Geng Karya, Geng Goda

Di Batur, Kintamani, Desember 1999 lalu berlangsung upacara pabersihan Segara Danu lan Gunung Batur yang menurut pangelingsir Pura Ulun Danu Batur Jero Gede Duwurandan Jro Gede Alitan telah 200 tahun belum pernah dilaksanakan.  Usai tawur, lima gandeng perahu yang memuat wewalungan meluncur ke tengah danau lalu berpencar ke arah nyatur: utara,timur, selatan dan barat, serta satu tetap di tengah. Perahu-perahu lain kemudian menyusul, mengangkut para pangayah.   

Nyepi Nungkalik

Hari raya Nyepi, seperti yang sudah sudah, pasti diusahakan sekhusuk mungkin. Kalau bisa, tak hanya kendaraan jangan lewat di jalan raya, tapi bunyi apa pun usahakan jangan sampai terdengar. Amati geni agar sungguh dipatuhi. Malam hari harusnya gelap gulita, listrik padam total.  

Tapi nyatanya, seperti yang sudah-sudah,Nyepi khusuk total tak gampang dilaksanakan. Masih saja mobil lalu lalang, cahaya menerobos keluar dari celah-celah kordin dan genting.  

Sija, Orang Bali Miskin yang Berkecukupan


bapa sija di rumahnya. foto: dianthaIa dikenal sebagai seniman multidimensi: pencipta wayang arja, pembuat sarad, penari, undagi, pelukis, yang menjadi guru ba-nyak murid. “Saya orang miskin yang berkecukupan,” akunya. 

Di zaman Soekarno ada dua desa di Bali yang sangat terkenal: Tampaksiring dan Bona, keduanya di Gianyar. Tampaksiring terkenal karena di sebuah puncak bukit berdiri istana kepresidenan, mendongak di atas Pura Tirtaempul. Dan Bona tersohor karena di dusun itu bisa dijumpai pertunjukan cak terbaik. Jika menyebut  cak, langsung orang terngiang-ngiang Bona.  

Ke kedua desa itu Soekarno sering berkunjung, karenanya jalan menuju dusun-dusun itu mulus, seperti aspal hotmix masa kini. Di hari Galungan banyak anak-anak plesir ke Bona bersepeda, untuk merasakan kenikmatan meluncur di atas kereta angin tanpa guncangan sedikit pun.  

Tampaksiring sampai kini tetap dikenal dengan istananya, namun Bona tak lagi beken dengan cak. Banyak sekaa cak bagus-bagus dari desa lain di Bali Selatan bermunculan. Namun kalau sekarang orang menyebut kerajinan ental (daun lontar), seperti tas, keranjang, bakul, a-nyaman, orang langsung menyebut Bona. Desa ini berhasil melahirkan ciri nama baru: desa perajin lontar.  

Di kalangan seniman dan pemeluk Hindu yang teguh, Bona membawa pula ciri baru: tempat berta- nya sastra agama dan kreativitas seni. Tempat itu melalui gang sempit, di sebuah rumah khas Bali dengan lumbung besar di timur dapur. Di situ seorang laki-laki, 70-an tahun, kakek delapan cucu, menghabiskan waktunya sejak ia lahir dan beranak pinak. Laki-laki berperawakan sedang itu, Made Sija, menjadi sosok yang memberi makna baru bagi Bona. “Ke rumah Bapa ini siapa pun bebas ke luar masuk. Bapa menerimanya de-ngan baik, karena mereka semua o-rang baik-baik,” ujar Sija.  

Selalu Bersama Roh Pekak Kakul

Berbeda dengan kebanyakan desa di Bali yang kesengsem sama gong kebyar, di Desa Batuan drama tari klasik gambuh justru sangat diminati. Sesuatu yang langka dan unik memang, kalau ada remaja dan anak-anak meminati gambuh, sementara ibu dari hampir semua tari Bali ini ditinggalkan peminat seni tari Bali. Koreografer besar, penari tersohor, yang belia, cantik, pun tak tertarik pada gambuh. Beruntunglah Bali punya Batuan, karena di desa ini gambuh selalu direkontstruksi dan diperkaya tanpa mengesampingkan ciri dan keasliannya.  

Gambuh Batuan Bertahan karena Malu

Dirintis maestro Nyoman Kakul, sekaa gambuh Batuan satu dari segelintir seniman yang melestarikan gambuh. “Kami bertahan karena rasa malu,” ujar Ketut Kantor, penerus Kakul. 


Tak banyak yang kini peduli kalau Desa Batuan, Gianyar, adalah desa pelopor industri turisme. Awal tahun ‘70an artshop sudah berdiri di dusun ini, berjajar di tepi jalan utama Denpasar-Gianyar. Kala itu toko kesenian, galeri, di Desa Mas, Ubud, Kuta atau Sanur, tak seriuh sekarang. Tapi catatan terpenting untuk Batuan memang tidak soal urusan toko kesenian, justru dalam hal seni pertunjukan. Catatan itu semakin tajam guratnya kalau kita masuk ke rumah ke-luarga Nyoman Kakul.
gambuh sangggar tari nyoman kakul, foto: aryantha soethamaRumah keluarga Kakul masih sangat mengesankan rumah Bali klasik. Kendati beberapa bangunan modern mendesak ba-ngunan-bangunan tua, tapi di natah itu hawa Bali asli masih terasa kuat berhembus. Tembok bale daja keluarga ini masih terbuat dari popolan (tanah liat). Di pekarangan bagian selatan dikhususkan untuk kegiatan belajar menari. Sanggah dan bale dangin masih membiaskan kesan Bali asli. Di rumah sederhana itulah gambuh mendapat tempat terhormat, menjadi drama tari yang “dibela” dan “disucikan”.
Di desa kelahirannya, Banjar Pekandelan, Desa Batuan,  perjalanan Nyoman Kakul sungguh-sungguh melegenda. Siapa saja yang berniat merunut perjalanan seni tari (klasik) Bali mustahil tidak mampir ke Batuan. Di sana hampir setiap warga desa tahu kisah Kakul yang mengabdikan seluruh ambisi dan energinya untuk tari. Semasa hidup ia mendirikan sekaa Mayasari yang mengkhususkan diri dalam pegambuhan. Kepada anak-anak muda di desanya ia meyakinkan, penguasaan gambuh adalah jalan mulus menguasai bermacam seni tari Bali.  

