Di Antara Tugas dan Pesona

Wanita Bali banyak dikagumi orang asing sejak 1920-an. Bahkan disebutkan sebagai wanita asli tercantik di dunia. Belakangan, peneliti luar menilai wanita Bali terdesak dan dieksploitasi laki-laki. Bagaimana pendapat wanita Bali dan peneliti lokal?
Wanita asli tercantik di dunia. Begitulah predikat yang pernah disematkan orang asing terhadap wanita Bali. Adalah Helen Eva Yates dalam bukunya, Bali: Enchanted Isle (Bali, Pulau yang Memikat), yang terbit 1933 di London, memberikan penilaian gemilang itu. Pujian tersebut dicetuskan setelah Helen melihat kulit sawo matang wanita Bali yang mengkilat disiram sinar matahari, karena tanpa baju. Helen melenggang di Bali sebagai turis tahun 1920-an. Wanita Bali memang memikat perhatian pengamat asing sejak 1920-an. Tak mengherankan, bila banyak buku-buku sarjana asing yang mengungkapkan soal wanita Bali. Baik karena kecantikannya maupun tanggung jawabnya dalam pekerjaan rumah dan ritual. Namun, di balik puja-puji tentang wanita Bali, Helen juga melihat ketidakadilan yang dialami wanita di Pulau Dewata. “Di Bali jumlah wanita dominan, sekitar 70%, tetapi tidak demikian dalam otoritas atau kekuasaan,” tulisnya lagi.



Dalam kaitan itu, Helen mengakui, laki-laki Bali memang pintar bertani, arsitek tangguh di bidang irigasi. Toh, di luar itu segala urusan kehidupan, tulis Helen, justru merupakan tugas wanita.

Gambaran wanita Bali serupa juga diungkapkan Hugh Mabbett dalam buku The Balinese (Orang Bali), terbitan 1985 di Selandia Baru. Dalam rentang 65 tahun setelah Helen ngendon ke Bali, Mabbett masih saja menegaskan: apa pun yang dilakukan laki-laki Bali, wanitalah yang mengerjakan. Kesan Mabbet diperkuat dengan menyebutkan bukti, wanita Bali kerja keras mengangkut pasir di jalan, menyunjung batu di proyek bangunan, mencari nafkah, mengurus rumah tangga, dan nyuwun banten saat upacara. “Laki-laki cenderung menyerahkan urusan agama kepada wanita,” tegas Mabbett.

Tak selesai di sana. Mabbett juga melihat perubahan lain dalam hubungan laki-laki dan perempuan di Bali. Dia berpendapat, sehubungan dengan majunya dunia pendidikan, peluang wanita Bali membangun karir makin terbuka. Pendapat ini jelas menolak pembatasan gerak wanita Bali cuma di rumah (domestikasi). “Mungkin justru nanti akan ada banyak laki-laki Bali nyuwun banten karena wanita sibuk di kantor,” tulis Mabbett. Selain menunjukkan laki-laki Bali mulai terlibat dalam urusan ritual dan pekerjaan rumah tangga (domestik), gejala yang diungkapkan Mabbett itu juga menunjukkan betapa kian kuatnya kemandirian wanita Bali di bidang ekonomi dan keuangan. Benarkah ini? Dalam tulisan ‘Pollution in Paradise: Hinduism and the Subordination of Women in Bali’ (Polusi di Pulau Surga: Hinduisme dan Subordainasi Wanita Bali) yang terbit awal 1990-an di Australia, D.B. Miller dan Jan Branson menyebutkan, wanita Bali memiliki otonomi di bidang ekonomi karena mereka juga bekerja mencari uang. Pasar dan perdagangan jelas merupakan wilayah wanita, tempat mereka bekerja. Tapi, kata Miller dan Branson, otonomi di bidang ekonomi yang dimiliki wanita Bali itu tidak memberikan mereka kedudukan dan status sama di bidang politik dan ritual. Kini banyak laki-laki Bali bergerak di bidang perdagangan dan kegiatan komersial lainnya. Apa akibatnya? “Wanita Bali akan kian terdesak ke urusan rumah tangga atau domestik,” tulis Miller dan Branson.

Studi kasus yang mendalam tentang wanita Bali di pedesaan dilakukan Ayami Nakatami, sarjana Jepang yang meraih doktor di Oxford University, Inggris. Dalam tulisannya yang muncul dalam buku Staying Local in the Global Village, Bali in the Twentieth Century (Tinggal di Desa Global, Bali Abad ke-20) terbit di Hawaii 1999, Ayami memberikan pemahaman baru tentang status wanita Bali (remaja atau ibu-ibu) yang bekerja di rumah. Berdasarkan penelitian terhadap tukang tenun songket di sebuah Desa Singarsa (nama samaran) di Karangasem, Ayami menegaskan, wanita pedesaan di Bali yang bekerja di rumah disebut bekerja karena mendatangkan uang. “Kalau sebagai juru masak tidak dianggap magae (bekerja), kalau menenun songket jelas di sebut magae, walau pekerjaan itu sama-sama dilakukan di rumah,” tulis Ayami.

