Bersahabat dengan Batara Kala

Manusia, sebenarnya, bisa menjadi lebih besar daripada waktu. Manusia juga bisa memilih hari dan jalan kematiannya dengan benar. Syaratnya: jiwa-pribadi harus jernih, bening. 

Tersulut hasrat ingin melanggengkan kekuasaan dan wibawanya atas seantero jagat, raja Purusada mengadakan tawar-menawar dengan Batara Kala. Hasilnya: Purusada diwajibkan mempersembahkan 100 orang raja hidup-hidup kepada Batara Kala.
     
Tak urung dimulailah petualangan penaklukan Purusada ke kerajaan-kerajaan lain. Ditopang angkatan perang tangguh dan kesaktian pribadi yang ulung, 100 kerajaan pun takluk di bawah kuasanya. Mereka semua dimasukkan dalam kerangkeng, sebagai tahanan.

Celakanya, setelah menatap satu per satu raja-raja persembahan Purusada tersebut, Batara Kala langsung hilang selera. Bagi Kala, 100 raja yang berhasil ditaklukkan Purusada sama sekali tak ada artinya, karena di antara mereka tak termasuk Raja Hastina yang bernama Sutasoma. Bagi Kala, 100 raja tahanan tersebut bahkan bisa saja dibebaskan untuk ditukar dengan hanya seorang Sutasoma.

Toh, Purusada tak surut langkah. Dia yang sudah dilelap-kan oleh dambaan kuasa dan wibawa ini menyanggupi syarat Batara Kala. Pertempuran tera-khir dan habis-habisan pun tak terhindarkan. Pada puncaknya, Purusada yang ber-triwikrama sebagai Rudra pun saling berhadapan dengan Sutasoma yang telah mencapai titik keheningan budi-kasih, buddhi-sattwa.Di puncak pertempuran, kobaran api amarah Rudra (kalagni-rudra) bukannya menghancurkan, namun justru berubah menjadi budi-damai (buddhi-santha) penuh kasih oleh cahaya matahari-rohani (surya-rupa) Sutasoma yang disaputi hati bersih-bening, rasa dan sikap maharddhika (merdeka-bijaksana) serta ikhlas-total. Purusada justru tunduk lalu berguru pada Sutasoma, 'Sang Putra Rembulan'.

Selesai? Belum. Meskipun Purusada sudah tidak ingin lagi mempersembahkan Sutasoma kepada Batara Kala, toh Sutasoma sendiri tetap secara ikhlas menyerahkan dirinya sebagai santapan (caru) Batara Kala. Karuan saja Kala girang tak alang kepalang. Tiga syarat yang diajukan Sutasoma, yakni semua raja yang ditahan dibebaskan, korban tewas perang dihidupkan kembali, dan tindakan membunuh-bunuh dihentikan, pun sontak disanggupi Batara Kala.  

Maka, keris tajam mengkilap pun dihujamkan Kala ke tenggorokan Sutasoma. Tak mempan. Sutasoma tak bergeming. Ia tetap tersenyum. Ia tetap bugar. Tiga hingga empat kali demikian, tak juga mempan. Batara Kala pun berubah rupa menjadi naga besar menakutkan, lalu serta-merta menelan Sutasoma yang tetap saja tersenyum diliputi keheningan budi-kasih. Apa yang terjadi kemudian?  

Batara Kala yang semula bergejolak tiba-tiba terdiam. Keriuhan jiwanya berubah jadi kesunyian nan damai-penuh pesona (somya). Dia tak mampu lagi menelan. Manakala kaki Sutasoma menginjak hati Batara Kala, kobaran api amarah dan gelombang nafsu membunuhnya sontak lenyap. Terbitlah kesadaran rasa welas-asih (twas arddhamreta) di hati Batara Kala.  

"Laku apakah yang engkau takuti, Prabu Hastina?" tanya Kala dalam keheningan.   
"Tiada satu pun, Batara. Juga tiada takut aku pada raksasa, detya, denawa. Pun termasuk manusia atau dewa sekalipun. 