Mempererat Kekerabatan di Hari Umanis Galungan

Umanis Galungan saat tepat masimakrama, untuk mempererat tali kekerabatan. Kalau toh dimanfaatkan untuk maceki dan meapelalianan, hendaknya jangan sampai menjadi perjudian. 
Hari Umanis Galungan dimanfaatkan oleh masyarakat Bali untuk masimakrama dengan keluarga dan sanak famili. Tak ketinggalan, bajang-teruna merayakannya dengan melali ke tempat-tempat rekreasi dan pusat perbelanjaan. Ida Pedanda Gede Pidada Punia Atmadjamelihat keduanya sebagai ungkapan suka cita. Berikut pandangan Sulinggih yang pernah menjabat Ketua Umum PHDI Pusat ini. 
Mengapa saat Umanis Galungan umat Hindu melaksanakan simakrama? 
Hari Umanis Galungan adalah hari yang sangat baik mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Ini bertalian dengan aspek individu dan aspek sosial manusia. Sebagai individu, manusia tidak bisa terlepas dari ikatan kekeluargaan. Manusia tidak dapat hidup sendiri, ia memiliki ayah, ibu, saudara dan sanak famili. Apalagi mereka yang hidup saling berjauhan. Pada hari Galungan adalah tempat berkumpul kembali, bercerita dan merekatkan tali persaudaraan. Anak-anak akan tahu siapa saudara misan, mindon, dan famili lainnya. 

Bali oleh Bali


sarad, foto: agustanaya

Perbincangan tentang Bali telah banyak dilakukan orang.  Tulisan-tulisan pun bertebaran, makalah, skripsi, disertasi, buku, novel, pidato pejabat, atau catatan perjalanan anak sekolah ketika piknik memenuhi tugas pak guru. Banyak tulisan itu yang ala kadarnya, main-main, saling kutip, sehingga isinya berputar-putar hambar. Orang kemudian menjadi sangsi: Bali yang sebenarnya itu seperti apa? 

Tapi tentu banyak tulisan yang bagus, dialog dan komentar yang memikat. Pelakunya adalah mereka yang sungguh-sungguh berniat mengenal Bali lebih dalam, terarah, terencana, dalam satu kerangka pengkajian menyeluruh. Mereka tak hendak menampilkan Bali yang sepotong-sepotong, yang bisa meletupkan kesalahpahaman dan kegelisahan.   

Island of Bali karya Miguel Covarrubias misalnya, satu contoh buku paling lengkap tentang Bali hingga kini. Ialah buku sederhana, apa adanya, dan dijauhkan dari kesan nyinyir. Setiap orang yang hendak memahami Bali, patut menjadikannya sebagai pintu gerbang. Sebuah buku klasik yang juga sepantasnya dibaca oleh orang Bali, oleh mereka yang lahir di zaman kini, ketika kehalusan budi dan keluguan tradisi tarik menarik dan saling banting dengan dunia modern yang hingar bingar.  

Lulus Ujian, Sunari Ngidam

Judul Buku  : Sunari 
Pengarang  : I Ketut Rida 
Penerbit  : Yayasan Obor, Jakarta 
Tahun, tebal  : 1999, 82 halaman
Setelah 60 tahun lebih, kini novel berbahasa Bali terbit lagi di Jakarta. Ceritanya ringan, namun baik untuk belajar bahasa Bali. Yayasan Rancage yang berpusat di Bandung pun langsung memberi Hadiah Rancage Tahun 2000.
Novel Sunari karya I Ketut Rida (1939) merupakan salah satu karya penting dalam sejarah sastra Bali modern karena dua alasan. Pertama, novel Sunari muncul justru ketika perkembangan sastra Bali modern (seperti juga umumnya sastra berbahasa daerah di daerah lain di Nusantara) dilanda rasa keprihatinan yang mendalam karena jarangnya karya sastra yang terbit dan tipisnya sambutan masyarakat. Kehadiran Sunari setidaknya menyuntikkan rangsangan baru untuk menyemarakkan perkembangan sastra Bali modern memasuki milenium baru. 

Pakelem

danau beratan, foto: prayatna sudibya
 “Alam semesta dan jagat manusia itu punya unsur raga sama. Itulah: Pretiwi (bumi), Apah(air), Teja (sinar), Bayu (angin), dan Akasa (eter). Dinamakan Panca Mahabhuta, Anakku.” Begitu Guru senantiasa mengajarkan kepada kami.

Siwaratri, bukan hari Penebusan Dosa


I Gede Sura, foto: widnyana sudibya 

Tanya Jawab Prihal Tatwa: I Gede Sura

Batara atau Dewa?
Saya ucapkan selamat atas terbitnya majalah SARAD. Membuka-buka halaman demi halaman, saya sangat senang. Inilah kira-nya majalah yang sudah lama saya dambakan. Isinya sejuk, tidak ada sensasi, dan banyak memberikan tuntunan pendalaman makna baik terhadap agama maupun budaya Bali. Karena Redaksi juga menyediakan konsultasi berkaitan dengan masalah agama, maka pada kesempatan kali ini saya ingin mengajukan beberapa per-tanyaan. 
Kalau dicermati di masyarakat Bali, tampaknya hingga kini masih jarang digunakan istilah dewa. Yang lebih sering digunakan adalah batara. Adakah perbedaan istilah dewa dengan batara? Kenapa di masyarakat Bali lebih sering digunakan istilah batara, sedangkan di buku-buku justru lebih sering digunakan istilah dewa. Di masyarakat, misalnya, digunakan nama Batara Brahma, Batara Wisnu, Batara Siwa. Demikian juga halnya dalam seni pertunjukan, lebih sering digunakan batara. Namun di buku-buku bacaan yang pernah saya baca justru disebutkan Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa. Mana yang benar? 
Terima kasih. 
Nyoman Sukarma,
Penebel, Tabanan. 
Menyungsung pralingga Ida Bhatara. foto: AgustanayaJawab:
Sdr. Nyoman Sukarma, 
Dalam memahami perbedaan penyebutan dewa atau batara ini akan sedikit sulit. Tidak dapat dilakukan dalam satu kali. Yang jelas, membutuhkan tahapan. Dalam Weda itu menggunakan istilah dewa. Dewa itu artinya ‘yang bercahaya’. 
Dalam kesehariannya, orang Bali lebih sering menggunakan batara. Kenapa begitu? Ini karena orang-orang beragama di Indonesia, khususnya di Bali, menghadirkan dewa-dewa dalam suatu fungsi yang lebih aktif. Kata asli batara itu adalah bhatara (dengan tanda – di atas huruf r), berasal dari kata bhartr (dengan tanda titik di bawah huruf r terakhir) yang artinya ‘pendukung’. 
Dalam hal ini disebutkan sebagai bhatara karena Tuhan dihadirkan sebagai pendukung manusia, lebih aktif daripada dewa. Misalnya, dalam pembedaan Dewa Wisnu dan Bhatara Wisnu, istilah bhatara yang dimaksud adalah Wisnu yang lebih aktif penekanannya. 

Adakah Surga dan Neraka? 

Busung Bali Sulit Dicari

Orang Bali sangat tergantung pada busung (janur). Kebutuhan busung pun tinggi, sehingga harus didatangkan dari Jawa dan Lampung. Tapi ibu-ibu lebih suka busung Bali, karena lebar, lemes, dan mudah menjahitnya. Tapi, busung Bali semakin sulit dicari.
 
