Konsultasi Susila
Ida Bagus Wijaya Kusuma
Siapa Berhak Diberi?
Kalau sedang makan di tempat makan terbuka, seperti di lesehan, saya sering didatangi pengemis. Ada anak-anak, ada ibu-ibu setengah umur. Ada juga wanita dengan menggendong bayinya. Begitu juga kalau sedang mengendarai kendaraan saat lampu merah, jendela mobil adakalnya digedor orang yang berlaku seperti pengemis. Sejauh ini, saya tak pernah memberi sepeser pun kepada mereka. Soalnya, saat tinggal di luar Bali saya sering melihat pengemis pun ada sindikatnya, ada yang mengorganisasi mereka. Karena tak pernah memberi kepada pengemis itu, saya sering dibilang pelit oleh saudara-saudara saya.
Benarkah tindakan saya atau keliru? Apakah setiap pengemis atau orang yang minta kepada kita mesti kita berikan, walaupun dia disuruh orang lain, misalnya? Apakah itu tidak berarti akan mendidik orang jadi malas? Apakah ini tidak dosa? Adakah etikanya untuk memberikan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan? Bagaimana kriteria orang yang membutuhkan versi Hindu?
Terima kasih.
Agung Yudha
Denpasar.
Sdr. Agung
Pengalaman Sdr. Agung Yudha yang sering didatangi para pengemis anak-anak, ibu-ibu muda di rumah makan, lampu lalu lintas,, dll. kiranya juga dialami oleh banyak orang. Masalahnya, siapa saja yang berhak atau patut diberi? Menurut ajaran agama Hindu, pemberian sesuatu kepada orang lain disebut punia atau lengkapnya dana punia. Lawan kata punia adalah papa. Berdasarkan pengertian ini maka siapa saja yang berhak/patut diberi? Jawabannya adalah mereka yang tergolong papa. Tetapi Hindu mengajarkan punia itu tidak terbatas diberikan hanya kepada kaum papa saja. Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu menerangkan, yang berhak menerima dana punia itu di antaranya: para guru rohani (nabe), dangacarya (sulinggih), orang miskin yang terlantar, orang cacat, orang terkena musibah, tempat suci (parhyangan), lembaga-lembaga sosial, rumah sakit, pasraman/pendidikan, dll.
Khusus pemberian (punia) kepada para pengemis, anak-anak jalanan, ibu-ibu muda sambil menggendong bayinya yang sering kita jumpai di rumah makan, perempatan jalan, perlu dikaji lebih dalam lagi. Tujuannya, agar punia itu tidak berdampak mencelakakan masa depan hidupnya dengan menciptakan atau menanamkan sifat rajas dan tamas, yaitu sifat rakus namun bermalas-malas. Punia yang diberikan kepada mereka semata-mata bersifat sementara dalam keadaan darurat, untuk itu jangan sampai membuat mereka menjadi bergantung, seumur hidupnya menjadi pengemis. Rupanya tidaklah salah atau berdosa kalau kita tidak memberikan punia bagi mereka yang memiliki sifat rajas dan tamas itu. Ingat jangan sampai memberikan sesuatu amerta matemahan wisia, sesuatu yang baik jangan sampai akhirnya menjadi racun mematikan.
Busana ke Pura Harus Putih?
Saya tak tahu bagaimana awalnya, kenapa pakaian ke pura bagi laki-laki lantas menjadi seragam putih kuning dan udengnya juga putih. Kemudian di desa-desa, lebih-lebih lagi di kota, juga saya temukan kalau orang Bali ada upacara kematian atau ngaben menggunakan busana seragam hitam-hitam. Apakah memang ada aturan seperti itu? Apakah memang harus demikian? Apa dasar sastranya sehingga harus putih-putih kalau ke pura dan hitam-hitam kalau ada kematian atau ngaben? Apakah busana putih sudah menjamin kesucian (kalau maksudnya demikian) dan hitam itu simbol duka (sebagaimana orang Barat)? Memangnya kalau dulu kakek-nenek kita ke pura tidak dengan busana putih lantas pikirannya tidak suci? Kenapa mesti memantas-mantaskan diri dengan orang lain?