Namun, membunuh, mencabut nyawa mereka itulah yang paling aku takutkan."  
Sutasoma tetap tersenyum. "Kenapa Batara tiba-tiba berhenti menelan tubuhku? Bukankah tubuhku ini yang Batara harap-harapkan sebagai  caru paling utama? Membunuh dan membunuh, bukankah itu mau-Mu senantiasa?"  

"Aku tak sanggup!" Batara Kala tertunduk. "Kini aku ingin berguru kepadamu, Prabu Hastina. Lukat, sucikanlah, papa-ku ini. Hanya engkaulah yang bisa membebaskan aku dari ke-papa-an." Kala kemudian bukan memangsa Sutasoma, sebaliknya justru menyembah Sutasoma.   
   
Batara Kala menyembah Sutasoma yang berwujud manusia? Begitulah memang Mpu Tantular menyuratkan dalam karya gemilangnya, Kakawin Purusadasanta, yang di kalangan masyarakat pecinta sastra Kawi lebih dikenal dengan sebutan Kakawin Sutasoma ini. Dalam kakawin yang digubah sekitar tahun 1380 atau hampir tujuh abad silam ini, Mpu Tantular memang mengajak kita yang membaca karyanya jadi merenung soal waktu. Kala, memang berarti 'Waktu'. "Sebutan Batara yang lazim dilekatkan dalam penyebutan oleh masyarakat awam, atau pun sebutan Sang Hyang dalam teks-teks Kawi menyiratkan bahwa Sang Kala, Sang Waktu, juga berhakikat suci," papar peneliti sastra Kawi, Dr IBM Dharma Palguna.  

Dari Kama Batara Siwa

Siapakah Sang Kala, Sang Waktu itu? Lontar Kala-tattwa mengisahkan, suatu kali Batara Siwa bersama shakti-Nya, Batari Giri Putri alias Dewi Uma, terbang di atas samuderaraya. Tiba-tiba kasmaranlah Siwa, ingin bersanggama dengan Dewi Uma. Dewi menolak. Alasannya, sebagai dewa tak pantas berperilaku demikian. Tapi, Siwa terus mendesak. Hasrat kasmaran-Nya kian membuncah. Tak urung, kama (sperma) Siwa pun muncrat, jatuh ke samuderaraya.

Berkat yoga-samadhi Batara Brahma dan Wisnu, kama yang sudah cerai-berai itu pun menyatu kembali, lalu berubah wujud menjadi sesosok raksasa sakti yang sangat menge-rikan. Suaranya menggetarkan seluruh samudera dan jagatraya. Dialah Batara Kala. Tak ada yang sanggup menandingi Kala yang aeng dan sakti tan kabina-bina itu. Bahkan, dewa pun kalah olehnya.

Kala disebutkan berbadankan semua yang hidup dan berkeinginan (sarwa mambekan). Oleh Batara Siwa dan Batari Uma, Kala pun diberikan kewenangan untuk membunuh semua yang hidup dan atau berkeinginan itu. Karenanya, "Tak ada yang bebas dari belitan Batara Kala di dunia ini. Tak ada yang bisa lolos dari 'jemputan' Sang Waktu. Semua pada akhirnya 'berangkat' bersama Sang Waktu," ungkap Kepala Departemen Agama Kodya Denpasar, Drs Cokorda Raka Krisnu.

Bagi siapa saja yang tidak sadar, lupa pada hakikat jati dirinya (tan anuta ri sapari- kramaning panjadman ira), maka Batara Kala diberikan hak untuk memangsanya. Juga Batara Kala berwenang menadah orang yang salah waktu (salah masa), salah ruang, dan salah laku.

Namun, selain diberi kewenangan membunuh Kala juga diberi hak memberikan ganjaran atau 'bonus' kasidyan kepada siapa saja yang sadar pada hakikat (pangastutyan) kemanusiaannya. Mereka ini dinamakan manusia sejati, dan karenanya patut menjadi sahabat Batara Kala. 