Menjelang pukul sembilan malam di Pasar Badung. Para pedagang  sayur yang mengangkut barangnya dengan pikup mulai memasuki areal parkir, beriringan dengan mobil pengangkut buah-buahan. Pikup sayur datangd ari Baturitu, Tabanan. Yang mengangkut buah dari Jember.
Sebuah pikup L300 cokelat tua kemudian masuk. Sopir memutar kendaraannya ke barat, masuk ke utara, lalu berhenti di bagian timur parkir. Kondektur membuka terpal, janur-janur yang tersusun rapi pun tersembul. Orang-orang yang menunggu sedari tadi merubungnya. Mereka merogoh dompet, menyerahkan uang.
Kondektur itu menepiskannya. “Sabar Bu, Pak, sabar, nanti petugas marah,” ka-tanya sembari menggulung terpal. 

Pelopor Tedung dari Taensiat

Karena teguh mempertahankan kualitas, pajeng buatan Made Kara tersebar di banyak belahan dunia. Presden Sukarno pun  kagum dengan pajeng buatannya. Kini, Kara masih bisa melihat pajeng buatannya yang berumur 30 tahun, seumur dengan perjalanan usahanya membuat pajeng Bali
Made Kara, foto: AgustanayaFalsafah bisnis mengajarkan untuk mengambil setiap kesempatan bila ada jalan untuk melakukannya. Tapi ini tidak berlaku untuk Made Kara, pembuat pajeng asal Denpasar ini. Padahal jika ia mau kesempatan besar itu ada padanya. Pengalamannya dalam pembuatan pajeng pesanan Bung Karno saat pelaksaaan Asian Games di Jakarta tahun 50-an dulu bisa menjadi modal bagi usaha pajeng yang ia tekuni.
Awalnya Made Kara adalah seorang pragina arja. Ia banyak dibentuk oleh seniman-seniman besar seperti I Gusti Ngurah Redok, I Gusti Made Riuh (Penatih), hingga Nyoman Kakul di Batuan, Gia-nyar. Hanya saja nasibnya tak sepopuler guru-gurunya. Kara dikenal tidak sebagai pragina tapi sebagai pembuat pajeng prada.  Api tak jauh dari panggang, usahanya tak jauh  dari dunia seni.Dunia tarilah yang membawanya mengakrabi  bisnis pajeng Bali. Dari tari ia banyak tahu tentang perlengkapan tari seperti saput, badong, gelungan, ukiran hingga pernik-pernik kecil yang dibutuhkan pragina. Maka sembari tetap menekuni tari, jari-jarinya juga bermain di bisnisnya. Hasilnya berbagai jenis pajeng ia hasilkan dari pajeng kecil , pajeng jumbo, pajeng bertumpang hingga pajeng gantung yang sulit ditemui. 

Merengkuh Untung dari Bisnis Tedung

Asian Games 1961 di Jakarta menyulap tedung dari perangkat upa-cara menjadi komoditi bisnis. Payung khas Bali ini kini sudah bisa didapatkan di mana-mana di seluruh dunia.
Bali itu semarak. Jempana, tedung, kober, umbul-umbul, pajeng, berseliweran di mana-mana, setiap waktu. Hotel-hotel menggunakan  tedung dan pajeng (payung) sebagai trade mark promosi produk mereka. Pajeng dengan warna perada gemerlap dipajang di lobi, menyapa wisatawan untuk memasuki atmosfir Bali. Pajeng yang semula digunakan untuk nedungin Ida Batara di pura, kini digamit untuk pariwisata. Dalam brosur –brosur  hotel dan produk jasa pariwisata, penggunaan pajeng  seolah merupakan suatu keharusan sebagai duplikat identitas Bali untuk menambah nilai jual produk yang ditawarkan.  Layaknya koboi untuk Amerika.
Pajeng memang identik dengan karakter seni orang Bali, yang membuat Presiden Sukarno kesengsem, lalu menjadikan pajeng sebagai identitas Indonesia di arena Asian Games di Jakarta, 1961. Sejak itulah bisnis pajeng menggeliat. 

Tak Cukup Sujud, Pedharman Dipugar

Tiga tahun belakangan pembangunan pura-pura padharman di Besakih makin marak. Menepis  kesan jor-joran dan eksklusif, masing-masing soroh saling bantu-membantu. Bahkan ada soroh yang sampai membantu proposal segala.
Gusti Nyoman Dharma, pemuda yang lama diperantauan ini tampak bingung memasuki pelataran pura. Le-bih dari enam tahun ia tak pernah pedek tangkil ke Besakih termasuk pura padharmannya, Pura Padharman Arya Kenceng. Maklum saja, pemuda asal Tabanan kota ini selepas kuliah di Bandung tak langsung mudik, tapi mengadu nasib di kota sejuk Bandung, hingga jarang tangkil. Dalam hati ia tak yakin pura yang ia masuki adalah pura seperti yang ia baca pada sebilah papan didepan pura. ‘’Patut niki pura padahrman Arya Kenceng,’’ tanyanya meyakinkan pada pemedek yang juga tangkil. Meski telah terima jawaban, Dharma tak langsung masila, ambil canang dan dupa seperti pemedek lainnya. Ia bimbang. Peralatan sembahyangnya ia taruh, lantas ia jalan-jalan mengitari pura.  

Menelusuri Jalan Leluhur di Blitar

Pura kahyangan jagat berdiri di Blitar. Arsitekturnya khas Jawa Timur. Padmasana-nya menggunakan dasar ular kobra, bukan naga. Selain sebagai tempat persembahyangan, pura ini memang dimaksudkan untuk menggali kembali kebudayaan Hindu di Jawa yang telah lama terkubur.

Ada kesan sangat lain menyusup ke sanubari ketika kami, sejumlah mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, mengikuti upacara piodalan di Pura Penataran Prabha Bhuwana, Blitar, Jawa Timur. Sekilas memang mengingatkan kami pada upacara-upacara piodalan di pura-pura di seantero Bali. Namun, segera kami tersadar, saat itu, kami bukan menjejakkan kaki di tanah Bali, melainkan di sebuah daerah yang dikenal sebagai tanah kelahiran mendiang Presiden RI Pertama, Soekarno  —ratusan kilometer di sebelah barat tanah Bali. 
Alunan gamelan yang mengiringi gemulai tarian Jawa memberi nuansa lain. Kidung-kidung dalam bahasa Jawa yang mengiringi Rama Pandita, pemimpin upacara setempat, menguncarkan bait-bait mantra pengantar yadnya pun menumbuhkan kesan tersendiri. “Nuansa religiusnya berbeda. Seperti masuk ke zaman Kerajaan Majapahit saja,’’gumam seorangteman.
Braya Hindu Jawa ngayah di Pura Besakih. foto: widnyana sudibyaBegitulah, kesan budaya setempat memang sangat kuat tertangkap di Pura Penataran Prabha Bhuwana –dan kami pun sangat suka itu. Memang, sebagaimana halnya saat piodalan pura-pura di Bali, warga Hindu di Blitar pun menghaturkan sesajen berupa pajegan. Sesajen ini juga dirangkai tinggi, layaknya di Bali. Cuma, tingginya tentu saja tak seatraktif yang biasa terlihat di Pulau Dewata. Beda lainnya, kalau di Bali pajegan dibuat dengan merangkai aneka buah hasil kebun atau hutan dan aneka kue, di Blitar yang dirangkai adalah hasil bumi asli setempat.  Misalnya, tomat, pisang, ketimun, dan jambu. Kue-kuenya pun berbentuk asli lokal. 
“Pajegan tak hanya dihaturkan saat piodalan. Setiap Purnama dan Tilem pun umat Hindu di Blitar menghaturkan banten pajegan,’’ ungkap Eko Susiadi, tokoh pemuda setempat yang lama menimba ilmu di Bali ini.  

