Skip to main content

Posts

Showing posts with the label SASULUH (Cermin)

Om Swastiastu

SARAD

  Beginilah kami haturkan sembah kami  ke hadapan-Mu,  Hyang Paramakawi .  Karunia beras-Mu  kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami  ulat-ulat  jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu,  Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati  Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung  menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. .   Maka, inilah  SARAD  persembahan kami  Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk  kayonan  cerah  makenyah  kami letakkan di sisi kiri  pamedal genah tawur   di...

Rindu Luk Gregel Jero Suli

Alunan tembangnya menyihir penonton, membuat penikmatnya larut dalam kepiluan atau bertempik gembira. Ia penembang yang tak ada duanya, tak punya penerus, papa di hari tua. Drama tari arja  itu produk orang kampung. Untuk menikmatinya dibutuhkan suasana dusun: tak ada listrik, ja-lan tanah, rimbunan pohon, suara jang-krik, dan desiran angin. Kalangan, arena pertunjukan, tak punya batas dengan penon-ton. Seni pentas klasik ini sungguh-sungguh milik rakyat. Dari kesenian rakyat itulah Jero Suli lahir, dibesarkan, disanjung-sanjung, sebelum pertengahan ‘70-an. Kemudian dilupakan, setelah drama gong menggilasnya. Arja, opera Bali itu, hanya diseminarkan, ditelaah, dipelajari, dan ditangisi keruntuhannya. Dalam  ribuan kali perbincangan itu selalu muncul nama Jero Suli, menjadi legenda seni pentas yang begitu kaya nilai artistik itu. Pengiringnya, gamelan geguntangan, yang sangat sederhana, tapi begitu ritmik dan romantik, kini diobrak-abrik gong kebyar yang berdenyar-denyar. Zaman...

Ke Petulu, Kokokan Bercumbu

Setidaknya ada lima spesies Kokokan tidur saban malam di Petulugunung: Ardenola speciosa (blekok sawah), Bubulcus ibis (kuntul kerbau), Egretta alba (kuntul putih berseri), Egretta intermedia (kuntul perak), dan Egretta garzetta (kuntul perak kecil). Populasi mereka ribuan. Sebuah tim peneliti dari Universitas Udayana memperkirakan jumlahnya 8.000 ekor. Tapi peneliti lain memperkirakan ll8.500 ekor lebih. Tapi ada juga peneliti yang memperkirakan populasinya tak lebihdari 6.000 ekor. Tiga jenis burung itu: Bulbulus ibis, Egretta garzetta dan Egretta intermedia merupakan satwa yang dilindungi oleh undang-undang yang dikeluarkan Menteri Kehutanan tahun 1991. Burung-burung berleher jenjang ini saban sore dan pagi membuat Petulugunung hiruk pikuk. Apalagi di musim kawin, yang berlangsung sepanjang September-Oktober. Bulan Desember mulai tampak anak-anak kokokan disapih induknya. Januari, anak-anak kokokan mulai belajar terbang. Banyak yang tak kuat mengepakkan sayap, jatuh terpelanting ke ...

Rezeki Kokokan di Petulu Gunung

Ribuan kokokan telah mengubah wajah Dusun Petulugunung. Desa jadi terkenal, perekonomian warga pun membaik. Satu contoh kelimpahan rezeki dari kemurahan dan keajaiban alam. Prahara tahun 1965 yang berdarah-darah membuat banyak desa di Bali mencekam dan genting. Ribuan orang komunis, yang benar-benar kader atau yang cuma ikut-ikutan, digorok di jalan-jalan. Saudara membunuh kerabat, teman menghabisi kawan. Rumah-rumah dibakar, tempat ibadah keluarga dihancurkan. Banyak anak-anak tiba-tiba menjadi yatim, ribuan wanita menjanda. Tak seorang pun orang Bali ingin kekejian itu hadir kembali. Tapi Dusun Petulugunung di Ubud, Gianyar, akhir 1965 justru menerima anugerah alam. Ketika itu, bersamaan dengan piodalan di Pura Desa, ribuan kokokan (bangau) “menyerbu” dusun itu: gaduh, berteriak-teriak, hinggap di pohon-pohon besar yang rindang. Orang-orang yang ramai di Pura Desa tercenung menyaksikan pemandangan yang mereka anggap sebagai sebuah keajaiban. Tak seorang pun tahu dari mana datangnya r...