Pada diri manusia yang sadar pada pangastutyan-nya ini, menurut Kala-tattwa, Batara Dharma sebenarnya sudah menyatu, sehingga jiwanya suci-bersih (mahening), layaknya air yang jernih bening. Juga bercahaya layaknya nyala api. Karena itu, siapa saja yang berkepribadian seperti ini akan ditakuti bahkan disembah oleh semua mahluk yang ganas, galak, menakutkan dan sejenisnya. Juga ditakuti oleh semualeak. Maka itu, Batara Kala diwajibkan memberikan kasidyan kepada siapa saja yang seperti ini. 

Kesucian Dalang Leger   
Kesadaran pada hakikat diri yang suci itulah kunci untuk bisa bersahabat dengan Batara Kala, Sang Waktu. Sebagaimana halnya Sutasoma, Mpu Dalang Leger pun dapat 'menjinakkan' Batara Kala yang tak terkalahkan itu. Lontar Kala Purana menyuratkan, Sang Hyang Kumara ('Yang Suci') lolos dari buruan Batara Kala setelah dilindungi Dalang Leger. Saat sedang ngewayang, tiba-tiba saja Hyang Kumara -–yang juga adik Batara Kala—  datang minta perlindungan di hadapan Dalang Leger. Tak tega melihat Kumara yang menangis dikejar-kejar Kala, Sang Dalang pun menyembunyikan Kumara di dalam peti wayang. 

Kala datang, langsung mengamuk. Ia memakan habis semua banten di hadapan Dalang Leger. Terang saja Sang Dalang balik memarahi Batara Kala. Bahkan, Dalang menyalahkan Kala yang memakan banten yang menjadi hak Dalang, tanpa seizin Dalang. Dihardik demikian, Kala tak menyerah. Kala balik menuding Dalang bersekongkol melindungi Kumara yang juga menjadi haknya.

"Kumara datang minta perlindungan kepadaku. Aku bisa memberikannya perlindungan, kenapa tak boleh aku lakukan," cecar Dalang.  
"Hyang Siwa sudah mengizinkan aku memangsanya. Karenanya, Kumara itu hakku."  
"Tapi, kenapa Batara Kala tak memintanya kepadaku? Karena tak meminta, bagaimana aku memberikannya. Semestinya, Batara minta dulu kepadaku, dan selanjutnya adalah hakku mengabulkan permintaanmu atau tidak. Karena tak meminta, terang aku tak berikan. Itu sebabnya Batara Kala tetap bersalah, memakan habis banten yang menjadi hakku." 

Kala tak berkutik di hadapan Sang Dalang. Ia pun menyerah manakala Dalang meminta 'ganti rugi'. "Karena Batara Kala telah salah, maka sebagai ganti banten yang telah Batara habiskan, Batara wajib membebaskan Hyang Kumara. Mulai kini, jangan makan Hyang Kumara ('Yang Suci')," pinta Dalang.

Dari kisah demikianlah tampaknya tradisi wayang sapu leger  lantas berkembang di Bali, hingga kini. Sang Dalang Leger pun berganti nama menjadi Mpu Dalang. Dia diberi kewenangan oleh Kala untuk membebaskan orang dari  belitan mala dengan panglukatan suddhamala sehingga orang menjadi nirmalaLontar Kala Purana memang menyuratkan, panglukatan suddhamala atau parisuddha sebagai kata kunci untuk membebaskan diri dari perburuan Batara Kala. Sedangkan kitab Sarasamuccaya mengistilahkannya dengan sebutan pahehening ikang buddhi, kebersihan budi.

"Dalang adalah simbolik Siwa. Siapa saja datang dengan kesucian dan ketulusan minta perlindungan kepada Siwa, dia terbebas dari kejaran Kala, seperti Hyang Kumara," Cok Raka Krisnu menafsirkan.

Kisah Sutasoma dan Mpu Dalang membentangkan gagasan, betapa manusia sebenarnya bisa menjadikan dirinya tak hanya bersahabat dengan Sang Waktu, tapi juga lebih besar daripada Sang Waktu. Bersahabat ataupun menjadi lebih besar daripada Sang Waktu berarti bisa 'memilih waktu dan jalan mati yang benar'. Tak hanya itu. "Bersahabat dengan Kala berarti orang bisa 'tawar-menawar' dengan Kala, sehingga tercegahlah adanya kematian dini," tambah IBM Dharma Palguna.

