Pedanda Bisa Raja pun Boleh

Adat Bali memposisikan laki dan perempuan setara dan berpasangan. Masing-masing punya tugas dan kewenangan sendiri. Mau jadi pendeta bisa, menjadi raja pun tak dilarang. 
 
Sungguh kasihan wanita Bali. Hidupnya didominasi laki-laki. Mereka tak  berhak mendapatkan warisan. Hanya laki-laki yang berhak atas warisan. Bali itu diskriminatif!” 
Tanpa hujan tanpa angin, seorang pe-ngacara wanita yang juga dikenal sebagai aktivis perempuan di Jakarta tiba-tiba saja membanjirkan tudingannya. Karena diberondongkan dalam suatu jumpa pers, kontan saja media massa cetak maupun elektro-nik mengutip omongan sang pengacara yang meluncur layaknya air bah itu, belum lama berselang. Dan, kesimpulan semacam ini bukanlah yang pertama kali dilontarkan orang luar terhadap Bali. Tapi, benarkah adat Bali berlaku tak adil bagi wanita? 

 “Gunakanlah kacamata orang Bali untuk menilai wanita Bali agar bisa dipahami secara benar. Kalau kacamata atau ukuran-ukuran orang lain yang digunakan, jelas akan keliru. Itu ngawur,” kelit pengamat adat Bali Wayan P. Windia. Bagi dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana ini, guna bisa memahami persoalan waris di Bali, seseorang semestinya memahami terlebih dulu secara benar ajaran Hindu, lalu hidup di Bali mendalami langsung sistem kekerabatan Bali. Dari sini barulah bisa membicarakan masalah waris dalam adat Bali secara benar. “Tanpa tahapan itu akan ngawur,” sebutnya.  

Wanita dalam pencermatan penekun dan penulis adat Bali, Ngurah Oka Supartha,  di Bali  diposisikan setara dengan laki-laki. Bahkan, senantiasa berpasangan (dampati). Wanita secara adat mendampingi si laki. Mendampingi tentu berarti sejajar. Kalau lebih tinggi atau lebih rendah jelas bukan mendampingi. Buktinya? Lihat saja, misalnya, bila si lelaki disucikan menjadi pamangku (rohaniwan pura), si istri pun wajib ikut menjadi pamangku. 

Haknya pun sama. Begitu juga bila sang suami madwijati (disucikan) sebagai pendeta, si istri pun wajib juga ikut menjadi pendeta. Juga sama-sama berhak muput, memimpin upacara. Sehari-hari, pendeta lanang (pria) memilih hari baik dan muput upacara, pendeta wanita memberikan tuntunan upacara yang benar. Jadi, “Di Bali wanita itu bebas, menjadi pendeta bisa, bahkan menjadi raja pun boleh,” ungkap Oka Supartha.  

Dalam lintasan sejarah Bali wanita memang pernah menjadi raja. Contohnya, Dewa Agung Istri Kanya tercatat menjadi Raja Klungkung VII yang secara adat dan agama juga memiliki otoritas di seluruh kerajaan di Bali dan Lombok. Raja wanita yang sepanjang hidupnya lajang (kanya) ini bahkan pernah menghantam mundur Belanda di Pantai Kusamba, ujung timur Klungkung, pertengahan 1849. Jauh sebelumnya, Mahendradatta dari Jawa Timur setelah dipersunting Raja Udayana juga mendampingi sang suami memerintah Bali dengan gelar Gunapriyadharmapatni, yang bisa berarti ‘istri berkewajiban mendampingi suami dalam pemerintahan’. Ini kemudian diteruskan semasa Raja Masula-Masuli yang merupakan pasangan saudara kembar laki-perempuan –yang kemudian dinikahkan, sehingga menurunkan larangan adat manakan salah karena dinilai menyamai sang raja, kembar buncing (laki-perempuan) 

Tak sampai di sana. Setelah Anak Wungsu turun dari tahta kerajaan Bali, dia digantikan oleh anak sulungnya yang berjenis kelamin wanita. Namanya: Sakalindu Kirana. Dialah raja wanita pertama dalam dinasti 
Kesari Warmadewa di Bali. Padahal, Anak Wungsu juga berputra laki-laki, masing-masing Sri Suradipa dan Sri Jayasakti. Toh, Anak Wungsu yang memerintah Bali 1025—1077 ini menetapkan anak wanitanya sebagai pengganti. Alasannya, karena dialah anak sulung. Itu berarti, penentuan putra mahkota pengganti raja di Bali bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan anak sulung. Ini dinamakan sistem mayorat.   