Sija, Orang Bali Miskin yang Berkecukupan

Ia dikenal sebagai seniman multidimensi: pencipta wayang arja, pembuat sarad, penari, undagi, pelukis, yang menjadi guru ba-nyak murid. “Saya orang miskin yang berkecukupan,” akunya .   Di zaman Soekarno ada dua desa di Bali yang sangat terkenal: Tampaksiring dan Bona, keduanya di Gianyar. Tampaksiring terkenal karena di sebuah puncak bukit berdiri istana kepresidenan, mendongak di atas Pura Tirtaempul. Dan Bona tersohor karena di dusun itu bisa dijumpai pertunjukan cak terbaik. Jika menyebut  cak, langsung orang terngiang-ngiang Bona.    Ke kedua desa itu Soekarno sering berkunjung, karenanya jalan menuju dusun-dusun itu mulus, seperti aspal hotmix masa kini. Di hari Galungan banyak anak-anak plesir ke Bona bersepeda, untuk merasakan kenikmatan meluncur di atas kereta angin tanpa guncangan sedikit pun.    Tampaksiring sampai kini tetap dikenal dengan istananya, namun Bona tak lagi beken dengan cak. Banyak sekaa cak bagus-bagus dari desa lain di Bali...

Selalu Bersama Roh Pekak Kakul

Berbeda dengan kebanyakan desa di Bali yang kesengsem sama gong kebyar, di Desa Batuan drama tari klasik gambuh justru sangat diminati. Sesuatu yang langka dan unik memang, kalau ada remaja dan anak-anak meminati gambuh, sementara ibu dari hampir semua tari Bali ini ditinggalkan peminat seni tari Bali. Koreografer besar, penari tersohor, yang belia, cantik, pun tak tertarik pada gambuh. Beruntunglah Bali punya Batuan, karena di desa ini gambuh selalu direkontstruksi dan diperkaya tanpa mengesampingkan ciri dan keasliannya.   

Gambuh Batuan Bertahan karena Malu

Dirintis maestro Nyoman Kakul, sekaa gambuh Batuan satu dari segelintir seniman yang melestarikan gambuh. “Kami bertahan karena rasa malu,” ujar Ketut Kantor, penerus Kakul.   Tak banyak yang kini peduli kalau Desa Batuan, Gianyar, adalah desa pelopor industri turisme. Awal tahun ‘70an artshop sudah berdiri di dusun ini, berjajar di tepi jalan utama Denpasar-Gianyar. Kala itu toko kesenian, galeri, di Desa Mas, Ubud, Kuta atau Sanur, tak seriuh sekarang. Tapi catatan terpenting untuk Batuan memang tidak soal urusan toko kesenian, justru dalam hal seni pertunjukan. Catatan itu semakin tajam guratnya kalau kita masuk ke rumah ke-luarga Nyoman Kakul. Rumah keluarga Kakul masih sangat mengesankan rumah Bali klasik. Kendati beberapa bangunan modern mendesak ba-ngunan-bangunan tua, tapi di natah itu hawa Bali asli masih terasa kuat berhembus. Tembok bale daja keluarga ini masih terbuat dari popolan (tanah liat). Di pekarangan bagian selatan dikhususkan untuk kegiatan belajar menari....

Tamu-tamu Wayan Tangguh

Wanita Italia itu sigsigan (terisak). Sekali-sekali ia mengusap ingus meleleh dari hidungnya yang bangir. Begitu dalam ia tersedu, sampai-sampai bahunya terguncan-guncang. Ini pagi terakhir ia di rumah Wayan Tangguh, setelah berminggu-minggu ia belajar menakik kayu, membuat topeng, di rumah seniman itu.Bukan perpisahan itu benar yang membuatnya gundah, tapi  karena ia tak sanggup membayar utang-utangnya selama ia tinggal di rumah seniman pahat itu.