Bekerja sebagai penenun songket jelas bisa memberikan kemandiran keuangan yang relatif kepada wanita Bali, namun karena tanggung jawab rumah tangga mereka banyak sekali, ‘profesi’ wanita Bali sebagai penenun sering terhalang. “Ada karena upacara, ada karena wanita penenun harus mengurus rumah tangga dan anak,” tulis Ayami. Keproduktifan mereka dalam keadaan demikian tentu merosot. Untuk mengatasi kesibukan rumah tangga dan tuntutan bekerja menenun songket beberapa tukang tenun di Desa Singarsa terpaksa bekerja sesudah selesai mengurus makan malam keluarga. “Mereka bekerja sampai jam 10 atau 11 malam,” tulis Ayami.

Penelitian-penelitian sarjana asing sejak paruh awal abad ke-20 hingga pada tahun terakhir abad yang juga merupakan akhir melinium kedua Masehi ini, tetap saja menunjukkan wajah wanita Bali sebagai pekerja keras. Ada yang memuji itu, ada pula mengucurkan rasa simpati, malah kasihan sehingga mengundang keluh: wanita Bali ditindas laki-laki. Ungkapan lebih kencang lagi: wanita Bali dieksploitasi laki-laki. Ditindas, dieksploitasi?

“Saya tidak setuju bila wanita Bali bekerja keras disebutkan mengeksploitasi wanita,” tepis Ketua Umum Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Bali, Alit Sumantri. Bagi wanita yang masih energik ngayah di pura-pura Sad Kahyangan pada usia 70 tahun ini, wanita Bali terbiasa dibina keluarga agar penuh tanggung jawab. Dan, tanggung jawab sebagai wanita ini melekat pada diri setiap wanita Bali. “Wanita Bali tidak mau tergantung pada orang lain. Rasa tanggung jawab sebagai wanita mendorong kami mengambil setiap pekerjaan sepanjang tak melanggar norma-norma dan etika,” ungkapnya.

Dari sikap hidup demikianlah menjadikan banyak wanita Bali juga terjun di sektor tenaga kerja kasar yang biasanya dilakukan kalangan pria. Misalnya, maburuh bangunan, mengangkut pasir, menjunjung batu, hingga mengaspal jalan. Termasuk pekerjaan yang memang menuntut ketelitian wanita, seperti malester tembok, memplitur, dan mengecat. “Tujuannya, membantu keluarga,” ujar Sumantri.

Sekretaris Umum WHDI Bali, Dra Wayan Karsa Ginantra MKes, pun menolak tegas bila wanita Bali dikatakan ditindas suami atau pria. “Kami tak merasa ditekan oleh suami atau pihak pria untuk bekerja. Semua itu dilakukan atas dasar kerelaan, lebih karena rasa tanggung jawab untuk membantu keluarga, menghidupi keluarga agar anak bisa makan dan sekolah. Apa pun akan dilakukan wanita Bali untuk membantu keluarga,” katanya.
Dalam cermatan Wayan Karsa, di Bali tak hanya wanita sibuk, bekerja keras. Dia menambahkan, “Laki-laki, suami pun bekerja keras, memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga menghidupi keluarga. Makanya pria Bali utamanya sibuk dari pagi hingga sore hari, kemudian di sela-sela kesibukaanya itu ia melepaskan rasa capek, entah dengan mongbong siap (mengadu jago), atau yang lainnya. Itu hiburan setelah letih bekerja.” Adat pun dirasakan Alit Sumantri maupun Wayan Karsa Ginantra tak membelenggu. Sebaliknya, justru memberi wanita Bali kedudukan yang setara dengan pria. Ada bagian-bagian dalam adat yang ditanggungwajabkan kepada pria, ada pula bagian yang diberikan kepada wanita. Wanita Bali ngayah megambel di pura. Tak mau bergantung pada orang lain.
Adat Bali, kata mereka, justru telah mematangkan wanita pintar mengelola dirinya. Tanggung jawab di rumah tangga beres, bekerja atau berkegiatan di luar rumah pun dapat. Bahasa mudahnya, “Pokokne kenken ja, apang magae maan, mabanten jumah pragat, berorganisasi masi payu.” Maksudnya, bisa mengelola dengan merdeka, entah bagaimana caranya, agar pekerjaan di rumah selesai, menghaturkan banten beres, dan berorganisasi pun bisa. Inilah barangkali kemodernan bagi mereka. Yang runyam, kata Karsa, “Justru di pemerintahan. Sepertinya ada ketidakrelaan memberikan posisi-posisi tertentu kepada kaum kami. Memang tidak terang-terangan, tapi sangat jelas bisa dirasakan.” Padahal, bila saja kesempatan itu diberikan, “Kami bisa tunjukkan hasilnya setara bahkan lebih bagus daripada yang bisa dilakukan laki-laki. Tapi, pemerintah justru belum iklas kami mandiri,” sodoknya.

