Darah Daging Bali Bernama Waktu

Pandangan waktu manusia Bali sudah mendarah daging. Jangankan kegiatan yang berkaitan dengan niskala, kegiatan sekala pun tak lepas dari pemilihan waktu. Kenapa saat tengai tepet, sandya-kala, tengah lemeng, dilarang bepergian?  
   
Saya iri kepada ibu di kampung. Dia bebas memilih waktu mengerjakan sesuatu, sesukanya. Tak ada jadwal yang mengikatnya. Dia benar-benar bebas," keluh Putu Jaya, 38 tahun. "Sangat beda dengan saya. Detik demi detik terikat jadwal yang ketat," imbuh ayah dua anak ini.  
nasi tawur, foto: widnyana sudibyaSebagai manajer pemasaran sebuah hotel bintang lima di kawasan Nusa Dua, jadwal Putu sangat ketat, memang. Lebih-lebih lagi saat musim paceklik turis seperti belakangan ini. Amuk massa yang meletup di Buleleng, Jembrana, dan Badung, 20-21 Oktober 1999 lalu rupanya berimbas dahsyat terhadap citra pariwisata Bali. Ditambah ketegangan hubungan pemerintah Indonesia dengan Australia gara-gara urusan Timor Timur dan disusul pula larangan pemerintah Amerika Serikat kepada warganya bepergian ke luar negeri karena ancaman teroris, lengkaplah sudah derita yang menimpa insan pariwisata Bali. Tak pelak, Putu Jaya pun kian berkerut. Wajahnya kusut. Hari-harinya sangat sibuk.   
"Tiap hari rapat bisa lima kali. Meeting dengan GM (general manager), meeting dengan inilah dengan itulah. Kontak si A-lah, kontak si B-lah. Pusing. Muak rasanya. Hasilnya, tetap saja turis sepi," Putu bersungut-sungut. Saking sibuknya, ia pun tak sempat pulang ke kampungnya. Padahal, saat Purnama sasih Kenem, Kamis-Paing, 23 Desember 1999 lalu, keluarga besarnya justru sedang menggelar upacara ngenteg linggih di pura paibon-nya.    

"Gara-gara meeting dengan GM sampai larut malam, saya tak bisa pulang mabakti, padahal ngenteg linggih itu baru pertama kali dilakukan sejak 80 tahun lalu. Kualat rasanya saya hanya menyuruh istri dan anak-anak pulang, sementara saya duduk di ruangan ber-AC di hotel. Gendeng!" tandas lelaki asal Karangasem itu, kesal.   
Putu tidak sendirian, tentu saja. Banyak 'Putu-Putu' lain kini sedang diperhadapkan dengan masalah sama di Bali ataupun di luar Bali. Pilihannya pun umumnya sama: lebih memihak pekerjaan daripada menyediakan waktu untuk mabakti. Ironis?  

Dalam pengamatan peneliti sastra Kawi atau Jawa Kuna, Dr IBM Dharma Palguna, Bali belakangan ini memang tak terelakkan menerima pengaruh sistem kalender Gregorian. Sistem kalender Barat yang berlaku internasional ini tak urung lagi mengatur hampir semua tatanan kehidupan sekala manusia Bali. Akibatnya, hari-hari manusia diatur jadwal Senin sampai Minggu Ini berarti manusia mengikatkan diri pada waktu, pada jadwal, pada kalaKala artinya 'waktu' "Ini sangat berbeda dengan pandangan filosofi Bali yang justru menginginkan manusia terbebas dari waktu, bebas dari cengkeraman kala" jelasnya.   

melis, menyucikan diri lahir batin. foto: widnyana sudibyaAgar terbebas dari belitan sang waktu, Dharma Palguna mengingatkan, pertama kali manusia harus bersahabat dengan waktu. Selanjutnya, dengan bersahabat itulah manusia membebaskan diri dari ikatan sang waktu. "Inti filosofinya di Bali, dapatkan kemudian lepaskan, berjuang untuk sebuah upacara kemudian lepaskan, dikejar untuk didapat kemudian dilepaskan," tandas peraih doktor dari Universitas Leiden, Belanda, ini. Pendeknya, dengan bersahabat bersama sang waktu berarti orang bisa mengantisipasi waktu itu sendiri. Secara gampangnya, agar bisa mengalahkan musuh yang sakti maka kita harus mengetahui musuh itu dulu.  