Yang Bergerak Terus: Wayan Tangguh

Wayan Tangguh membukukan dirinya sebagai penakik tapel (topeng) terbaik yang kini dimiliki Bali. Ketika muda ia sangat miskin, di hari tua ia sangat pemurah. Apakah yang bisa dilakukan oleh mereka yang papa? Yang karena dirubung kemiskinan, sangat akrab dengan kenestapaan hidup? Penakik topeng Wayan Tangguh tahu persis jawabannya: jangan diam, teruslah bergerak.  Bergerak bagi Tangguh artinya bekerja. Zaman sekarang bekerja bisa diartikan persis untuk mendapat uang. Dengan uang orang sanggup menyelesaikan banyak hal:  Tapi, karena begitu getir masa kanak-kanak dan remaja Tangguh, berkerja di tahun 30-an bisa cuma berarti untuk sekedar makan. Di rumahnya tidak selalu tersedia cukup makanan. Maka ketika Tangguh muda mulai bekerja, yang ada dibenaknya adalah, “Saya bekerja untuk meringankan beban orang tua,” katanya. Di zaman itu, di tempat kelahirannya Banjar Mukti, Desa Singapadu, Gianyar, pusat kerja tidak di toserba, pabrik, atau pasar swalayan, tapi di puri, tempat para p...

Wuusssss….. I Tundung Lewat

Wuusssss….. I Tundung Lewat Orang Tenganan Pegringsingan yakin, selain berkat awig-awig, kelestarian hutan mereka beserta isinya juga karena dijaga ketat oleh seekor ular siluman bernama I Lelipi Selahan Bukit. Sebelum menjadi ular, ia adalah seorang manusia bernama I Tundung. Kisah I Tundung ini tetap menjadi cerita rakyat yang sangat menarik hingga kini. Alkisah, seorang lelaki bernama I Tundung sehari-hari menjaga kebun milik I Pasek Tenganan di Bukit Kangin. Tegal Pasek, kendati sudah dijaga Tun-dung, sering kecurian. Hari ini nangka yang hilang, besok pasti durian atau nenas yang lenyap. Tentu Tundung sangat geram. Berhari-hari ia mengintip si pencuri, tetapi selalu saja lolos. Ia pun bersemedi, meminta bantuan Yang Gaib agar  berubah jadi ular (lelipi). Ketekunan tapanya dika-bulkan. I Tundung bisa bersiluman  jadi lelipi.

Tenganan, Dijaga Awig-awig Abad ke-11

Tenganan, dusun yang dikepung bukit, menjadi contoh nyata, bagai-mana tradisi sanggup menjaga keseimbangan alam. Di Tenganan kita bisa belajar ketakwaan, disiplin, dan supremasi hukum. Stockholm, Swedia, 5 Juni 1972: Perserikatan Bangsa-bangsa menyelenggarakan konferensi lingkungan hidup pertama. Pakar-pakar lingkungan dunia berkumpul, membahas bumi yang sudah renta dan harus dijaga kelestariannya. Itulah tonggak awal kesepakatan dunia terhadap pentingnya merawat satu bumi. Tanggal 5 Juni kemudian diperingati sebagai Hari Bumi. Di Desa Tenganan Pegringsingan, abad ke-11, tetua-tetua desa, orang-orang lugu yang buta huruf, berkumpul membahas  upaya menjaga kelestarian dusun mereka. Keputusan sangkep itu kemudian melahirkan  awig-awig (aturan) adat untuk menjaga dan merawat hutan di bukit-bukit timur, utara, dan barat desa. Peraturan adat itu tertuang dalam “buku sakti”setebal 58 halaman, ditulis dalam bahasa Bali. Alangkah jauh rentang jarak itu, abad ke-11 ke abad 20: lebih...