak lagi sekuat dulu tampil di pentas. Ia juga berhenti sebagai karyawan honorer di RRI. Tapi hingga kini, kendati renta, ia masih kuat menembang. Sehari-hari kesibukannya memang cuma menyanyi. Kalau ada tamu yang datang dan ber-tanya tentang arja, ia langsung menjawab dengan alunan tembang.
Suli sudah pikun sekarang, tapi penglihatan dan pendengarannya masih baik. Sulit sekali mengajaknya bercakap-cakap untuk memperoleh jawaban yang jernih dan benar. Agung Dresta biasanya menjadi juru bicara. “Jika ada tamu bicara tentang arja, semangat hidup Suli bangkit kembali. Bagi-nya, itu adalah obat,” ujar Dresta.
Kadang ada tamu asing yang memintanya menembang, merekam, meng-adakan sepatah-sepatah wawancara. Untuk itu Suli dibayar Rp 50.000 per jam. Dulu, di tahun ‘70-an, untuk kegiatan wawancara dan menembang, Suli pernah dibayar Rp 25.000 per jam. Wawancara bisa dilakukan sepanjang hari, di beberapa lokasi, di-sertai pengambilan gambar.
Untuk membiayai hidup, ia pernah buka warung menjual kebutuhan sehari-hari, tetapi sekarang ia tak kuat lagi berdagang. Ia lebih banyak diam, duduk di kursi. Namun ia masih tetap mengesankan wanita pesolek. Arloji terus melingkar di tangan, beberapa cincin menghiasi jemarinya. Sulit diingkari, ia memang seorang primadona.
Sekarang Jero Suli cuma masa lalu. Kendati ia pernah mengajar ke banyak desa di Bali, tapi ia tak punya penerus. Semua pecinta arja mengakui, tak mudah mencari penari dengan kekuatan ngunjar angkian (mengatur napas), dan luk gregel seperti Jero Suli. Semua itu kini cuma seonggok kerinduan. Masa keemasan arja, zaman kejayaan Suli, sudah berlalu.
Benar, arja tidak mati, tapi ia cuma sekedar hidup. Dari kesenian yang ala kadarnya, betapa sulit mendapatkan sosok seperti Jero Suli, yang menjadikan menari, menembang, tak cuma sekedar tampil di pentas, tapi sebuah kerja dan sasuluh (cermin) hidup.
Comments
Post a Comment