Yang Tuyuh Bekerja demi Kemuliaan Hidup

Cantik mempesona sekaligus pekerja keras yang perkasa, itulah citra melambung wanita Bali di mata orang luar.
Terkurung tradisi, ditindas laki-laki, sekaligus tak punya hak waris, itulah citra kelam perempuan Bali yang tak kunjung surut. Padahal, adat dan susastra-agama di Bali memposisikan wanita begitu mulia. Jadi pendeta bisa, raja pun boleh. Kenapa orang luar begitu ‘miring’ menilai adat Bali terhadap perempuan? Sisi mana sebaiknya diluruskan?

Jadwal kerja sehari-hari wanita Bali sangat padat. Tapi mereka tak mengeluh. Malah ada yang merasa lek (malu) kalau cuma diam. Bukan semata-mata karena keterdesakan ekonomi, melainkan juga ingin memuliakan hidup dengan jalan bekerja.
Alangkah padat jadwal kerja Ketut Werti. Ketika udara masih terasa dingin, pukul 04.30 pagi, wanita yang tinggal di wilayah Denpasar Selatan ini sudah masuk dapur. Menyalakan api, mendidihkan air. Di sela-sela itu, dia masih sempat mencuci piring makan dan gelas yang digunakan semalam oleh kedua anak dan suaminya.
Ketika air di panci mengepul, ia seduh kopi buat suaminya yang masih terlelap, seusai meronda air di sawahnya. Sesaat kemudian, dia tanak nasi. Sambil menunggu nasi matang, ia menyapu, dari lantai kamar hingga pekarangan rumah. Usai itu, dia belanja sayur-mayur ke warung dekat rumahnya, berlanjut hingga mengolahnya jadi lauk siap santap. Beres memasak, ia mempersiapkan saiban (sajen nasi dengan lauk ala kadarnya), lantas menghaturkannya sebagai wujud syukur ke hadapan Hyang Widhi, dari sanggah hingga ke pintu masuk pekarangan.

Mantra Di Bak Pikup

Setengah abad silam, di Desa Tangkup, Karangasem, seo-rang kakek (90 tahun) masesangi:kalau ada jembatan ke Tangkup, di atas Tukad Telagawaja, ia akan menghaturkan guling akelan (enam ekor). Lima belas tahun lalu jembatan itu dibangun, Kakek pun membayar sesa-ngi di Sukra Umanis Merakih, 25 Februari 2000. Hujan turun lebat, tak tersedia bale pemiosan untuk ida pedanda. Ketika cuma gerimis kecil tersisa, pemujaan dilangsungkan dari bak mobil pikup. Terbuktilah sabda Hyang Widhi: dengan cara apa pun, di mana pun, kamu menyembah Aku, Aku terima. Desa Tangkup kini bukan lagi daerah terisolir di Karangasem. Hyang Widhi sungguh ada di mana-mana.

Tuah Wanita Bali

Laki-laki menjadikan wanita sengsara, anak membuatnya bahagia. Sungguh? Betapa menyesakkan kisah ini, tapi ia bisa menjadi ungkapan dari zaman ke zaman: anak lebih dibutuhkan oleh seorang ibu tinimbang oleh sang bapak. Laki-laki menaruh pengharapan di banyak tempat, di sembarang waktu. Ia punya peluang tanpa batas untuk berkuasa, berkelana kemana pun ia ingin, menyentuh apa pun yang ia mau, dan mencicipi apa saja, siapa saja, yang ia suka. Tapi wanita? Pengharapannya cuma satu: anak. 

Putra pengharapan yang sangat menyayangi ibu itu kemudian punya tuntutan gamang: ia ingin istrinya seperti ibunda. Si istri pun tumbuh di tengah mahligai yang sempit dan kaku. Ia merintih karena harus menjadi wanita yang takluk. Ia menderita seperti dikutuk sejarah: sengsara oleh laki-laki yang dibentuk ibunda. Kisah pun kembali ke awal: wanita itu disengsarakan laki-laki, dan berharap anak akan membahagiakannya. Sungguh celaka, wanita juga disakiti oleh kaumnya.