Ribuan kokokan telah mengubah wajah Dusun Petulugunung. Desa jadi terkenal, perekonomian warga pun membaik. Satu contoh kelimpahan rezeki dari kemurahan dan keajaiban alam.
Tapi Dusun Petulugunung di Ubud, Gianyar, akhir 1965 justru menerima anugerah alam. Ketika itu, bersamaan dengan piodalan di Pura Desa, ribuan kokokan (bangau) “menyerbu” dusun itu: gaduh, berteriak-teriak, hinggap di pohon-pohon besar yang rindang. Orang-orang yang ramai di Pura Desa tercenung menyaksikan pemandangan yang mereka anggap sebagai sebuah keajaiban.
Tak seorang pun tahu dari mana datangnya ribuan burung berkaki panjang itu. Sampai sekarang pun tak ada yang berani memastikan, bagaimana burung-burung itu memilih Petulugunung sebagai hatibatnya yang baru. Orang hanya bisa menduga-duga. Mung-kin terjadi pertempuran sengit sesama burung di sarang mereka yang lama. Yang kalah kemudian terbang mencari pemukiman baru. Ada juga yang berkomentar, burung-burung itu sudah bosan dengan tempat tinggalnya yang lama, lalu raja mereka, mungkin juga ratu, mengajak rakyatnya pindah ke “benua” baru.
Itu cuma dugaan. Yang pasti, kokokan-kokokani tu telah mengubah kehidupan warga Petulu. Di tahun ‘80-an, ketika Tjokorda Raka Dherana (almarhum) menjabat bupati Gianyar, ia mengundang Gubernur Bali Ida Bagus Mantra (almarhum), dan wartawan, ke Petulu, untuk membuktikan keajaiban bangau-bangau itu tidur di pohon-pohon pekarangan rumah penduduk. Kokokan Petu-lu pun muncul di surat kabar dan majalah. Satu dua peneliti, biolog, pakar lingkungan, lalu datang ke sana.
Petulu semakin populer. Niat Tjok Raka Dherana mengembangkan pariwisata Ubud, sehinga tidak numplek di Ubud tengah, menjadi kenyataan. Wisatawan asing mulai suka jalan kaki atau naik sepeda ke Petu-lu. Sore-sore mereka berhenti sejenak di pematang sawah, lalu menatap kokokan-kokokan yang berteriak-teriak berebut sarang menjelang tidur malam.
Warga Petulu kemudian menyadari, keramahtamahan mereka menerima ribuan burung itu sebagai warga baru, sangat dihargai oleh masyarakat luar. Orang-orang menganggap, penerimaan orang Petulu akan kehadiran kokokan itu adalah kearifan menerima perubahan alam. Mereka tak merasa dirugikan, kendati kotoran kokokan berceceran di pekarangan rumah, di jalan-jalan, sehingga lingkungan menjadi kotor. Bau tak sedap kotoran burung juga menyengat sepanjang hari, siang malam. Bulu-bulu burung berserakan, dan itu menjadi tugas tambahan bagi ibu-ibu: harus rajin membersihkan pekarangan.
Orang Petulu justru bangga di dusun mereka tinggal ribuan kokokan. Burung-burung yang jatuh dari sarangnya, karena sakit misalnya, dirawat dengan baik. Anak-anak biasanya meng-ambil burung itu, dibawa ke kamar, dijaga sampai mereka sehat dan kuat, baru dilepas. Yang membiarkan kokokan sakit terbengkalai, akan diejek dan dilecehkan kawan-kawan. Anak-anak itu beranggapan, mera-wat kokokan sakit justru sebuah kesempatan untuk mewujudkan rasa syukur.
Dan kokokan-kokokan itu pun memba-lasnya dengan memberi kelimpahan rejeki kepada warga Petulugunung. Berkat kokokan dusun terpencil itu menjadi populer. Hampir semua tulisan di majalah atau surat kabar, yang disiarkan televisi, selalu mengi-sahkan, burung-burung itu bermigrasi ke Petulugunung sebagai keajaiban alam. Wisatawan pun ke sana untuk menikmati keajaiban itu.
Warga Petulu pun kemudian sadar, kokokan-kokokan itu telah mempromosikan Petulu. Banyak orang berseliweran di jalan desa, membangkitkan gagasan baru bagi warga Petulu. Satu dua orang mulai membuat bingkai (frame) lukisan. Perlahan-lahan, warga Petulu yang semuanya petani, punya kesibukan baru: menjadi tukang ukir. Tak ada yang tahu persis mengapa mereka lebih senang mengukir bingkai dibanding membuat togog (patung). Ada yang meng-ungkapkan, sebelum Petulu sepopuler sekarang, memang sudah ada satu dua keluarga yang mengandalkan hidup dari meng-ukir bingkai. Kegiatan ini diteruskan hingga kini, dan diikuti banyak warga. Wisatawan yang semula cuma untuk melihat-lihat bangau terbang, tertarik melihat perajin Petulu bekerja. Mereka menceritakannya kepada kawan-kawan. Lambat laun, Petulu pun punya julukan baru: dusun sebeh (bingkai, frame). Pedagang lukisan, pelukis, suka berkata sesama mereka, “Kalau mau pesan frame, datang saja ke Petulu”. Dusun kokokan itu kini benar-benar jadi dusun perajin. Di sepanjang jalan berdiri kios-kios khusus menjual bingkai. Tempat-tempat itu pula dijadikan bengkel kerja. Beberapa dibangun permanen, bertingkat. Di tepi jalan banyak dijejer bingkai, banyak yang kotor oleh ceceran tai kokokan. Tapi perajin itu menganggapnya biasa saja. Mereka dengan lega membersihkan kotoran-kotoran itu.