Situs Air dengan Sebelas Tirta


Ngurah Oka Supartha, foto: prayatna sudibyaDanau Batur, memang, sebuah si- tus air terlengkap dalam jagat agraris Bali. Ada sebelas sumber air (tirtha) di seputar danau ini. Masing-masing: Telaga Waja, Danu Gadang, Danu Kuning, Bantang Anyud, Pelisan, Mangening, Pura Jati, Rajang Anyar, Manik Bungkah (Toya Bungkah), Mas Mampeh, dan Tirtha Prapen. Masing-masing sumber air ini memiliki fungsi sendiri-sendiri, sekaligus menjadi pemasok air sungai-sungai utama di Bali. Danu Kuning, misalnya, memasok (ngecok) ke Tukad Melangit di Klungkung dan Tukad Pakerisan. 
Sedangkan Danu Gading memasok air ke Tukad Bubuh, Telaga Waja ngecokin Tukad Telaga Waja yang memasok air ke subak di Karangasem dan Klungkung, demikian seterusnya. Pasokan air inilah yang kemudian menjadikan subak-subak di wilayah yang dialiri oleh sungai-sungai bersangkutan akhirnya nyungsung (bertanggung jawab) ke Pura Danu di Batur, Beratan, Tamblingan, atau malah Gunung Agung langsung. Artinya, “Subak dengan kewajiban-kewajibannya dibagi berdasarkan sumber air di hulu,” Jero Gede Makalihan, sesepuh adat Batur. 

Bebotoh Pantang Disapa

Boleh jadi pulau yang paling banyak punya julukan adalah Bali. Ia dijuluki Pulau Surga, Pulau Dewata, Pulau Kahyangan, tempat para dewa dan bidadari memberi wahyu, kemolekan, cinta, dan kasih sa-yang. Ketika dunia porak poranda oleh perang, perkelahian, atau dijejali perseteruan merebut uang dari kerja pabrik-pabrik, Bali dijuluki Firdaus Terakhir, taman yang sepenuhnya menjanjikan kedamaian. Orang-orang kaya di negeri maju, yang sering dipusingkan oleh berbagai persoalan duniawi, berbisik kepada rekan-rekannya, “Datanglah ke Bali sebelum mati.” 

IB Adnyana Manuaba - Tak Lupa Kawitan

Sulit sekali melupakan kawitan saya di Unud,” ujar Prof Drs IB Adnyana Manuaba geleng-geleng kepala. Lho, memangnya Unud itu milik keluarga? Guru besar ergonomi, anggota MPR RI dari utusan daerah Bali, itu pun bercerita begini. 
Usai Sidang Umum MPR, Oktober 1999 lalu, sebenarnya Adnyana terpilih kembali sebagai anggota Badan Pekerja  (BP) MPR, berkat kepiawaian olah intelektualnya. Klausul tentang pariwisata dalam Tap MPR tentang GBHN, secara utuh sampai titik komanya, merupakan buah pikirannya. “Ini sejarah bagi orang Bali,  karena hampir selama tiga puluh tahun tahun terakhir hal itu tak pernah ada,” katanya bangga. Lantas apakah Adnyana Manuaba menerima posisi itu? 
“Tidak saya menolak,” katanya kepada SARAD.  Sebabnya, stafnya di S2 dan S3 yang dia rintis mengancamnya. “Kalau Bapak terpilih lagi sebagai  anggota BP MPR, kami akan bubarkan program S2 dan S3 ini,” ujar Adnyana menirukan ancaman anak buahnya. Jika ia terpilih lagi, berarti ia harus terus menerus berada di Jakarta. Mana mungkin ia bisa mengurus program pasca sarjana yang dirintisnya? Bisa-bisa ia dituduh tidak bertanggungjawab, orang Bali yang ingkar sama kawitan, lupa akan asal-usul yang merawatnya sejak belia, dan membesarkannya. Adnyana Manuaba adalah salah seorang perintis berdirinya Fakultas Kedokteran Unud tahun 1962. 
Tak ada pilihan lain, Adnyana pun melepas posisi anggota BP MPR. “Tak apa, sekalian memberi kesempatan pada yang muda-muda,’’ katanya sembari menyebut dua utusan daerah Bali yang duduk di BP MPR, I Dewa Gde Palguna,SH, MH dan Drs I Gde Sudibya.  

Ketut Sutarmin - Api Cinta Antonio Blanco

Ada dua Ronji yang dibalut kesedihan ketika pelukis Antonio Blanco meninggal di Ubud. Yang pertama adalah Ni Ronji yang dinikahi Blanco, ketika pelukis itu terpana oleh eksositisme pedesaan Bali di tahun 30-an. Ni Ronji yang kedua adalah Ketut Sutarmin (25) yang memerankan tokoh Ni Ronji dalam sinetron Api Cinta Antonio Blanco garapan Ja-tayuCakrawala Film. 
Sutarmin, yang juga sering dipanggil Ketut Melati, tak punya hubungan darah dengan Blanco, “Tapi karena memerankan Ronji, saya jadi dekat dengan dia,” tutur Ketut. “Saya sedih ketika mendengar berita dia me-ninggal. Tapi dia sudah sangat tua, ya?” katanya. 
Ketut, anak kedelapan dari sepuluh bersaudara, tak pernah mimpi jadi bintang sinetron. Ia coba-coba saja melamar setelah membaca iklan Jatayu memerlukan gadis Bali asli untuk memerankan Ni Ronji. Ia pun mengikuti tes, menyingkirkan sejenak pekerjaannya sehari-hari membantu kakaknya di salon di Kuta. Ia menyisihkan ratusan pelamar, “Karena kata mereka, saya memiliki semua yang disyaratkan sutradara,” kenangnya. 
Sebuah bintang sebenarnya telah lahir, tapi Ketut tak hendak meneruskan peruntungannya di sinetron. Ia lebih meneruskan profesinya yang dulu: menjadi model. 
Dari kampung halamannya, Bangli, Ketut ke Denpasar berniat cari pekerjaan. Ia kursus menjahit, tetapi tak kuat karena kaki-nya bengkak-bengkak. Setelah membantu kakaknya di salon, kadang ia menerima tawaran menjadi model, melenggok di catwalk atau menjadi model pelukis. 
Ia sempat bergabung dengan sebuah sekolah modeling. “Tapi sebenarnya saya freelancer,” katanya. Karena bebas, ia leluasa menolak  tawaran manggung kalau lagi tak mood. Seminggu dia bisa empat kali show, kadang bisa penuihseminggu.Gadis jenjang setinggi 175 cm ini pun menolak ajakan main sinetron yang ditawarkan beberapa produser dari Jakarta. “Sebab saya mencintai Bali, dan tetap ingin di Bali,” alasannya. 
Selain itu, “Saya tak suka terikat. Saya suka bebas,” akunya. Kebebasan itu bagi Ketut membuat ia punya cukup waktu untuk pulang kampung. Ia mengaku, sebagai orang Bali harus punya waktu khusus untuk libur, pulang ke desa mengikuti upa-cara adat dan agama. “Kalau odalan di pura kahyangan tiga, saya selalu menyempakan diri untuk pulang,” katanya. “Sesibuk apa pun, saya pasti mabakti.”  