Kemandirian itu juga dinilai pengamat budaya dan manajemen Prof Dr IGN Gorda sebagai potensi keunggulan wanita Bali. Ini dipicu sikap wanita Bali yang mempunyai harga diri tinggi dan tidak mau tergantung pada orang lain. Tak heran bila wanita Bali tidak kepalangtanggung pontang-panting bekerja. Malah cenderung malu bila cuma diam. Meski disayang semua pihak, mereka biasanya tak mau dimanja. Tidak mau direndahkan laki-laki baik itu suami, anak-anak, maupun iparnya. Dia lebih baik bekerja daripada meminta tapi dihina. “Wanita Bali umumnya tak mau natakang lima (menengadahkan tangan) percuma kepada laki-laki. Ini potensi jiwa wirausaha yang luar biasa,” urai Gorda.

Rektor Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar ini melihat, prinsip hidup yang kuat demikian menjadikan ada beberapa etika atau etos kerja wanita yang sangat bisa menunjang perkembangan ekonomi Bali yang mengarah pada ekonomi jasa. Konkretnya, karena pekerja keras, gigih, dan tak mengenal putus asa, wanita Bali siap bekerja dari paling kasar dengan kekuatan fisik, seperti buruh bangunan, sampai ke elite politik, seperti menjadi anggota DPR. “Kalau ingin melihat emansipasi paling sempurna, ya lihatlah pada wanita Bali,” tunjuk Gorda.

Etos kerja demikian juga menjadikan wanita Bali mampu memberikan pelayanan yang baik (good services). Artinya, dalam keadaan susah apa pun, apabila tamu datang maka wanita Bali tetap bisa tersenyum, tanpa terlihat ekspresi kemarahan. Adalah sangat runyam, bahkan perusahaan bisa hancur, bila kemarahan, pertengkaran, atau masalah yang menikam pribadi karyawan lantas dibawa ke tempat kerja. Kata Gorda, “Wanita Bali bisa membalut kemarahan dengan senyuman. Ini etos kerja yang diperlukan dalam era ekonomi jasa, sebagai kualitas sumber daya manusia yang luar biasa.”

Kesetian dan loyalitas wanita Bali pun bisa menjadi modal yang bagus. Meskipun tak memegang data angka pasti, namun Gorda meng-amati, amat kecil jumlah wanita Bali langsung kawin lagi setelah suaminya meninggal. Bila ia punya anak, maka anak inilah yang akan dirawatnya. Anaklah yang membahagiakan sang wanita, sekaligus menjadi tumpuan harapan dan pertaruhan hidupnya. Dalam kepentingan dunia usaha, Gorda menilai, tanpa loyalitas karyawan yang tinggi amat sulit akan bisa memberikan layanan prima.

Selain itu, kemampuan berkomunikasi wanita Bali yang menyejukkan bisa dimanfaatkan sebagai potensi unggul dalam era sekarang. Industri jasa komunikasi kini memegang peranan penting dalam jagat bisnis sehingga wanita Bali sejatinya sudah punya modal kuat. Ada lagi ‘modal’ lain, yakni kesabaran. “Dengan sifat kesabaran ini wanita Bali jarang stres. Dia stres apabila diingkari, bukan karena pekerjaaannya,” sebut Gorda. Artinya, bila pun ada wanita Bali bunuh diri, itu lebih dipicu sebab diingkari oleh anaknya, suaminya, atau pacarnya. Bukan karena beban kerja. Wanita Bali cenderung tak bingung menghadapi persoalan, sehingga tak stres. “Ini justru karena dia sabar, sehingga bisa mengelola tekanan-tekanan.”

Lihat saja, para wanita pedagang tradisional. Bangun pagi-pagi buta, sembah-yang, menyiapkan dagangannya untuk selanjutnya mencari nafkah di pasar demi keluarga. Sampai di rumah ia tidak diam. Dia akan ambil pekerjaan wanitanya, kadang menyiap-kan makanan untuk keluarganya, majejahitan, hingga mengurus anak. Jadi, dalam amatan Gorda, “Sebenarnya wanita Bali sudah memiliki lima ciri khas wanita berkualitas yang dibutuhkan pada era bisnis sekarang. Dia siap bersaing merebut sisi tertentu dari dunia modern ini.”

Nyoman Darma Putra (Brisbane, Australia), 
Jung Iryana

No comments:

Post a Comment