Itu sebabnya Oka Supartha menampik tegas pendapat yang menyebutkan, adat Bali diskriminatif terhadap wanita. Bukti lain, dia menunjukkan, manakala si suami terpilih menjadi klian (ketua) pura atau bendesa (pemimpin) adat, si wanita pun mendampingi menjadi klian atau bendesa istri. “Di sini terjadi pembagian kerja secara serasi antara yang lanang (pria) dengan istri (wanita),” papar Ngurah Oka Supartha. Pada pembagian tugas inilah, kata dia, banyak terjadi kesalahan pengamatan orang luar. “Dikira hanya wanita yang sibuk dan berat bekerja, sementara laki-lakinya santai saja. Itu keliru,” tampiknya. 

Di Bali, pembagian tugas itu sebenarnya sudah adil antara wanita dan pria. Bila hendak melangsungkan upacara besar, mi-salnya, prosesnya panjang dan senantiasa melibatkan wanita. Pertama, krama adat akan parum (rapat) dipimpin bendesa lanang. Hasil paruman ini disampaikan dan dimintakan persetujuan kepada krama istri yang dikomandani istri bendesa. Setelah disepakati soal biaya yang bakal dihabiskan (panelas) serta kewajiban masing-masing warga (paturun), langkah persiapan diadakan. Di sini pihak krama lanang mencarikan bahan-bahan upacara, atas perintah dan petunjuk krama istri. Setelah bahan tersedia, tugas krama istri-lah mengolahnya menjadikannya aneka banten, adapun krama lanang kebagian mengolah ben banten, daging sesajen Tentu akan janggal bila pembagian tugas itu dibolak-balik. Bila si pria mengambil kerja wanita akan dibilang awak muani cara anak luh (lelaki seperti wanita). Atau sebaliknya, dinamakan awak luh cara muani (wanita layaknya pria). Kedua ungkapan ini sama-sama bikin rasa tak enak, karenanya dihindarkan. “Lebih janggal lagi kalau ada kalangan wanita yang menuntut agar wanita ikut paruman untuk mengambil putusan. Forum dan aturan mainnya sudah dibuatkan oleh adat, di mana wanita pun dimintakan pendapatnya,” cetus Oka Supartha.  

Saat acara peminangan anak gadis, misalnya. Sepintas dari jauh terlihat yang me-ngambil putusan cuma laki-laki. Padahal, Oka Supartha yang sering kebagian tugas beginian menyebutkan, sebelum kata ya diputuskan oleh pihak ayah sang dara, sang ibu si gadis pun ditanyai dulu, dimintakan persetujuannya. “Di sana si ayah bahkan menye-rahkan putusannya kepada si ibu, karena secara emosi si ibulah yang lebih banyak tahu tentang sang anak,” ungkap-nya.  

Lontar Jadma Prawerti yang banyak menguraikan tentang hak serta kewajiban wanita dan pria, ataupun pasuara-pasuara (putusan), dan sumber-sumber Bali lainnya memang memposisikan wanitalah yang terdepan. Namun, intrik politik dan gejolak ego, diakui Oka Supartha, mengakibatkan tradisi itu bergeser. Setelah peperangan antarke-rajaan, misalnya, kaum wanita pihak kerajaan yang kalah biasanya dijadikan tawan jarahan (tawanan perang) Kalau raja yang menang taat aturan, si wanita tawan jarahan tadi tetap bakal diperlakukan secara terhormat. Bila gelegak keserakahan tak terkendalikan, lanjutnya, “Di situlah si wanita sering dihinakan, dijadikan selir. Ini jelas penyimpangan adat Bali.” 