Ketut Siandana - Tat Twam Asi

Seorang lelaki siteng acap kali muncul di karya-karya piodalan Pura Sad Kahyangan. Tubuhnya yang kekar membuat ia gampang ambil bagian dalam kerja yang memerlukan ketahanan fisik. Misalnya, ketika melasti ke Pantai Klotok saat upacara Panca Bali Krama tahun lalu, atau tatkala mendaki Puncak Mangu, nedunang Ida Batara Luhur Puncak Mangu. Ia selalu sigap, dan kuat. “Ini kegiatan yang sangat membahagiakan,” ujar laki-laki itu, Ketut Siandana 
Sulung dari tiga anak laki-laki Wayan Kari ini selalu menyempatkan waktu tangkil ke pura, di tengah kesibukannya mengurus banyak perusahaan. Ia menggeluti mulai dari usaha toko kelontong sampai pelayaran (cruise) untuk wisatawan asing. Semua bisnis itu berpayung di bawah bendera Waka Gae Selaras. Semakin menukik ia ke kegiatan usaha mengurus orang asing,  justru kian kuat hasratnya berada di tempat-tempat suci. Ia ingin, usaha yang digelutinya sejak 1990, tetap mempertahankan kebaliannya. “Usaha-usaha kami mengacu pada proses penciptaan arsitektur tradisional Bali, “ aku arsitek alumnus Fakultas Teknik Universitas Udayana ini. 
Ia memberi contoh. Setiap langkah dalam menciptakan bangunan Bali selalu disertai doa dan upacara agama, dari awal hingga akhir. Karena itu ia menerapkan filosofi tat twam asi dalam mengendalikan roda usahanya. “Prinsip kami, aku akan merasa senang jika kamu sebagai pemakai karya arsiekturku merasa senang terlebih dahulu,” jelasnya.  
Sebagai seorang undagi, Ketut gembira melihat kecendrungan umat Hindu berlomba memperbaiki tempat suci. Tapi ia me-nyayangkan jika usaha itu tidak disertai pemahaman yang benar tentang arsitektur aslinya. “Lama-lama semua pura kita akan kelihatan baru, dan modern. Kesannya,  kesadaran kita munculnya baru-baru ini juga,” katanya. 

Jero Mangku Kusuma - Pawisik

Jika ingin tahu gairah bajang teruna kota menghadap Hyang Widhi, datanglah ke Pura Jagatnatha, di jantung Denpasar, saat purnama tilem. Inilah pura idaman kawula muda usia, pelajar, mahasiswa, dan pekerja belia. Banyak yang masih malu-malu, tak sedikit yang agresif, gesit, saling cubit, manja. Meriah. Yang paling tahu persis tingkah mereka tentu pemangku di Pura Jagatnatha: Jero Mangku Kusuma. “Kita harus memahami keinginan bajang teruna kita,” ujarnya teduh. 
Sudah 20 tahun ia mengabdikan diri di Jagatnatha. Ia pun fasih karakter daa teruna Denpasar. Yang dia peroleh adalah, “Melihat anak-anak muda itu, kita bisa meraba seperti apa wajah Hindu di masa depan,” katanya. Ada remaja yang sangat rajin tangkil, sehingga Mangku hafal betul raut wajahnya. Ada pula yang cuma ikut-ikutan ke pura. “Tapi jangan buru-buru menyalahkan mereka. Semua itu proses pencarian untuk bertemu Sang Pencipta,” ujar laki-laki yang fasih berbahasa Belanda, Spanyol, Perancis, Ingggris, dan Jerman ini. Jika ada wisa-tawan asing yang melihat-lihat lingkungan pura, ia suka mengantarnya. “Tiang dados guide gratis,” katanya senang, menyatakan dirinya mejadi pemandu wisata tanpa bayaran. 
Boleh jadi cuma dia pemangku yang fasih berbahasa asing. Iia lama di Eropa, lebih tiga tahun, sebelum perang kemerdekaan, mengikuti seorang Eropa yang jual beli mobil. Ketika di Spanyol ia mendapat pawisik: kalau ingin hidup tenang, ia harus pulang ke Bali, dan menjadi pemangku. 
Ia mengaku memang mendapat kebahagiaan itu setelah menjadi pelayan umat, apalagi setelah menyaksikan generasi muda Hindu rajin tangkil ke pura. “Saya jadi senang dan terharu,” katanya jujur.  
Acapkali ia melayani hingga larut malam, begitu suntuk, acap sampai dinihari. Keluarga angkatnya di Spanyol pernah membujuknya kembali ke Eropa, tapi ditolak-nya. Ia tetap memilih  menjadi pelayan umat. Apalagi umat Hindu dari Manado dan Jawa sering menanyakan bebantenan padanya. Lengkaplah sudah kebahagiaan dan ket