Boleh jadi, itulah sebabnya kenapa Rama pada ujung kisahnya dalam Uttara Kandadisebutkan segera meletakkan jabatannya sebagai 'maharaja penguasa dunia' setelah Batara Kala sebagai 'penguasa waktu dan kematian' menemuinya lewat pertemuan dan percakapan yang amat rahasia. Bhisma pun menunda kematiannya untuk 'memilih waktu' yang tepat dan benar, setelah matahari bergeser ke arah utara.

Kala, Sang Waktu, sebagaimana disuratkan Maharsi Byasa, memang berbadankan Kematian, Sang Hyang Mretyu. Siang dan malam adalah bagian tubuhnya. Sedangkan sakit dan usia tua itulah bentuk lahirnya. Sang Waktu menyusup memenuhi seluruh dunia. Ia mencaplok segenap mahluk hidup yang ada. Tak ubahnya ular pemangsa angin, maka ditelanlah angin itu. Karenanya, penggubah kitab Mahabharata ini tak segan memberikan jaminan:  Bagi orang yang bersahabat dengan Batara Kala alias Sang Hyang Mretyu (Sang Dewa Maut), dia terluput dari usia tua maupun kematian; dia berhak dan berwenang menentukan kapan kematiannya tiba.

Benar, semua mahluk hidup pada akhirnya dijemput lalu berangkat bersama Sang Waktu. Namun, Maharsi Byasa tampaknya ingin mengingatkan agar orang tak mati sia-sia. Sebaliknya: Matilah dengan benar! Inilah, barangkali, yang dinamakan mati bukan sebagai 'kekalahan', melainkan justru 'Kemenangan'. Untuk itu, orang mesti bersahabat dengan Batara Kala, karena, "Pertemuan dan perpisahan, suka maupun duka, semuanya adalah disebabkan karena Sang Waktu (Kala)," demikian Bhagawan Walmiki menyuratkan.  
Jung Iryana,  
I Ketut Sumarta  

Darah Daging Bali Bernama Waktu

Pandangan waktu manusia Bali sudah mendarah daging. Jangankan kegiatan yang berkaitan dengan niskala, kegiatan sekala pun tak lepas dari pemilihan waktu. Kenapa saat tengai tepet, sandya-kala, tengah lemeng, dilarang bepergian?  
   
Saya iri kepada ibu di kampung. Dia bebas memilih waktu mengerjakan sesuatu, sesukanya. Tak ada jadwal yang mengikatnya. Dia benar-benar bebas," keluh Putu Jaya, 38 tahun. "Sangat beda dengan saya. Detik demi detik terikat jadwal yang ketat," imbuh ayah dua anak ini.  
nasi tawur, foto: widnyana sudibyaSebagai manajer pemasaran sebuah hotel bintang lima di kawasan Nusa Dua, jadwal Putu sangat ketat, memang. Lebih-lebih lagi saat musim paceklik turis seperti belakangan ini. Amuk massa yang meletup di Buleleng, Jembrana, dan Badung, 20-21 Oktober 1999 lalu rupanya berimbas dahsyat terhadap citra pariwisata Bali. Ditambah ketegangan hubungan pemerintah Indonesia dengan Australia gara-gara urusan Timor Timur dan disusul pula larangan pemerintah Amerika Serikat kepada warganya bepergian ke luar negeri karena ancaman teroris, lengkaplah sudah derita yang menimpa insan pariwisata Bali. Tak pelak, Putu Jaya pun kian berkerut. Wajahnya kusut. Hari-harinya sangat sibuk.   
"Tiap hari rapat bisa lima kali. Meeting dengan GM (general manager), meeting dengan inilah dengan itulah. Kontak si A-lah, kontak si B-lah. Pusing. Muak rasanya. Hasilnya, tetap saja turis sepi," Putu bersungut-sungut. Saking sibuknya, ia pun tak sempat pulang ke kampungnya. Padahal, saat Purnama sasih Kenem, Kamis-Paing, 23 Desember 1999 lalu, keluarga besarnya justru sedang menggelar upacara ngenteg linggih di pura paibon-nya.    

