Skip to main content

Om Swastiastu

SARAD

  Beginilah kami haturkan sembah kami  ke hadapan-Mu,  Hyang Paramakawi .  Karunia beras-Mu  kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami  ulat-ulat  jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu,  Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati  Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung  menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. .   Maka, inilah  SARAD  persembahan kami  Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk  kayonan  cerah  makenyah  kami letakkan di sisi kiri  pamedal genah tawur   di...

Pakelem

danau beratan, foto: prayatna sudibya
 “Alam semesta dan jagat manusia itu punya unsur raga sama. Itulah: Pretiwi (bumi), Apah(air), Teja (sinar), Bayu (angin), dan Akasa (eter). Dinamakan Panca Mahabhuta, Anakku.” Begitu Guru senantiasa mengajarkan kepada kami.
Kata Guru pula, “Sepanjang zaman unsur dasar itu senantiasa bergerak mencari harmoni di jagatraya ini dengan jagatdirimu, Anakku. Manakala alam ini kau kuras dayanya, Anakku, dirimu pun merasa kian letih dan ringkih. Pertiwi tak sidi. Air tak suci, jadi racun. Udara kotor. Sinar tak memberimu tenaga, tapi membakar terik. Angin pun memporakporandakan.” “Begitulah Panca Mahabhuta itu bergerak, seiring putaran jentera cakraning panggilinganzaman, Anakku. Rohmu diaduk, diputar-putar mengikuti gerak Sang Waktu. Ketika putaran menjejak di zaman kehancuran Kaliyuga, Anakku, rohmu terpancing bergerak ke luar dari sumsum, melewati daging, menerobos otot. Di situ, di kulitmu, dia bertengger.” Apa artinya itu, Guru? “Berada di lapis terluar, jiwamu sejatinya tak terlindungi. Dia kian rapuh. Mudah disentuh, gampang digoda, gampang terluka. Sakit, cuma itu tersisa. Amuk jadi keseharianmu, amarah jadi darah dagingmu, bencana pun datang sesukanya. Kau pun tak berdaya, Anakku. Mengobati diri sendiri tak ubahnya menutup kulit dengan busana. Tak akan membalikkan sang jiwa kembali ke sumsum.” Inikah isyarat kehancuran kami, Guru? “Kau seharusnya tunduk di hadapan Sang Jiwa Alam, Anakku. Bukan kepadaku!” Kenapa? “Kembalilah ke kemurnian, Anakku. Kembalikan jiwamu dan Jiwa Sang Alam pada kemurniannya. Murnikanlah Sang Air, bersama unsur lainnya, agar memberimu kehidupan, bukan kehancuran. Hanya dengan kemurnian engkau bisa memetik Sang Kemurnian. Dia Yang Mahasuci mana mungkin dapat kau rengkuh tanpa kesucian! Di situ, di danau sebagai hulu dan di laut sebagai hilir siklus putaran Sang Air, sujud baktilah. Pakelem itu, Anakku, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk kedamaian dan kesejahteraan jagat seisinya. Denganpakelem itu ekosistem alam dihidupkan, jiwa alam dijaga.”


segara klotok, foto: widnyana sudibya danau beratan, foto: agustanaya danau beratan, foto: prayatna sudibya danau batur, foto: agustanaya danau batur, foto: agustanaya danau eratan, foto: prayatna sudibya danau batur, foto: prayatna sudibya danau beratan, foto: prayatna sudibya danau beratan, foto: prayatna sudibya danau beratan, foto: agustanaya 
  
foto: agustanaya - prayatna sudibya
teks: widnyana sudibya

Comments

Popular posts from this blog

Sasih Kaulu: Mulai Ngaben dan Nganten

Setelah Buda Kliwon Pahang, 9 Februari 2000, mulai baik melangsungkan kegiatan upacara perkawinan (nganten) maupun ngaben. Namun, hujan sering mengguyur. Hati-hati dengan blabur Kaulu. Sasih Kaulu (bulan Kedelapan) kali ini bermula sejak Saniscara (Sabtu)-Umanis, wuku Pujut, tanggal 5 Februari. Akan berakhir pada Redite (Minggu)-Kliwon, wuku Medangkungan, tanggal 5 Maret 2000 nanti. Dalam perhitungan kalender Bali, sasih Kaulu ini  nguya Karo . Artinya, sasih ini terpengaruh oleh karakter umum sasih Karo (bulan Kedua). Itu sebabnya, selain mendung dan hujan deras yang menjadi ciri umum Kaulu, udara dingin Karo pun bakal menghembus.  Cuma, bila hujan tak kunjung turun, langit bakal tersaput awan tebal. Di siang hari, ini akan menjadikan cuaca sangat gerah, meskipun sinar matahari tak terik. Yang perlu dicermati benar: hati-hatilah dengan intaian  blabur  Kaulu. Datangnya bisa sewaktu-waktu berupa hujan angin amat lebat beberapa hari sehingga memicu banjir deras. Ai...

SARAD

  Beginilah kami haturkan sembah kami  ke hadapan-Mu,  Hyang Paramakawi .  Karunia beras-Mu  kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami  ulat-ulat  jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu,  Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati  Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung  menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. .   Maka, inilah  SARAD  persembahan kami  Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk  kayonan  cerah  makenyah  kami letakkan di sisi kiri  pamedal genah tawur   di...

Bersahabat dengan Batara Kala

Manusia, sebenarnya, bisa menjadi lebih besar daripada waktu. Manusia juga bisa memilih hari dan jalan kematiannya dengan benar. Syaratnya: jiwa-pribadi harus jernih, bening.   Tersulut hasrat ingin melanggengkan kekuasaan dan wibawanya atas seantero jagat, raja  Purusada  mengadakan tawar-menawar dengan  Batara Kala . Hasilnya: Purusada diwajibkan mempersembahkan 100 orang raja hidup-hidup kepada  Batara Kala .        Tak urung dimulailah petualangan penaklukan Purusada ke kerajaan-kerajaan lain. Ditopang angkatan perang tangguh dan kesaktian pribadi yang ulung, 100 kerajaan pun takluk di bawah kuasanya. Mereka semua dimasukkan dalam kerangkeng, sebagai tahanan. Celakanya, setelah menatap satu per satu raja-raja persembahan Purusada tersebut, Batara Kala langsung hilang selera. Bagi Kala, 100 raja yang berhasil ditaklukkan Purusada sama sekali tak ada artinya, karena di antara mereka tak termasuk Raja Hastina yang bernama  Sutasoma ...