Ida Ayu Mas Agung - Membangun Harmoni


Ida Ayu Mas AgungBanyak orang mendambakan harmoni, tapi Dra Ida Ayu Mas Agung tidak. Ia justru menuduh harmoni telah menjadikan masyarakat terbuai, terlena, terlelap, tak berbuat apa-apa, dan akhirnya loyo.  
Ia mencontohkan pulau kelahirannya, Bali, yang ternyata telah dikungkung dogma harmoni. Ia menuduh pembangunan Bali yang menitikberatkan pada sektor pariwisata, mengakibatkan kerugian bertumpuk-tumpuk. Salah satu penyebab kerugian  adalah dogma harmoni itu tadi.  
Hidup bergelimang harmoni  ter-nyata dengan gemilang menenangkan orang Bali. Orang Bali benar-benar adem. Mereka pun takut keluar dari buaian keharmonisan itu, takut dituduh penyebab disharmoni. Akibatnya, orang Bali gampang direkayasa untuk kepentingan macam-macam dengan dalih harmoni. “Itulah kita sebagai orang Bali. Sudah terbius oleh opium harmoni,’’ ujarnya. 
Ada jalan keluar untuk menghadapi buaian ini, Dayu? Ia menawarkan agar orang Bali mencoba membangun harmoni yang tidak membuat mereka terlena. Dayu Mas mengusulkan, agar orang Bali mencoba membangun harmoni yang kritis. Karena itulah ia merintis Sua Bali, sebuah tempat berkunjung dengan konsep pariwisata lingkungan, di Desa Kemenuh, Gianyar. “Sua Bali adalah tempat untuk menemukan Bali,” kata wanita setengah baya ini. Di sini ia bereksperimen prihal pemberdayaan masyarakat pedesaan, khususnya pariwisata. 
Dayu Mas menganjurkan agar masyarakat bersikap sangat hati-hati dengan mahluk yang bernama pariwisata. “Di mana-mana di muka bumi ini pariwisata itu merusak,” katanya. Banyak wiastawan yang plesir ke Bali karena sumpek di negerinya, tengah menghadapi bermacam persoalan, membuat tubuh mereka dijejali partikel-partikel negatif.  “Ke sini mereka menyebarkan partikel-partikel negatif itu, menularkannya ke kita. Tempat-tempat suci tercemar, kita pun dibuatnya kacau balau,” sergahnya. 

Hindu tidak Mengenal Pembakuan Ritual

Tanya Jawab Prihal Upakara: 
I Gusti Ketut Widana 
widana, foto: agustanaya 

Penjor Galungan tak Sama
Om Swastyastu,
penjor, foto: prayatna sudibyaSewaktu Galungan lalu saya menemukan di lapangan, ada umat Hindu di Bali yang memenjor, ada pula yang tidak memenjor walaupun mereka sama-sama tinggal dalam satu wilayah desa adat. Juga ada dalam satu kompleks perumahan. Kenapa bisa demikian?
Apakah ada sanksinya bagi umat yang tidak memenjor? Atau, apakah setiap Galungan diwajibkan memenjor
Bagaimana penjor yang lengkap dan benar menurut sastra-agama? Unsur-unsur apa saja yang minimal harus ada dalam sebuah penjor? Bagaimana kalau unsur-unsur itu tidak ada, apa yang bisa digunakan untuk mengganti? Kain, misalnya, ada yang menggunakan kain ada juga yang tidak di pucak penjor. Warnanya pun tampaknya bebas, ada kain warna kuning, ada juga kain warna putih. Apakah semuanya boleh-boleh saja, atau ada standarnya?
Om Santi, Santi, Santi, Om. 
Putu Gede Kusumanegara
Nusa Dua, Badung.


jro mangku !, titiang nunas tirtha.

jro mangku !, titiang nunas tirtha.

Bali Kekurangan Air ?

Fungsi air di Bali berkembang sesuai zaman. Kalau dulu air untuk memenuhi kebutuhan irigasi sektor pertanian, kini meluas termasuk untuk pariwisata, mulai dari mengisi ribuan kolam renang di hotel-hotel hingga menyirami rumput-rumput lapangan golf. Dua yang terakhir ini sangat rakus air sepanjang tahun. Kalau dulu air untuk memanjakan petani, kini tugasnya bertambah: memanjakan turis.

Akibatnya, konflik pemanfaatan air pun tak bisa dihindari. Di tengah ketatnya rebutan pemakaian air, muncul begitu banyak keluhan dan kekhawatiran akan terjadinya krisis air. Dalam jajak pendapat secara kualitatif (lewat interview) bulan Juni-Agustus 1998 lalu, terungkap: hampir  50 % (14 dari 32) intelektual Bali menyebutkan masalah air sebagai salah satu masalah pokok Bali di masa depan. Mereka menduga, permasalahan air ini berkaitan dengan booming pariwisata awal 1990-an. Fasilitas pariwisata mendapat prioritas menggunakan air bersih produksi PDAM melebihi masyarakat umum. Secara teori tampaknya memang demikian, namun kenyataannya tidak adil dan merata. Media massa mengabarkan, hotel besar di Ubud dan Kedewatan tidak ada masalah suplai air bersih, tetapi kebalikannya dengan hotel-hotel kecil. Karena menghadapi masalah air, hotel kecil kehilangan tamu. Hak memperoleh air bersih yang cukup menunjukkan ketimpangan di Ubud-Kedewatan. 

Pemujaan Dewa Air

“ … Puja dan sujud hamba waktu pagi dan malam hari, O, Narmada Dewi, bebaskanlah kami dari pengaruh bisa naga….”
Begitulah kepatutan manusia memuja Narmada Dewi, yang mengalirkan air Sungai Narmada yang suci. Upacara dan pemujaan itu digelar saban pagi dan malam hari. Tujuannya, agar air senantiasa ber-mana dalam arti menyehatkan dan menyuburkan. Ini disimbolkan (di-nyasa-kan) dengan telah dibebaskannya bisa naga, sebagaimana kutipan Visnu Purana di awal tulisan ini. Dalam sumber-sumber ajaran tattwa, baik dalam purana (terutama Visnu Purana dan Shiva Purana) maupun sumber lontar (riptaprasasti) di Bali, air memang dinyatakan sebagai wujud fisik Dewa Wisnu. 

Vcd Begituan di Zaman Kaliyuga

Gampang sekali memperoleh VCD porno. Sangat berbahaya, karena bisa menyebabkan disfungsi seksual. Salahkan manusianya, ja-ngan VCD-nya
Larut malam, dingin menusuk tulang. Di satu sudut pinggiran Denpasar masih tersisa keramaian. Maklum, tadi siang ada hajatan keluarga. Sebagian main ceki, yang lain asyik nonton video. Tua muda berbaur jadi satu. Salah seorang remaja tanggung mengganti VCD yang diputar. Sret klek......astaga! Di layar, adegan seks terhidang. Beberapa gadis berteriak kaget, setelah itu senyum-senyum, sembari malu-malu tetap menonton. Remaja cowok kegirangan. Beberapa orang tua yang menonton berkata pendek.’’ Beh, Nyoman, film begini yang diputar,’’ celetuk  laki setengah baya, yang kemudian  berbaur menonton bareng anak-anak remaja berusia belasan tahun itu. 
Sesungguhnya peristiwa itu bukan istimewa lagi, kini. Menonton VCD  hot kini menjamur di kalangan remaja dan keluarga di Denpasar. Semua itu tak lepas dari mudahnya untuk mendapatkan VCD-VCD begituan di rental-rental. ‘’Cukup sediakan uang tiga-lima ribu sudah dapat VCD-nya,’’ aku seorang remaja putri siswa kelas dua sebuah SMU terpandang di Denpasar. ‘’Kalau tak percaya, ini buktinya,’’ lanjut gadis hitam manis itu sembari menunjukkan sekeping VCD pada SARAD. Di sampulnya terpampang foto seorang wanita bule dengan pose seronok. Si hitam manis mengaku mendapatkannya dengan menyewa pada rental langganannya. Namun ia mengaku menontonnya sembunyi-sembunyi, biasanya saat kedua orang tuanya bekerja di kantor.  