Karena telah masuk dan bersahabat dengan waktu, maka pandangan waktu manusia Bali pun sudah mendarah daging. Tidak hanya terbatas di pikiran, tapi juga direalisasikan dalam laku nyata Di luar urusan rutin sekala, hingga kini manusia Bali kebanyakan tetap mengawali segala kegi-atannya dengan memilih waktu. Wujud paling gampang pemilihan waktu ini bisa dicermati dari dipilihnya dewasa ayu (hari baik). Jangankan yang berkaitan dengan kegiatan niskala atau keagamaan, seperti potong gigi, perkawinan, ngaben, macarumlaspasin, bahkan untuk prihal sekala  pun manusia Bali tetap memilih dewasa ayu. Mulai membangun rumah, menabur benih padi, membuka warung, berjualan di pasar, hingga mengebiri ternak, menebang kayu untuk bangunan pun ada dewasa ayu-nya. Lihatlah kalender-kalender Bali, di sana dewasa ayu bertaburan sepanjang hari. Selain kepada sulinggih (pendeta), di lembar-lembar kalender Bali itulah manusia Bali kini umumnya melihat hari baik.   

"Dewasa ayu itu semacam ramalan yang dijadikan pedoman untuk mendapatkan hasil optimal atas suatu kegiatan. Memilih dewasa berarti memilih waktu terbaik untuk kegiatan tertentu," papar Ketua Ikatan Penyusun Kalender Bali, K Kebek Sukarsa  
Dalam siklus sehari-hari pun manusia Bali diingatkan agar tetap bersahabat dengan waktu. Saat tengai tepet (tepat tengah hari), misalnya, orang diingatkan agar tidak bepergian. Demikian juga saat sandyakala (rembang petang), tengah lemeng (tengah malam).   
Kepala Kantor Departemen Agama Kota Madya Denpasar, Cokorda Raka Krisnu, mencermati, larangan demikian bukanlah iseng belaka. Sebaliknya, justru didasarkan pada wawasan ruang dan waktu yang luas serta mendalam. Saat-saat tersebut merupakan momentum pertemuan yang diikuti peralihan waktu. Tengai tepet merupakan pertemuan waktu pagi dengan siang yang kemudian disusul senja. Sandyakala, pertemuan sore atau senja dengan petang yang diikuti malam.  

"Masa-masa pertemuan (sandhi) atau peralihan itu dalam pandangan Bali merupakan momen sangat penting sekaligus masa transisi yang magis, sehingga patut diwaspadai," urai Raka Krisnu.  
cok raka krisnu, foto: widnyana sudibyaDemikianlah, selain tengai tepet, sandyakala, tengah lemeng dalam siklus harian, manusia Bali pun memberi makna khusus pada pertemuan hari-hari tertentu. Misalnya, kajeng kliwon (pertemuan siklus hari terakhir triwara dengan hari terakhir pancawara), tumpek(pertemuan hari terakhir saptawara dengan hari terakhir pancawara). Begitu juga dengan pertemuan ruang, seperti pertigaan dan perempatan, diberikan makna khusus secara spiritual. "Baik  pertemuan waktu maupun pertemuan ruang ditandai dengan upacara. Upacara itu menjadi sarana bagi manusia mengendalikan diri sekaligus memutar kesadarannya pada keberadaan  Tuhan," lanjut Cok Raka Krisnu.   
Dalam catatan IBM Dharma Palguna, upacara itulah yang membedakan pandangan atau wawasan manusia Bali dengan bangsa lain tentang waktu. Manusia Bali senantiasa menandai sekaligus memaknai peralihan waktu dengan persembahan dalam bentuk upacara, sedangkan bangsa lain cenderung menyambut dan merayakannya dengan gebyar hura-hura. Peralihan dari tahun 1999 ke tahun 2000, misalnya, oleh kebanyakan orang cenderung di-sambut dan dimeriahkan dengan aneka kegiatan hura-hura. Bahkan, digembar-gemborkan sebagai peralihan milenium. Padahal, "Semua perayaan itu menunjukkan orang tersebut nyata-nyata mengikatkan diri pada waktu," jelasnya.  
Beda dengan Bali. Peralihan kurun waktu tertentu justru ditandai dan dimaknai dengan persembahan. Manakala matahari mulai menyembul di ufuk timur, pendeta-pendeta di Bali telah menyambut pagi itu dengan uncaran puja suryasewana