Terus terang, akibat penyeragaman demikian saudara saya sampai tak jadi ke pura gara-gara tak ada baju putih. Sudah saya berikan pengertian, tak harus putih-putih, namun dia tetap menolak. Tak juarin, katanya. Jadi sungguh tragis. Lebih tragis lagi, anak-anak muda pun yang masih petantang-petenteng bau kencur pun mengenakan busana putih-putih layaknya pamangku. Sungguh akibat penyeragaman ini jadi kabur, mana pamangku, mana orang yang belum pernah mawinten (upacara inisiasi penyucian). Siapa yang bertanggung jawab ini? Apa ini tidak mengada-ada?
Terima kasih atas jawaban Bapak.
Kompyang Sujana
Batubulan, Gianyar.
Sdr. Kompyang,
Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah melihat/membaca sastra agama yang mengisyaratkan bahwa setiap ke pura harus menggunakan busana berwarna putih atau kuning. Atau dalam hal kematian untuk berbela sungkawa harus berbusana warna hitam. Demikian juga Lembaga Agama (PHDI) maupun Lembaga Adat (MPLA) belum pernah membakukan busana ke pura adalah putih/kuning dan berbela sungkawa adalah warna hitam. Yang pernah ada adalah hasil suatu seminar yang merumuskan bahwa busana pada waktu berbela sungkawa adalah menggunakan sarwa gelap (warna gelap). Jadi, bukan hitam sebagaimana dilakukan oleh orang luar Bali atau orang Barat. Demikian halnya busana tatkala upa-cara maayu-ayu, seperti matatah (potong gigi), masakapan (perkawinan), ngrajaswala (akil balik) menggunakan busana sarwa ngereneb (serba cerah), seperti kain songket dan lain sebagainya.
Jadi pakaian putih/kuning untuk ke pura bukan merupakan suatu komando atau keputusan/ketetapan oleh Lembaga Agama atau Lembaga Adat, melainkan merupakan opini masyarakat yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya sejalan dengan perkembangan pemahaman umat Hindu terhadap ajaran agamanya yang semakin mendalam. Hal itu dikaitkan dengan asumsi bahwa putih melambangkan suatu kebersihan dan kesucian. Hal ini sejalan dengan perasaan hati saat itu untuk pergi ke pura menghadap para dewa/batara haruslah dilandasi dengan hati dan pikiran yang bersih dan suci.
Dengan demikian bukanlah merupakan suatu keharusan dan wajib bagi kita kalau ke pura harus berbusana putih-putih. Warna lain saya rasa tidak menyalahi ajaran agama kita, asal tidak merasa dipersalahkan oleh diri sendiri sehingga kita menghukum diri tidak berani ke pura. Demikian halnya kalau kematian tidak harus berbusana hitam, tapi yang diisyaratkan adalah busana serba gelap atau sesuai dengan dresta (tradisi/kebiasaan) yang berlaku setempat.
Masalahnya sekarang, mampukah kita menghindar dari opini masyarakat Di sekeliling kita atau kita akan berontak, karena tidak dijumpai dalam sastra agama? Jawabnya, kita kembalikan kepada diri kita masing-masing.
Saya rasa menggunakan pakaian putih ke pura tidak dilarang oleh agama, demikian juga pakaian berwarna-warni. Juga bukan merupakan suatu larangan dan berakibat dosa karenanya.
Kenapa Ada Panca Sembah?
Sudah beberapa tahun belakangan dalam persembahyangan Hindu di Bali ada ‘tradisi baru’ berupa panca sembah. ‘Tradisi’ ini kemudian disebarkan ke luar Bali. Maka, di tanah Air Indonesia lantas ada panca sembah. Sejumlah buku mengulas soal panca sembah ini, lengkap dengan mantram-mantramnya. Sayangnya, tak ada yang menjelaskan, kenapa mesti diseragmkan menjadi panca sembah? Bukankah dulu tetua-tetua Bali tak menggunakan panca sembah? Apa dasarnya panca sembah ini dengan urut-urutan seperti sekarang ini: pertama tangan kosong, tiga kali pakai bunga/kewangen, terakhir lagi tangan kosong. Dari mana dasar sastranya ini? Ataukah, ini hanya mencari-cari karena orang lain seragam, lantas di Hindu dicari-cari biar ada saja?
