Beginilah kami haturkan sembah kami ke hadapan-Mu, Hyang Paramakawi . Karunia beras-Mu kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami ulat-ulat jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu, Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. . Maka, inilah SARAD persembahan kami Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk kayonan cerah makenyah kami letakkan di sisi kiri pamedal genah tawur di...
Siapa pun percaya, kalau Pura Dalem Muter Kesiman, Denpasar, yang letaknya di sebelah timur Sungai Ayung, itu tenget (angker). Tempat suci ini punya benang merah sejarah yang semestinya diketahui dan dipahami oleh orang-orang Bali. Pura ini telah hadir dalam peradaban Bali Kuna, berperan penting dalam pemerintahan raja-raja di Bali. Tempat ini sebuah wilayah keramat hingga sekarang, kendati rumah penduduk dan restoran menge-pungnya.Di selatan pura ini adalah hutan lebat sampai ke daerah Sanur. Hutan ini disebut Petegaling Megalak, yang sangat angker, keramat. Daerah inilah yang kini menjadi Pa-dang-galak. Oleh Raja Bedaulu, Asta Sura (dikenal dengan gelar Sri Tapuk Ulung, Batuireng), Petegaling Megalak dipercayakan kepada Ki Gudug Basur sebagai penguasanya.
Ketika Majapahit menyerbu Bali, patih Arya Wang Bang ditugaskan menundukkan Kesiman. Tapi Ki Gudug Basur tak mau takluk. Pertempuran sengit terjadi di Petegaling Megalak antara laskar Majapahit me-lawan prajurit Bali. Di hutan angker itu Ki Gudug Basur tewas.
Adalah seorang anak muda bernama Ketut Jirna, kini, yang berniat coba-coba memahami keangkeran seputar Pura Dalem Mu-ter Kesiman itu. Cara yang dipilihnya pun sederhana, dengan memancing di Tukad Ayung. “Untuk tahu keangkeran sebuah tempat, rasanya tak mesti melalui meditasi atau bertapa di tempat itu,” kata hatinya.
Kebetulan Jirna suka memancing. Di seputar Tanah Kilap di Suwung, Denpasar, yang dikatakan banyak pemancing tempat angker, sudah ia kunjungi. Ia tak menemukan hal-hal aneh. Begitu juga ketika ia mancing ke Mertasari, Belanjong, Sanur. Semua aman-aman saja. Maka ketika ia mendengar sas-sus Tukad Ayung sekitar Pura Dalem tenget, ia berniat mencoba datang.
Sengaja dipilihnya menjelang purnama, agar pandangan lebih leluasa. Tebing su-ngai dan daun-daun berkilat keperakan. Dengan tenang Jirna melempar mata kail, menatap pelampung, berharap ada ikan lele atau julit menyantap umpannya.
Tak terjadi apa-apa. Sedikit pun tak ada tanda ikan-ikan hadir di aliran sungai. Ia pindah ke tempat lain, bergeser ke selatan. Tatkala kail sudah dicemplungkan ke air, tiba-tiba ia merasakan bau aneh. Bau nyalid: amis bercampur busuk. Ia merundukkan kepala, tapi mencuri-curi menoleh kiri-kanan. Tak ada tanda-tanda mencurigakan. Daun-daun tak bergerak. Kaku, bisu.
Kemudian ia mencium bau harum semerbak, keras sekali menyergap hidung-nya. Lalu, menyerbu lagi bau nyalid. Begitu terus berkali-kali, semakin menusuk tajam. Lalu, bau amis, bau busuk, bau bangkai.
Jirna tak bisa berkonsentrasi lagi. Ia mulai takut. Tak pernah ia setakut malam itu se-tiap kali memancing. Ia putuskan jongkok, lalu berdiri, dan segera menarik tali pan-cingnya. Tergopoh-gopoh ia mendaki tebing.
Ia melirik arloji tangannya. Belum pukul sepuluh. Tapi ia merasa sangat takut. Ia putuskan mendatangi rumah Made Arsa di Toh-pati, 2 km. timur Tukad Ayung. Sahabatnya ini dikenal banyak tahu soal wong ga-mang, wong samar, mahluk halus, yang konon suka mendiami sepanjang aliran sungai.
“Tak usah takut, antar aku ke tempatmu mancing tadi,” saran Arsa ketika Jirna menceritakan pengalamannya.
Berdua mereka menuruni tebing Tukad Ayung, menerobos semak yang mulai basah oleh embun. Tiba-tiba Arsa meletakkan telunjuk di mulutnya. “Ssttt... jangan berisik,” pintanya pelan.
Di depan sebuah ceruk gelap, hanya lima meter dari tempat Jirna mecemplungkan kail, mereka melihat seekor lelipi (ular) me-lingkar tidur lelap. Besar dan panjang, sebesar batang kelapa. Kepalanya berkilat ditimpa sinar bulan yang menerobos celah-celah daun.
“Inilah sumber bau busuk itu, Jir,” bisik Arsa.
“Tapi sekarang aku tak mencium bau apa-apa,” tangkis Jirna.
“Yang kamu cium tadi bau ketika ular ini ngentut (kentut),” jelas Arsa.
Jirna terperanjat sejenak, lalu menutup mulutnya agar tawa kecilnya tak menjadi cekikikan.
“Mungkin kemarin atau dua hari lalu, ular ini memangsa bangkai atau ternak. Sekarang ia pulas, tinggal kentut saja,” kata Arsa tanpa mencoba melucu.
“Kalau bau-bau harum itu?”
“Aku tak tahu persis sebelum menyelidikinya. Mungkin juga itu bau wangi kembang-kembang yang memang mulai mekar menjelang tengah malam. Atau.....,” Arsa tak meneruskan kata-katanya.
Jirna bengong mendengar penjelasan karibnya. “Kalau kamu tak percaya, teruskan saja mancing di sini. Kamu akan mencium lagi harum bunga dan kentut ular,” kata Arsa.
Jirna menggeleng, bukan ia takut sama wong samar, tapi takut dicaplok ular. Tergopoh-gopoh ia mengikuti langkah karibnya mendaki tebing Tukad Ayung. “Aku ingin pulang,” katanya.
WS, AS
MARET 2000, No.3 Th.I
Comments
Post a Comment