Di luar itu orang Bali menandai pagi yang mulai pukul 04.00 dengan banten saiban sehabis memasak, sampai segehan setiap kajeng kliwon, lalu tawur setiap tahun (sehari sebelum hari suci Nyepi, sebagai Tahun Baru Saka). Manakala kurun waktu dasawarsa (10 tahun) dipersembahkan upacara Panca Bali Krama, kemudian Eka Dasa Rudra saat peralihan abad (100 tahun), dan Baligya Marebhu Bhumi saat tahun berakhir dengan tiga nol (windhu-tiga) atau yang dalam pandangan Barat dikenal dengan milenium (1000-an). 

"Persembahan-persembahan yang terus-menerus itu menunjukkan kerendahhatian manusia di hadapan Kemahakuasaan Tuhan," Cok Krisnu menambahkan.   
Selain persembahan, momentum pertemuan atau peralihan waktu itu juga penting bagi manusia melakukan evaluasi diri. Apa yang sudah dilakukan? Bagaimana melangkah selanjutnya? Apa yang perlu diperbaiki atau disesuaikan karena tidak cocok lagi. "Evaluasi diri ini hanya bisa dilakukan dengan menghentikan kegiatan, lalu melakukan perenungan," tegasnya.   

Evaluasi seyogyanya dilakukan terus-menerus. Dalam tradisi Bali, evaluasi dengan momentum waktu itu dalam siklus harian dilakukan per enam jaman mulai matahari terbit (pukul 06.00), lalu saat matahari tepat di atas kepala (tengah hari, pukul 12.00), saat matahari terbenam (sandyakala, pukul 18.00), hingga pas tengah malam (tengah lemeng, 24.00). Evaluasi juga dilakukan dalam siklus tiga harian (kajeng), lima harian (kliwon), hingga lima belas harian (kajeng kliwon), bulanan (purnama dan tilem). Tak sampai di sana. Juga ada evaluasi enam bulanan (210 hari), seperti Tumpek, Galungan-Kuningan; tahunan (kasanga, hitungan sembilan sebagai angka tertinggi), sepuluh tahunan, seratus tahunan, seribu tahunan.   

Setiap periode, tentu saja, berbeda tingkatan perubahannya. Perubahan setahun, misalnya, tentulah berbeda dengan satu dasawarsa, apalagi perubahan satu abad. Dan, setiap perubahan tentulah menimbulkan ketidakseimbangan baru, sesuai dengan tingkatan perubahannya. Karenanya, kebutuhan untuk menyeimbangkannya kembali pun berbeda mengikuti tingkat perubahannya. Persembahan harian tentu saja berbeda dengan persembahan tahunan, satu dasawarsa, satu abad, apalagi satu milenium. Akibatnya yang wajar, "Penataan ulang terhadap tata kehidupan bermasyarakat, tata pelaksanaan keagamaan pun berbeda."  

Keberadaan waktu dalam pandangan Bali, memang, tak hanya mencakup bidang kehidupan yang luas, tapi juga membentangkan momentum perenungan yang mendalam. Karena itu, Cok Raka Krisnu mengingatkan, pentingnya setiap orang memilah waktunya menjadi tiga. Pertama, waktu rajasika, yakni waktu beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup secara lahir. Kedua, waktu tamasika, yakni saat untuk beristirahat sehingga raga tidak kelelahan. Ketiga, waktu satwika. Inilah waktu yang baik untuk merenung, sembahyang, untuk kemuliaan dan pemuliaan hidup.   
"Waktu jangan dihabiskan sepanjang hari hanya untuk mengejar kebutuhan hidup lahiriah yang menjadikan kita sangat terikat pada waktu, lalu sakit-sakitan, dan akhirnya menjadi santapan Batara Kala," tuturnya.   

Jung Iryana, Ananta Wijaya,   
I Ketut Sumarta  

No comments:

Post a Comment