Di Petulu, pembuatan frame adalah bisnis besar. Perajin yang terlibat jumlahnya ratusan orang, bekerja di puluhan usaha dan bengkel. “Sebulan kami menghabiskan lima ton kayu,” ujar Wayan Yasa (45), pemilik bengkel pembuatan frame. Satu ton kayu harganya Rp 450.000,-, bisa diolah menjadi 75 bingkai besar yang harganya Rp l00.000,- sebuah dan 30 frame kecil seharga Rp 35.000,- per biji.
Denyut ekonomi Petulu pun berdegup kencang oleh bisnis sebeh ini. Yang datang ke dusun ini sekarang tak cuma kokokan, tapi juga para pencari kerja. Mereka berdatangan dari Negara, Singraja, dan Karangasem. “Saya di sini sejak umur sebelas tahun,“ ujar Nyoman Patra (22), pendatang dari Desa Batu Agung, Negara. Di Petulu ia menjadi perajin, mengukir sebeh, dan menjaga toko kesenian yang khusus menjual frame.
Tapi, kendati ekonomi sudah jauh bertambah baik dibanding sebelum kokokan-kokokan itu datang, orang-orang Petulu tetap saja melakoni hidup sebagai pe-tani. Pagi dan sore mereka ke sawah, di sebelah utara desa. Siang mereka mengukir sebeh. Beberapa petani masih memelihara sapi kereman (khusus digemukkan), meng-urus sawah ladang seperti dulu-dulu, sebelum kokokan-kokokan itu datang. Bisnis frame, industri kayu, tak mengubah hidup mereka untuk menjadi pedagang sepenuhnya. Mereka mengaku tetap sebagai orang desa.
Wayan Kecug (38) misalnya, kendati punya usaha kerajinan ukir, tetap petani, dan memanfaatkan sawahnya tempat me-nyaksikan kokokan bagi wisatawan. Sawah Kecug memanjang di tepi jalan utama Pe-tulugunung. Yang ingin menyaksikan kokokan-kokokan berebut sarang di pohon, bisa melakukannya dari pematang sawah milik Kecug, yang kemudian memanfaatkannya sebagai peluang bisnis. Ia pun membangun tempat sederhana di tepi sawah. Wisatawan diundang datang ke sana, lalu Kecug menyediakan minuman botol dan kaleng dingin. Tak dipungut bayaran untuk duduk-duduk, mereka bahkan dipinjami binocular untuk menyaksikan bangau-bangau itu. “Saya hanya dapat untung dari menjual minuman ,” ujar-nya. Sehari, di musim ramai turis, ia bisa menjual sampai 35 botol. “Kalau sepi begini paling cuma lima belas botol,” aku-nya. “Semua ini harus disyukuri, berkat kokokan-kokokan itu.”
Di Petulugunung kokokan memang sangat disyukuri. Di Pura Desa, burung ini dibuatkan pelinggih, padmasana, dengan patung kokokan. Setiap piodalan di Pura Desa, dibuatkan aci (sesaji) khusus di pelinggih itu. “Begitulah cara kami menyatakan terima kasih kepada Hyang Widhi dan kokokan-kokokan itu,” ujar Klinced, yang menjabat kelihan desa adat sejak 1988.
Syukur itu juga dirasakan oleh orang luar Petulu, yang punya barong suci menggunakan bulu kokokan. Mereka membutuh-kan bulu-bulu itu untuk ngesub (menservis) bulu-bulu yang sudah tua, atau mengganti seluruhnya. Mereka ke Petulu mengumpulkan bulu kokokan yang aas (rontok). Tentu harus bersabar, butuh waktu lama. “Biasanya, agar tidak menemui hambatan, mereka menyam-paikan atur piuning (permakluman) di pe-linggih kokokan,” kata Klinced.
Klinced kemudian menugaskan anak-anak sekolah dasar mengumpulkan bulu kokokan yang rontok, yang terserak di se-panjang jalan, tepi parit, atau di pekarang-an rumah. Satu cekel (genggam) bulu dibayar Rp 200 - Rp 300. “Untuk satu barong bisa menghabiskan sampai Rp 700 ribu,” kata Klinced, penari yang tiga kali seminggu tampil di atas pentas untuk turis di Ubud. Barong-barong yang sudah memanfaatkan bulu kokokan Petulu berasal dari Desa Perean (Tabanan), Tatasan (Denpasar), dua dari Kekeran (Singaraja).
Di Bali, tak sedikit tempat terpencil menjadi tersohor karena punya keunikan. Dusun Petulugunung bisa memberi catatan, keunikan itu hendaklah alami, tidak direkayasa, begitu adanya, sehingga harus diterima sebagai berkah. Manusia punya kewajiban menjaga dan merawatnya.
Tapi kini di Bali mulai tampil tempat yang merekayasa keunikan sendiri, karena bisa mendatangkan nama besar dan keuntungan banyak, sehingga sangat kuat menampilkan kesan sebagai memaksakan kehendak, dan menjual Bali.
MS, AS
MARET 2000, No.3 Th.I
Comments
Post a Comment