Beginilah kami haturkan sembah kami ke hadapan-Mu, Hyang Paramakawi . Karunia beras-Mu kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami ulat-ulat jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu, Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. . Maka, inilah SARAD persembahan kami Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk kayonan cerah makenyah kami letakkan di sisi kiri pamedal genah tawur di...
Setidaknya ada lima spesies Kokokan tidur saban malam di Petulugunung: Ardenola speciosa (blekok sawah), Bubulcus ibis (kuntul kerbau), Egretta alba (kuntul putih berseri), Egretta intermedia (kuntul perak), dan Egretta garzetta (kuntul perak kecil). Populasi mereka ribuan. Sebuah tim peneliti dari Universitas Udayana memperkirakan jumlahnya 8.000 ekor. Tapi peneliti lain memperkirakan ll8.500 ekor lebih. Tapi ada juga peneliti yang memperkirakan populasinya tak lebihdari 6.000 ekor. Tiga jenis burung itu: Bulbulus ibis, Egretta garzetta dan Egretta intermedia merupakan satwa yang dilindungi oleh undang-undang yang dikeluarkan Menteri Kehutanan tahun 1991.Burung-burung berleher jenjang ini saban sore dan pagi membuat Petulugunung hiruk pikuk. Apalagi di musim kawin, yang berlangsung sepanjang September-Oktober. Bulan Desember mulai tampak anak-anak kokokan disapih induknya. Januari, anak-anak kokokan mulai belajar terbang. Banyak yang tak kuat mengepakkan sayap, jatuh terpelanting ke tanah.
Sarang-sarang kokokan ditinggalkan induknya mencari makanan sepanjang hari. Mereka terbang sangat jauh, sampai ke Tabanan ke arah barat, ke timur sampai Klungkung, dan ke utara hingga ke Bangli. Setiap senja selalu tampak iringan kokokan di udara, bergerombol membentuk garis-garis putih mengiris langit biru.
Mereka bersarang di pohon kelapa, bunut, ranting cengkeh, atau cabang nangka. “Yang menjadi favorit adalah pohon bunut, “ ujar Klinced, kelihan adat Petulugunung. Bentuk daun dan percabangan bunut memang meyediakan tempat nyaman untuk bersarang.
Kokokan lebih suka bersarang di pohon-pohon tepi jalan. Pohon-pohon tinggi di tegalan yang letaknya di bagian timur perumahan penduduk, tidak diminati. Kokokan merasa lebih nyaman dan aman bersarang di pohon yang dekat rumah, dekat lalu lalang orang. “Karena di seputar orang ramai, biasanya musang, ular, yang menjadi musuh kokokan, tak berani menampakkan diri,” kata Klinced. Maka jika di tegalan yang sepi lalu ada penduduk membangun rumah, kokokan pun akan tinggal di pohon-pohon sekitar. “Jadi, manusia itu sebenarnya satpamnya kokokan,” kata Klinced tergelak.
Di Petulugunung kokokan-kokokan itu menerima keramahtamahan, suasana damai, dan rasa aman. Para peneliti memperkirakan, ada sejumlah kokokan yang datang ke Petulugunung hanya untuk kawin. Mereka datang dari luar Petulu, bergerombol, memilih pohon untuk bersarang, bercengkerama, bercumbu, kawin, dan berbiak. Diperkirakan, setelah anak-anak mereka cukup kuat terbang, mereka meninggalkan Petulugunung, mencari tempat bersarang yang baru, atau kembali ke kampung halamana asal mereka, di seputar Ubud atau Tegalalang, Gianyar. Mungkin juga ke Tabanan, Klungkung, atau Bangli. Siapa tahu?
Hingga kini Petulu masih menjadi termpat ideal bagi kokokan untu beranak pinak. Pohon-pohon besar masih tumbuh subur, tinggi. Jika beberapa pohon di pekarangan rumah ditebang, itu karena penduduk khawatir pohon bisa rebah diterjang angin kencang. “Belum lama ini ada pohon tumbang menimpa rumah, jadi kami pangkas saja cabang pohon-pohon tinggi,” ujar Klinced.