Kalau begitu, kenapa tak yakin dengan Hindu yang sangat demokratis. Saya salut pada SARAD edisi 2 yang menurunkan jawaban: Hindu Tidak Mengenal Pembakuan Ritual. Ini menunjukkan Hindu memang sangat fleksibel, dan sangat kontekstual. Lantas kenapa ada pembakuan-pembakuan?
Apakah panca sembah ini temuan/galian baru, ataukah memang sudah ada akarnya yang sangat panjang dalam susastra Hindu di Bali atau malah di India sana? Apakah di India sana orang juga menggunakan panca sembah? Kalau tidak, kenapa di Indonesia mesti diseragamkan? Bagaimana dengan saudara-saudara kita sesama Hindu di Kaharingan, Dayak, Toraja, Malaysia, Thailand, Amerika, Australia, dll.? Apakah tidak cukup spiritinya saja Hindu sementara aplikasi pelaksanaannya disesuaikan dengan konteks lingkungan dan waktu?
Terima kasih.
Agung Pujastawa
Bogor
Jawab
Rupanya pengertian panca sembah de-ngan urutan sembahnya ada lima tahap yang diajukan oleh Sdr. Agung Pujastawa, Bogor, kurang tepat sebagaimana yang telah diputuskan dalam Mahasabha VI PHDI Pusat tentang Kramaning Sembah dan Puja Trisandhya. Untuk diketahui, yang dimaksud dengan panca sembah itu adalah lima posisi cakupan tangan saat menyembah, yaitu sebagai berikut: (1) Cakupan tangan di atas ubun-ubun adalah sembah yang ditujukan ke hadapan Sang Hyang Widhi/Dewa/Istadewata; (2) Cakupan tangan di depan hidung adalah sembah yang ditujukan ke hadapan dewa pitara/roh leluhur yang sudah disucikan; (3) Cakupan tangan di depan dagu adalah sembah atau penghormatan yang ditujukan ke hadapan dang acarya/nabe/orang suci; (4) Cakupan tangan di depan dada adalah penghormatan yang ditujukan terhadap sesama manusia, misalnya dibarengi dengan ucapan Om Swastyastu; dan (5) Cakupan tangan diarahkan ujung jarinya ke bawah di depan dada merupakan sembah/penghormatan yang ditujukan kepada para bhuta-kala.
Adapun sembah yang Anda utarakan, yaitu pertama tangan kosong, lalu tiga kali memakai bunga/kawangen dan terakhir lagi tangan kosong, nah urutan ini tidak baku dan tidak harus lima kali. Dan ini, sekali lagi, bukan panca sembah, melainkan disebut kramaning sembah. Maknanya sebagai tatacara orang sembahyang yang kebetulan mengandung sembah dasar lima tahap sebagai prasyarat minimal dalam sembah-yang pada saat-saat piodalan, hari raya,dan karya-karya yadnya lainnya. Bilamana suatu upacara yadnya itu besar (tingkat madya/utama), maka urutan sembahyang itu bisa berkembang. Misalnya, bisa tujuh kali, sembilan kali, bahkan juga bisa 11 kali. Misalnya, bila ada piodalan di pura yang upakaranya dilengkapi dengan banten catur, maka urutan sembahyangnya akan lebih dari lima kali, yaitu sembilan kali. Ini dimulai dengan sembah puyung (bukan istilahnya tangan kosong), lalu memakai bunga ditujukan ke hadapan Sang Hyang Surya Aditya, lalu bunga putih (Dewa Iswara), bunga merah (Dewa Brahma), bunga hitam/biru (Dewa Wisnu), bunga kuning (Dewa Mahadewa), baru dilanjutkan dengan kawangen yang ditujukan ke hadapan Ida
Batara (Istadewata) yang mendapat persembahan piodalan. Setelah itu lagi kawangen untuk mohon anugerah, dan terakhir lagi sembah puyung. Demikian halnya tingkat upacara yang lebih besar, maka tahapan sembahyangnya pun akan bertambah lagi. Hal ini sesuai dengan petunjuk pemimpin upacara atau sulinggih yang muput karya bersangkutan.
Karena itu, tidak benar bahwa sembah-yang itu diseragamkan, melainkan sangat dinamis, tergantung kontekstualnya. Di samping itu juga tergantung kondisi lingkungan dan waktu orang bersembahyang.
Comments
Post a Comment