"Gara-gara meeting dengan GM sampai larut malam, saya tak bisa pulang mabakti, padahal ngenteg linggih itu baru pertama kali dilakukan sejak 80 tahun lalu. Kualat rasanya saya hanya menyuruh istri dan anak-anak pulang, sementara saya duduk di ruangan ber-AC di hotel. Gendeng!" tandas lelaki asal Karangasem itu, kesal.   
Putu tidak sendirian, tentu saja. Banyak 'Putu-Putu' lain kini sedang diperhadapkan dengan masalah sama di Bali ataupun di luar Bali. Pilihannya pun umumnya sama: lebih memihak pekerjaan daripada menyediakan waktu untuk mabakti. Ironis?  

Dalam pengamatan peneliti sastra Kawi atau Jawa Kuna, Dr IBM Dharma Palguna, Bali belakangan ini memang tak terelakkan menerima pengaruh sistem kalender Gregorian. Sistem kalender Barat yang berlaku internasional ini tak urung lagi mengatur hampir semua tatanan kehidupan sekala manusia Bali. Akibatnya, hari-hari manusia diatur jadwal Senin sampai Minggu Ini berarti manusia mengikatkan diri pada waktu, pada jadwal, pada kalaKala artinya 'waktu' "Ini sangat berbeda dengan pandangan filosofi Bali yang justru menginginkan manusia terbebas dari waktu, bebas dari cengkeraman kala" jelasnya.   

melis, menyucikan diri lahir batin. foto: widnyana sudibyaAgar terbebas dari belitan sang waktu, Dharma Palguna mengingatkan, pertama kali manusia harus bersahabat dengan waktu. Selanjutnya, dengan bersahabat itulah manusia membebaskan diri dari ikatan sang waktu. "Inti filosofinya di Bali, dapatkan kemudian lepaskan, berjuang untuk sebuah upacara kemudian lepaskan, dikejar untuk didapat kemudian dilepaskan," tandas peraih doktor dari Universitas Leiden, Belanda, ini. Pendeknya, dengan bersahabat bersama sang waktu berarti orang bisa mengantisipasi waktu itu sendiri. Secara gampangnya, agar bisa mengalahkan musuh yang sakti maka kita harus mengetahui musuh itu dulu.  

Karena telah masuk dan bersahabat dengan waktu, maka pandangan waktu manusia Bali pun sudah mendarah daging. Tidak hanya terbatas di pikiran, tapi juga direalisasikan dalam laku nyata Di luar urusan rutin sekala, hingga kini manusia Bali kebanyakan tetap mengawali segala kegi-atannya dengan memilih waktu. Wujud paling gampang pemilihan waktu ini bisa dicermati dari dipilihnya dewasa ayu (hari baik). Jangankan yang berkaitan dengan kegiatan niskala atau keagamaan, seperti potong gigi, perkawinan, ngaben, macarumlaspasin, bahkan untuk prihal sekala  pun manusia Bali tetap memilih dewasa ayu. Mulai membangun rumah, menabur benih padi, membuka warung, berjualan di pasar, hingga mengebiri ternak, menebang kayu untuk bangunan pun ada dewasa ayu-nya. Lihatlah kalender-kalender Bali, di sana dewasa ayu bertaburan sepanjang hari. Selain kepada sulinggih (pendeta), di lembar-lembar kalender Bali itulah manusia Bali kini umumnya melihat hari baik.   

"Dewasa ayu itu semacam ramalan yang dijadikan pedoman untuk mendapatkan hasil optimal atas suatu kegiatan. Memilih dewasa berarti memilih waktu terbaik untuk kegiatan tertentu," papar Ketua Ikatan Penyusun Kalender Bali, K Kebek Sukarsa  
Dalam siklus sehari-hari pun manusia Bali diingatkan agar tetap bersahabat dengan waktu. Saat tengai tepet (tepat tengah hari), misalnya, orang diingatkan agar tidak bepergian. Demikian juga saat sandyakala (rembang petang), tengah lemeng (tengah malam).   
Kepala Kantor Departemen Agama Kota Madya Denpasar, Cokorda Raka Krisnu, mencermati, larangan demikian bukanlah iseng belaka. Sebaliknya, justru didasarkan pada wawasan ruang dan waktu yang luas serta mendalam. Saat-saat tersebut merupakan momentum pertemuan yang diikuti peralihan waktu. Tengai tepet merupakan pertemuan waktu pagi dengan siang yang kemudian disusul senja. Sandyakala, pertemuan sore atau senja dengan petang yang diikuti malam.  