Kokokan memilih dengan cermat pohon untuk bersarang. Favorit mereka adalah pohon tepi jalan. Tapi pohon di Pura Desa yang rimbun justru tak dihuni kokokan seekor pun. Masyarakat Petulu pun berkomentar, burung-burung putih itu tak hendak mengotori tempat suci. Mereka lebih memilih pohon-pohon rendah di tepi jalan.
Sehari-hari di Petulu, kokokan itu tak lagi cuma pemandangan biasa. Ahli biologi, pakar lingkungan, berkali-kali mengunjungi dusun itu untuk mengkaji habitatnya. Beberapa di antaranya mahasiswa, mengadakan penelitian untuk menyusun skripsi. Dari puluhan peneliti (pemula dan senior) itu, bisa muncul debat ilmiah. Kokokan-kokokan Petulugunung itu membuat banyak orang semakin pintar.
MS, AS
MARET 2000, No.3 Th.I
Kokokan lebih suka bersarang di pohon-pohon tepi jalan. Pohon-pohon tinggi di tegalan yang letaknya di bagian timur perumahan penduduk, tidak diminati. Kokokan merasa lebih nyaman dan aman bersarang di pohon yang dekat rumah, dekat lalu lalang orang. “Karena di seputar orang ramai, biasanya musang, ular, yang menjadi musuh kokokan, tak berani menampakkan diri,” kata Klinced. Maka jika di tegalan yang sepi lalu ada penduduk membangun rumah, kokokan pun akan tinggal di pohon-pohon sekitar. “Jadi, manusia itu sebenarnya satpamnya kokokan,” kata Klinced tergelak.
Di Petulugunung kokokan-kokokan itu menerima keramahtamahan, suasana damai, dan rasa aman. Para peneliti memperkirakan, ada sejumlah kokokan yang datang ke Petulugunung hanya untuk kawin. Mereka datang dari luar Petulu, bergerombol, memilih pohon untuk bersarang, bercengkerama, bercumbu, kawin, dan berbiak. Diperkirakan, setelah anak-anak mereka cukup kuat terbang, mereka meninggalkan Petulugunung, mencari tempat bersarang yang baru, atau kembali ke kampung halamana asal mereka, di seputar Ubud atau Tegalalang, Gianyar. Mungkin juga ke Tabanan, Klungkung, atau Bangli. Siapa tahu?
Hingga kini Petulu masih menjadi termpat ideal bagi kokokan untu beranak pinak. Pohon-pohon besar masih tumbuh subur, tinggi. Jika beberapa pohon di pekarangan rumah ditebang, itu karena penduduk khawatir pohon bisa rebah diterjang angin kencang. “Belum lama ini ada pohon tumbang menimpa rumah, jadi kami pangkas saja cabang pohon-pohon tinggi,” ujar Klinced.
Kokokan memilih dengan cermat pohon untuk bersarang. Favorit mereka adalah pohon tepi jalan. Tapi pohon di Pura Desa yang rimbun justru tak dihuni kokokan seekor pun. Masyarakat Petulu pun berkomentar, burung-burung putih itu tak hendak mengotori tempat suci. Mereka lebih memilih pohon-pohon rendah di tepi jalan.
Sehari-hari di Petulu, kokokan itu tak lagi cuma pemandangan biasa. Ahli biologi, pakar lingkungan, berkali-kali mengunjungi dusun itu untuk mengkaji habitatnya. Beberapa di antaranya mahasiswa, mengadakan penelitian untuk menyusun skripsi. Dari puluhan peneliti (pemula dan senior) itu, bisa muncul debat ilmiah. Kokokan-kokokan Petulugunung itu membuat banyak orang semakin pintar.
MS, AS
MARET 2000, No.3 Th.I
Comments
Post a Comment