Sasih Kaulu: Mulai Ngaben dan Nganten

Setelah Buda Kliwon Pahang, 9 Februari 2000, mulai baik melangsungkan kegiatan upacara perkawinan (nganten) maupun ngaben. Namun, hujan sering mengguyur. Hati-hati dengan blabur Kaulu.
sasih kaulu, foto: widnyana sudibyaSasih Kaulu (bulan Kedelapan) kali ini bermula sejak Saniscara (Sabtu)-Umanis, wuku Pujut, tanggal 5 Februari. Akan berakhir pada Redite (Minggu)-Kliwon, wuku Medangkungan, tanggal 5 Maret 2000 nanti. Dalam perhitungan kalender Bali, sasih Kaulu ini nguya Karo. Artinya, sasih ini terpengaruh oleh karakter umum sasih Karo (bulan Kedua). Itu sebabnya, selain mendung dan hujan deras yang menjadi ciri umum Kaulu, udara dingin Karo pun bakal menghembus. 
Cuma, bila hujan tak kunjung turun, langit bakal tersaput awan tebal. Di siang hari, ini akan menjadikan cuaca sangat gerah, meskipun sinar matahari tak terik. Yang perlu dicermati benar: hati-hatilah dengan intaian blabur Kaulu. Datangnya bisa sewaktu-waktu berupa hujan angin amat lebat beberapa hari sehingga memicu banjir deras. Air sungai keruh. Kalau saja saluran-saluran air di sekitar Anda tak diperhatikan dengan baik, jangan kaget nanti banjir bakal menikam Anda.  

Kasih Dihadang Pecalang

Bersama ribuan pemedek yang hendak ngaturang bakti, Mardika (memakai kemeja safari), dan kekasihnya, Astiti (mengenakan kebaya sutera dan kain endek), berdri di depan gerbang Pura Luhur Uluwatu. Antrean panjang pemedek berdesakan menuju jeroan. Setelah menunggu lebih setengah jam, sampai juga mereka di dekat pintu masuk. Dua orang pecalang berdiri di sisi kiri kanan, mengatur para pemedek agar tertib bergilir masuk.
Mardika berdiri  persis di belakang Astiti, memegang pinggang pujaannya. Sekali-sekali Astiti menoleh ke belakang, beradu pandang dengan Mardika, tersenyum, seolah-olah bimbang, jangan-jangan yang memegang pinggangnya laki-laki lain. Beberapa anak tangga lagi, mereka akan bediri di gerbang utama, menunggu giliran segera  masuk ke jeroan. 

Kaceluag

Piodalan di pura selalu menyuguhkan denyar warna-warni pakain umat yang datang bersembahyang. Yang masih bisa jelas dibedakan biasanya busana pemangku, seka gong dan pragina (penari) yang biasanya ngaturang ayah masolah. Selain alasan anut ring sasana (mengikuti aturan) prihal busana, perbedaan ini  perlu agar memberi ciri yang lebih jelas kepada sekaa gong dan pragina itu, sehingga tidak campur aduk dengan pamedek lainnya. 

Sejarah Basah Kuyup

Mabakti ke Pura Sakenen, di Pulau Serangan, naik jukung  di hari raya Kuningan, dirasakan umat sebagai belitan antara perjalanan spiritual dan piknik: selalu membuat terkenang-kenang. Naik jukung berdesak-desak di dermaga Suwung, memang perasaan sempat galau, tapi se-gera tenang begitu duduk di papan sampan yang setengah basah. Bahkan semakin damai dan riang ketika jukung perlahan menelusuri sungai kecil, meliuk-liuk di se-panjang hutan bakau Suwung atau Prapat Benoa. Kicau burung, gemericik tongkat dayung membelah air, terasa alami dan membahagiakan. 

Tamu-tamu Wayan Tangguh

tangguh, foto: widnyana sudibyatangguh, foto: widnyana sudibyatangguh, foto: widnyana sudibya
Wanita Italia itu sigsigan (terisak). Sekali-sekali ia mengusap ingus meleleh dari hidungnya yang bangir. Begitu dalam ia tersedu, sampai-sampai bahunya terguncan-guncang. Ini pagi terakhir ia di rumah Wayan Tangguh, setelah berminggu-minggu ia belajar menakik kayu, membuat topeng, di rumah seniman itu.Bukan perpisahan itu benar yang membuatnya gundah, tapi  karena ia tak sanggup membayar utang-utangnya selama ia tinggal di rumah seniman pahat itu.

Yang Bergerak Terus: Wayan Tangguh

Wayan Tangguh membukukan dirinya sebagai penakik tapel (topeng) terbaik yang kini dimiliki Bali. Ketika muda ia sangat miskin, di hari tua ia sangat pemurah.
Wayan Tangguh dan deretan karyanya. foto: wayan dianthaApakah yang bisa dilakukan oleh mereka yang papa? Yang karena dirubung kemiskinan, sangat akrab dengan kenestapaan hidup? Penakik topeng Wayan Tangguh tahu persis jawabannya: jangan diam, teruslah bergerak. 
Bergerak bagi Tangguh artinya bekerja. Zaman sekarang bekerja bisa diartikan persis untuk mendapat uang. Dengan uang orang sanggup menyelesaikan banyak hal:  Tapi, karena begitu getir masa kanak-kanak dan remaja Tangguh, berkerja di tahun 30-an bisa cuma berarti untuk sekedar makan. Di rumahnya tidak selalu tersedia cukup makanan. Maka ketika Tangguh muda mulai bekerja, yang ada dibenaknya adalah, “Saya bekerja untuk meringankan beban orang tua,” katanya.
Di zaman itu, di tempat kelahirannya Banjar Mukti, Desa Singapadu, Gianyar, pusat kerja tidak di toserba, pabrik, atau pasar swalayan, tapi di puri, tempat para penguasa lokal berada. Di puri pula banyak masalah digelar dan dise-lesaikan. Ke sini orang bisa datang untuk mohon kelangsungan hidup, meminta petunjuk untuk bisa menduduki jabatan dan memuluskan karier. Maka tak keliru jika Wayan Tangguh muda datang ke Puri Singa-padu. Di sana ia berte-mu dengan Ida Co-korda Oka Tublen. 

Wuusssss….. I Tundung Lewat

Wuusssss….. I Tundung Lewat
Teruni Tenganan. Wuuusssss....., foto: widnyana sudibyaOrang Tenganan Pegringsingan yakin, selain berkat awig-awig, kelestarian hutan mereka beserta isinya juga karena dijaga ketat oleh seekor ular siluman bernama I Lelipi Selahan Bukit. Sebelum menjadi ular, ia adalah seorang manusia bernama I Tundung. Kisah I Tundung ini tetap menjadi cerita rakyat yang sangat menarik hingga kini.
Alkisah, seorang lelaki bernama I Tundung sehari-hari menjaga kebun milik I Pasek Tenganan di Bukit Kangin. Tegal Pasek, kendati sudah dijaga Tun-dung, sering kecurian. Hari ini nangka yang hilang, besok pasti durian atau nenas yang lenyap.
Tentu Tundung sangat geram. Berhari-hari ia mengintip si pencuri, tetapi selalu saja lolos. Ia pun bersemedi, meminta bantuan Yang Gaib agar  berubah jadi ular (lelipi). Ketekunan tapanya dika-bulkan. I Tundung bisa bersiluman  jadi lelipi.