"Masa-masa pertemuan (sandhi) atau peralihan itu dalam pandangan Bali merupakan momen sangat penting sekaligus masa transisi yang magis, sehingga patut diwaspadai," urai Raka Krisnu.  
cok raka krisnu, foto: widnyana sudibyaDemikianlah, selain tengai tepet, sandyakala, tengah lemeng dalam siklus harian, manusia Bali pun memberi makna khusus pada pertemuan hari-hari tertentu. Misalnya, kajeng kliwon (pertemuan siklus hari terakhir triwara dengan hari terakhir pancawara), tumpek(pertemuan hari terakhir saptawara dengan hari terakhir pancawara). Begitu juga dengan pertemuan ruang, seperti pertigaan dan perempatan, diberikan makna khusus secara spiritual. "Baik  pertemuan waktu maupun pertemuan ruang ditandai dengan upacara. Upacara itu menjadi sarana bagi manusia mengendalikan diri sekaligus memutar kesadarannya pada keberadaan  Tuhan," lanjut Cok Raka Krisnu.   
Dalam catatan IBM Dharma Palguna, upacara itulah yang membedakan pandangan atau wawasan manusia Bali dengan bangsa lain tentang waktu. Manusia Bali senantiasa menandai sekaligus memaknai peralihan waktu dengan persembahan dalam bentuk upacara, sedangkan bangsa lain cenderung menyambut dan merayakannya dengan gebyar hura-hura. Peralihan dari tahun 1999 ke tahun 2000, misalnya, oleh kebanyakan orang cenderung di-sambut dan dimeriahkan dengan aneka kegiatan hura-hura. Bahkan, digembar-gemborkan sebagai peralihan milenium. Padahal, "Semua perayaan itu menunjukkan orang tersebut nyata-nyata mengikatkan diri pada waktu," jelasnya.  
Beda dengan Bali. Peralihan kurun waktu tertentu justru ditandai dan dimaknai dengan persembahan. Manakala matahari mulai menyembul di ufuk timur, pendeta-pendeta di Bali telah menyambut pagi itu dengan uncaran puja suryasewana

Di luar itu orang Bali menandai pagi yang mulai pukul 04.00 dengan banten saiban sehabis memasak, sampai segehan setiap kajeng kliwon, lalu tawur setiap tahun (sehari sebelum hari suci Nyepi, sebagai Tahun Baru Saka). Manakala kurun waktu dasawarsa (10 tahun) dipersembahkan upacara Panca Bali Krama, kemudian Eka Dasa Rudra saat peralihan abad (100 tahun), dan Baligya Marebhu Bhumi saat tahun berakhir dengan tiga nol (windhu-tiga) atau yang dalam pandangan Barat dikenal dengan milenium (1000-an). 

"Persembahan-persembahan yang terus-menerus itu menunjukkan kerendahhatian manusia di hadapan Kemahakuasaan Tuhan," Cok Krisnu menambahkan.   
Selain persembahan, momentum pertemuan atau peralihan waktu itu juga penting bagi manusia melakukan evaluasi diri. Apa yang sudah dilakukan? Bagaimana melangkah selanjutnya? Apa yang perlu diperbaiki atau disesuaikan karena tidak cocok lagi. "Evaluasi diri ini hanya bisa dilakukan dengan menghentikan kegiatan, lalu melakukan perenungan," tegasnya.   

