Beginilah kami haturkan sembah kami ke hadapan-Mu, Hyang Paramakawi . Karunia beras-Mu kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami ulat-ulat jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu, Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. . Maka, inilah SARAD persembahan kami Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk kayonan cerah makenyah kami letakkan di sisi kiri pamedal genah tawur di...

Bapa Wayan yakin, wisatawan datang ke Bali karena Bali unik, dan keunikan Bali adalah ciptaan Hyang Widhi. Karena itu, melaksanakan ajaran agama adalah jalan untuk berterimakasih kepada-Nya agar keunikan Bali dipelihara, sehingga wisatawan tetap berdatangan dan dia tak kehilangan pangupa jiwa (mata pencaharian).
Logika Bapa Wayan ini sangat sederhana namun terasa ada benarnya. Ia memang dikenal pandai memainkan logika. Tetapi sepandai-pandai Bapa Wayan berlogika, sekali tempo pasti terkecoh juga.
Beberapa tahun silam di Pura Pasar Agung diselenggarakan upacara besar setingkat tawur. Bapa Wayan yang rajin ngayah di Pura Kahyangan Jagat tidak ketinggalan turut ngayah di Pura Pasar Agung itu. Berhari-hari ngayah, Bapa Wayan pun tahu kebutuhan yang mendesak untuk karya agung. Saat rapat panitia membahas kelengkapan bahan-bahan upakara, terungkap masalah kekurangan 5 ekor babi. Mendengar kesulitan itu, langsung saja Bapa Wayan meng-acungkan telunjuk menyatakan kesediaannya ngaturang celeng (babi). Tidak tanggung-tanggung, dia menyanggupi ngaturang celeng 5 ekor.
Keesokan harinya, Bapa Wayan mampir di Blahbatuh, di rumah sahabatnya, membeli 5 ekor babi masing-masing beratnya lebih dari 150 kg. Kelimanya dimasukkan ke dalam tumpung (anyaman bambu) lalu diangkut ke atas mobil pikup. Empat tumpung aman berada di dalam bak pikup, namun yang terakhir berada di atas permukaan bak. Khawatir tumpung kelima terjatuh, Bapa Wayan kembali bermain logika: lima tumpung babi itu diikat pada lubang anyaman sehingga terjalin menjadi satu. Dengan begitu, pikir Bapa Wayan, tumpung terakhir tidak mungkin terlepas. Berangkatlah dia seorang diri, menjadi sopir, jadi pangayah, dengan penuh keyakinan dan rasa bakti, menelusuri jalan hotmix meninggalkan Blahbatuh.
Sepanjang jalan mulus hotmix memang aman-aman saja, lancar-lancar, babi-babi dalam tumpung tertidur lelap. Menjelang subuh, Bapa Wayan memasuki Desa Selat. Mobil pikup Bapa Wayan dengan muatan mulai terguncang-guncang melintasi jalan bopeng-bopeng yang rusak akibat gilasan truk pengangkut galian C. Jalanan desa masih sangat sepi. Bapa Wayan menyetir mobil dengan santai sambil bersiul mengiringi irama joged bumbung dari tape mobilnya. Sesekali jemarinya menghentak stir seolah dia menabuh kendang joged yang energik itu. Sekali-sekali celeng-celeng itu berteriak guiiittt.... guiiittt.... guiiittt.... karena guncangan mobil, seperti suitan penonton joged yang binal.
Sesampai di jaba pura (halaman depan), dipanggilnya beberapa pangayah untuk membantu menurunkan dan mengangkut lima ekor babi itu. Betapa terkejut Bapa Wayan tatkala melihat tumpung teratas kosong melompong dengan tutup terbuka. Rupa-nya, goncangan keras sepanjang jalan yang rusak menyebabkan seekor babi menghentak-hentak anyaman penutup tumpung yang mengurungnya. Ditendang-tendang babi seberat 150 kg menyebabkan penutup tumpung itu terbuka. Dan … coosss....... babi pun makecos (melompat) ke jagat bebas, hilang…!
Bapa Wayan terbengong-bengong me-logikakan kelalaiannya, karena terlalu percaya pada logika, yang ternyata kalah oleh ins-ting si babi. Akhirnya Bapa pasrah, tak hendak berbalik mencari si babi. Ia mencoba berlogika lagi: “Kalau pun aku mencarinya, tak mungkin babi sial itu nyontol duduk manis menunggu saya datang menjemputnya.”
Nah, kali ini logikanya betul. Bapa Wayan yang suka bercanda ini tersenyum-senyum sendiri. “Mungkin celeng itu leteh (sial), tak pantas dipersembahkan ke pura,” bisik hatinya menghibur diri. Mungkin juga celeng itu lagi bingung, tak tahu orang kampung mana yang ia pilih sebagai bos, menjadi pemiliknya yang baru. Tak urung, o-rang-orang desa juga ikut bingung. “Ada celeng ngeleb...... ada celeng ngeleb.....! (Ada babi lepas)!” teriak mereka. Mereka saling tanya, dan tak seorang pun tahu jawabnya, celeng siapa itu gerangan.
Nah, jika kebetulan ada penduduk desa itu sempat membaca SARAD, mereka akan tahu: “Ooo.... ternyata yang dulu itu celeng milik Bapa Wayan Rupa dari Sukawati!”
WS, AS
MARET 2000, No.3 Th.I
Comments
Post a Comment