Ada kalanya penyimpangan inilah yang ditemui dalam soal warisan. Aslinya, warisan di Bali itu bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan atas dasar tetegenan (kewajiban). Tetegenan itu terkait dengan penyelenggaraan upacara di parhyangan (tempat suci) keluarga batih, dadya, hingga upacara pitra-yadnya, seperti mengabenkan jasad orangtua. Juga kewajiban-kewajiban berdesa adat. Di sini persoalannya bukan pada jenis kelamin, pria atau wanita, melainkan pada siapa yang memikul kewajiban tersebut. Yang tak memikul langsung tanggung jawab yang terkait dengan asal-usul kelahiran ini dinamakan ninggal kadaton. Dia ini tak berhak atas warisan. “Tak hanya wanita, bahkan laki-laki pun kalau ninggal kedaton tak kebagian waris,” urai Wayan P. Windia (selengkapnya baca tulisannya pada Bale Bengong, halaman 34 edisi ini).  
Begitulah rupanya cara tetua Bali mempertahankan tradisi parhyangan-nya di Bali: dikaitkan dengan waris. Dan, secara hukum, kalaupun seorang wanita telah ninggal kedaton, namun bila suaminya meninggal maka di tempat suaminya si wanita ini berhak berposisi sebagai laki (purusa). Artinya, secara hukum dia berposisi sebagai bapak, meskipun jenis kelaminnya tetap perempuan. Ini, kata Oka Supartha, bila dia tak kawin lagi, namanya balu pageh, sang janda se-tia. Bila kawin lagi (balu monyer), hak hukum demikian otomatis hilang. Pilihan lain bagi wanita agar secara hukum berkedudukan purusa: menarik laki-laki agar tinggal di rumah si wanita (nyeburin atau nyentana). Di sini si lelaki meskipun sebagai suami bakal berkedudukan sebagai pradana, artinya secara hukum sebagai wanita meski kelaminnya tetap laki. Cara lain lagi: ngidih waris, meminta ahli waris. Di luar itu, belakangan sudah mulai ada kesadaran orangtua membekali anak perempuannya yang menikah dengan bagian warisan. Ini dinamakan jiwa dana.  
Meski secara umum adat Bali tak diskriminatif terhadap wanita, toh Windia tak menampik memang ada yang perlu diluruskan bahkan diperbarui di sana-sini. Tra-disi pati wangi, misalnya. Upacara ini umumnya digelar bila seorang wanita yang berasal dari wangsa (derajat keturunan) lebih tinggi kawin dengan pria yang secara tradisional dinilai ber-wangsa lebih rendah. Maksudnya, agar si wanita menanggalkan wangsa aslinya yang lebih tinggi itu. “Ini wajib diubah, meskipun sulit,” usul Win-dia.  
Logikanya, kalau ada upacara patiwangi bagi si wanita, secara guyon Windia mempertanyakan, kenapa tidak ada upacara idup wangi untuk memperoleh wangsa lebih tinggi, sesuai dengan derajat keturunan suaminya? “Ini kan konyol namanya,” ia tergelak. 
Penekun adat dari Puri Bunutin, Bangli, AA Gde Ketut Gde, melihat memang ada penyimpangan makna pati wangi itu. Bagi tokoh yang akrab di-sapa Gung Kak ini, pati wangi sesungguhnya bermakna leburnya ego ma-sing-masing pihak yang telah kawin untuk kemudian saling mengikatkan diri dalam tali perkawinan. “Dengan pati wangi dimaksudkan, si pria tak lagi berkeinginan melirik wanita lain, sebaliknya si wanita pun tak boleh lagi suka pada lelaki lain. Ego (wangi) masing-masing harus dikendalikan (pati) ke dalam tali perkawinan sehingga muncul keinginan bersama-sama sebagai suami-istri,” tandasnya. Jadi, lanjut Gung Kak, “Bukan untuk menurunkan derajat wanita bila dia kawin dengan yang ber-wangsa lebih rendah. Manusia itu sama, tak dibedakan atas wangsa-nya, kecuali guna dan karmanya.”  

Contoh lain yang diusulkan Windia ditanggalkan adalah bila ada wanita hamil namun tidak ada yang mengaku menghamilinya. Di sini secara adat si wanita dikenakan sanksi karena dianggap ngletehin (mencemari) desa adat. Ini agaknya perlu direlakan ditinggalkan. Sebab kalaupun wanita itu hamil, jelas itu bukan kemauannya sendiri, melainkan juga ada orang lain, yakni laki-laki. Kalau orang ini diketahui, mestinya si pria juga harus dikenai hukuman. Paling ringan: harus mengawini si wanita hamil tadi. “Bahwa setelah kawin ia cerai, itu lain masalah,” tandasnya. 

Sayangnya, dalam pencermatan Windia, pengadilan negeri pun ikut-ikutan memperlemah posisi wanita. Hukuman bagi si pria, jika terbukti, hanya penjara maksimal tiga bulan. Padahal, secara adat maupun hukum nasional anak yang terlahir dari si wanita tadi tetap tak akan memiliki kekuatan karena tak terlahir dari ikatan perkawinan yang sah. “Mesti diubah, atau jangan didukung,” kata Windia.

Jung Iryana, I Ketut Sumarta

No comments:

Post a Comment