Evaluasi seyogyanya dilakukan terus-menerus. Dalam tradisi Bali, evaluasi dengan momentum waktu itu dalam siklus harian dilakukan per enam jaman mulai matahari terbit (pukul 06.00), lalu saat matahari tepat di atas kepala (tengah hari, pukul 12.00), saat matahari terbenam (sandyakala, pukul 18.00), hingga pas tengah malam (tengah lemeng, 24.00). Evaluasi juga dilakukan dalam siklus tiga harian (kajeng), lima harian (kliwon), hingga lima belas harian (kajeng kliwon), bulanan (purnama dan tilem). Tak sampai di sana. Juga ada evaluasi enam bulanan (210 hari), seperti Tumpek, Galungan-Kuningan; tahunan (kasanga, hitungan sembilan sebagai angka tertinggi), sepuluh tahunan, seratus tahunan, seribu tahunan.   

Setiap periode, tentu saja, berbeda tingkatan perubahannya. Perubahan setahun, misalnya, tentulah berbeda dengan satu dasawarsa, apalagi perubahan satu abad. Dan, setiap perubahan tentulah menimbulkan ketidakseimbangan baru, sesuai dengan tingkatan perubahannya. Karenanya, kebutuhan untuk menyeimbangkannya kembali pun berbeda mengikuti tingkat perubahannya. Persembahan harian tentu saja berbeda dengan persembahan tahunan, satu dasawarsa, satu abad, apalagi satu milenium. Akibatnya yang wajar, "Penataan ulang terhadap tata kehidupan bermasyarakat, tata pelaksanaan keagamaan pun berbeda."  

Keberadaan waktu dalam pandangan Bali, memang, tak hanya mencakup bidang kehidupan yang luas, tapi juga membentangkan momentum perenungan yang mendalam. Karena itu, Cok Raka Krisnu mengingatkan, pentingnya setiap orang memilah waktunya menjadi tiga. Pertama, waktu rajasika, yakni waktu beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup secara lahir. Kedua, waktu tamasika, yakni saat untuk beristirahat sehingga raga tidak kelelahan. Ketiga, waktu satwika. Inilah waktu yang baik untuk merenung, sembahyang, untuk kemuliaan dan pemuliaan hidup.   
"Waktu jangan dihabiskan sepanjang hari hanya untuk mengejar kebutuhan hidup lahiriah yang menjadikan kita sangat terikat pada waktu, lalu sakit-sakitan, dan akhirnya menjadi santapan Batara Kala," tuturnya.   

Jung Iryana, Ananta Wijaya,   
I Ketut Sumarta  

Sabar, Milenium Bali 79 Tahun Lagi

Kaum pedagang hanya menjadikan Bali sebagai merek dagang dengan isu milenium. Dijual mahal dengan aneka paket glamor. Di sisi lain, orang Bali sendiri hanya milu-milu tuung milenium. Padahal, milenium Bali baru tiba 79 tahun lagi.  
   
Alangkah dahsyat sihir milenium. Seluruh jagat pun terpukau. Aneka barang dagangan sontak dikait-kaitkan dengan milenium. Dari motor hingga sandal jepit pun berlabel milenium. Pameran dagang sampai diskon pasar swalayan tak urung mengait-ngaitkan diri dengan milenium. Dunia gaduh, riuh. Orang-orang berceloteh perihal satu kata yang sama: milenium. Inilah dia akhir tahun yang paling hingar bingar. Orang sunguh-sungguh dibuat mabuk dan bergoyang-goyang.  

Pedanda Bisa Raja pun Boleh

Adat Bali memposisikan laki dan perempuan setara dan berpasangan. Masing-masing punya tugas dan kewenangan sendiri. Mau jadi pendeta bisa, menjadi raja pun tak dilarang. 
 
Sungguh kasihan wanita Bali. Hidupnya didominasi laki-laki. Mereka tak  berhak mendapatkan warisan. Hanya laki-laki yang berhak atas warisan. Bali itu diskriminatif!” 
Tanpa hujan tanpa angin, seorang pe-ngacara wanita yang juga dikenal sebagai aktivis perempuan di Jakarta tiba-tiba saja membanjirkan tudingannya. Karena diberondongkan dalam suatu jumpa pers, kontan saja media massa cetak maupun elektro-nik mengutip omongan sang pengacara yang meluncur layaknya air bah itu, belum lama berselang. Dan, kesimpulan semacam ini bukanlah yang pertama kali dilontarkan orang luar terhadap Bali. Tapi, benarkah adat Bali berlaku tak adil bagi wanita? 

Mimpi Luwih Luh Luwes

Perempuan BaliPengusaha kerajinan perak, Desak Made Suarti, sepakat wanita Bali dikatakan sudah memiliki potensi kuat. “Tiang lihat wanita Bali sudah memiliki kekuatan, semangat, kecerdasan, kelembutan  sebagai seorang luh luwih (wanita utama) dan luh luwes. Tinggal ditingkatkan untuk memasuki dunia mo-dern,” paparnya.   
Wanita Bali asal Gianyar yang disun-ting pria Amerika ini menilai, perempuan modern di Eropa dan Amerika, memang memiliki kecantikan, namun cenderung melupakan sisi kewanitaannya. “Mereka lupa mengontrol diri terhadap apa yang semestinya ia lakukan sebagai seorang wanita,” katanya. Sebaliknya, wanita Bali meskipun masuk jagat modern,  tetap punya jati diri, seperti kesetiaan pada suami, mendidik anak, dan bertanggung jawab terhadap keluarga.   

Di Antara Tugas dan Pesona

Wanita Bali banyak dikagumi orang asing sejak 1920-an. Bahkan disebutkan sebagai wanita asli tercantik di dunia. Belakangan, peneliti luar menilai wanita Bali terdesak dan dieksploitasi laki-laki. Bagaimana pendapat wanita Bali dan peneliti lokal?
Wanita asli tercantik di dunia. Begitulah predikat yang pernah disematkan orang asing terhadap wanita Bali. Adalah Helen Eva Yates dalam bukunya, Bali: Enchanted Isle (Bali, Pulau yang Memikat), yang terbit 1933 di London, memberikan penilaian gemilang itu. Pujian tersebut dicetuskan setelah Helen melihat kulit sawo matang wanita Bali yang mengkilat disiram sinar matahari, karena tanpa baju. Helen melenggang di Bali sebagai turis tahun 1920-an. Wanita Bali memang memikat perhatian pengamat asing sejak 1920-an. Tak mengherankan, bila banyak buku-buku sarjana asing yang mengungkapkan soal wanita Bali. Baik karena kecantikannya maupun tanggung jawabnya dalam pekerjaan rumah dan ritual. Namun, di balik puja-puji tentang wanita Bali, Helen juga melihat ketidakadilan yang dialami wanita di Pulau Dewata. “Di Bali jumlah wanita dominan, sekitar 70%, tetapi tidak demikian dalam otoritas atau kekuasaan,” tulisnya lagi.

Tiang Peradaban Bernama Wanita

Kitab Manawadharmasastra menyuratkan: Di mana wanita dihormati di sana dewa-dewa merasa senang. Tetapi di mana wanita tidak dihormati, maka tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala. Maka, tak berlebihan bila wanita disebutkan sebagai tiang peradaban. 
luh luih  
luh luu  
luh galuh  
bacakan luh  
ne patut suluh 



Adalah Made Sanggra (74), penyair Bali modern yang juga tokoh veteran, menulis puisi jenaka sarat makna itu dalam buku Kidung Republik, terbitan Yayasan Wahana Dharma Sastra, Sukawati, Gianyar, 1997. Judulnya: Luh (Wanita). 
Bagi Anda yang lihai berbahasa Bali, deretan lima baris kata tersebut tentulah bukan semata-mata akrobat kata-kata. Sebalik-nya,  justru mengurai makna wanita dalam visi Bali secara mendalam: /wanita utama (luh luih)/ wanita hina dina (luh luu)/ wanita ayu mempesona (luh galuh)/ itulah ragam wanita (bacakan luh)/ yang patut dijadikan cermin (ne patut suluh)//.  Begitulah kira-kira pesan yang hendak disampaikan penulis sepuh yang tetap gigih menuliskan karya-karya sastranya dalam bahasa Bali, entah berbentuk cerpen, artikel, ataupun puisi.