Tenganan, Dijaga Awig-awig Abad ke-11

Tenganan, dusun yang dikepung bukit, menjadi contoh nyata, bagai-mana tradisi sanggup menjaga keseimbangan alam. Di Tenganan kita bisa belajar ketakwaan, disiplin, dan supremasi hukum.
Stockholm, Swedia, 5 Juni 1972: Perserikatan Bangsa-bangsa menyelenggarakan konferensi lingkungan hidup pertama. Pakar-pakar lingkungan dunia berkumpul, membahas bumi yang sudah renta dan harus dijaga kelestariannya. Itulah tonggak awal kesepakatan dunia terhadap pentingnya merawat satu bumi. Tanggal 5 Juni kemudian diperingati sebagai Hari Bumi.
Rejang Tenganan. Awig-awig abad ke-11, foto: prayatna sudibyaDi Desa Tenganan Pegringsingan, abad ke-11, tetua-tetua desa, orang-orang lugu yang buta huruf, berkumpul membahas  upaya menjaga kelestarian dusun mereka. Keputusan sangkep itu kemudian melahirkan  awig-awig (aturan) adat untuk menjaga dan merawat hutan di bukit-bukit timur, utara, dan barat desa. Peraturan adat itu tertuang dalam “buku sakti”setebal 58 halaman, ditulis dalam bahasa Bali.
Alangkah jauh rentang jarak itu, abad ke-11 ke abad 20: lebih 900 tahun. Alangkah peka leluhur orang-orang Tenganan Pegringsingan memandang jauh ke depan, menetapkan aturan-aturan merawat alam, agar desa mereka tetap sentausa turun temurun diwariskan buat anak cucu. 

Tahun 1841 Tenganan terbakar habis. Hutan jadi arang. Tempat-tempat suci, rumah, balai pertemuan, rata tanah, jadi abu. “Buku sakti” itu pun hangus. Oktober 1842 awig-awig itu ditulis kembali berdasarkan ingatan oleh orang Tenganan. Sudah pasti isinya tak sama persis dengan aslinya. Musibah kebakaran itu ditulis pada pasal 24 awig-awig yang baru. Disebutkan, ketika kebakaran hebat meludeskan Tenganan, Pura Puseh, Bale Agung, sampai surat awig-awig desa, surat canggah (riwayat desa) terbakar habis. Orang Tenganan menduga, bisa menda-patkan satu salinan awig-awig mereka di Puri Klungkung. 

Tirthayatra, Mengapa Tidak ke Panti Sosial?


Tanya Jawab Prihal Susila: 
Ida Bagus Wijaya Kusuma
IB Wijaya Kusuma, foto: widnyana sudibya 




Simakrama dan Dharma Santi
Tertarik hati saya membaca tulisan tentang simakrama pada hari Umanis Galungan yang disajikan SARAD edisi Nomor 1/Tahun I, Januari 2000. Dari paparan yang disampaikan Ida Pedanda Oka Punia Atmaja di situ, saya mendapatkan gambaran bahwa hari raya Galungan tidak saja menonjolkan kesan kemeriahan upacara dengan upakaranya, tapi juga penuh makna kemanusiaan. Ini penjelasan yang saya rasakan sangat bermanfaat. 
Berkaitan dengan pemaknaan sisi kemanusiaan (sisi sosial) suatu hari besar keagaamaan, saya ingin mengajukan pertanyaan: apakah makna dharma santi setiap habis hari Nyepi? Lebih daripada itu, apakah tradisi ‘dharma santi’ itu memang ada dalam Hindu di Bali atau Hindu di Nusantara, ataukah itu hanya tradisi baru yang diciptakan? Adakah pijakan sastra-agamanya? Dan, kapan sebaiknya ‘dharma santi’ itu dilakukan, apakah bersamaan dengan Ngembak Geni, sehari setelah Nyepi, atau batas waktu paling lambatnya kapan? Apa yang juga sebaiknya dilakukan saat dharma santi? Apakah bermaaf-maafan sebagaimana dalam ‘tradisi’ lain? 
Suksma. 
Made Astika Adnyana,
Monang Maning, Denpasar.
Sdr. Made, 
Pertanyaan Anda sangat baik. Makna yang terkandung dalam kegiatan simakrama atau dharma santi yang kita laksanakan setiap habis merayakan Nyepi merupakan suatu perwujudan rasa syukur yang penuh kedamaian dalam mengarungi kewajiban hidup. Dharma santi di masa lalu memang lebih dikenal dengan sebutan simakrama yang pelaksanaannya lebih berorientasi pada lingkup kerabat keluarga. Tujuannya, untuk membina keakraban, kekeluargaan yang mencerminkan tali kasih mendalam dari hati ke hati. Ini sesuai dengan makna ngembak gni, yaitu saat mulai nglebar brata, melepaskan kehidupan rohani yang suci, guna memasuki kehidupan dunia yang baru sesuai dengan swadharma masing-masing. Belakangan, sekitar akhir tahun 1960-an atau awal tahun 1970-an kegiatan Ngembak Gni dengan simakramanya ini dipopulerkan dengan istilah dharma santi. Pengertian dan maknanya sama.
Kegiatan simakrama pada saat Ngembak Gni ini merupakan salah satu rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi sebagaimana yang diuraikan dalam pustaka suci. Misalnya, dalam lontar Swamandala, Sundarigama, dll. Jadi bukan merupakan ciptaan/rumusan baru, kendati istilah dharma santi sebagai sinonim simakrama baru dipopulerkan belakangan ini. Namun demikian, pelaksanaan dharma santi kini sudah semakin meluas dari lingkup keluarga besar pada mulanya, kini sudah dilaksanakan secara nasional, regional, tingkat propinsi, tingkat instansi, dan ada juga tiingkat desa atau banjar. 
Mengenai kapan sebaiknya simakrama/dharma santi dilaksanakan, sesuai dengan petunjuk sastra-agama, simakrama/dharma santi itu dilaksanakan pada saat Ngembak Gni, saat kita nglebar brata Panyepian. Namun atas berbagai pertimbangan, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) telah merekomendasikan pelaksanaan dharma santi ini supaya disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, baik yang berhubungan dengan waktu pelaksanaannya maupun tempat acara digelar. Saran saya, sebaiknya dharma santi sudah terlaksana tidak terlalu jauh setelah Hari Ranya Nyepi. Sekitar satu bulan setelah Nyepi kira-kira masih dalam suasana mencerminkan hari raya.
 Inti pokok yang patut dilakukan pada saat dharma santi adalah saling kunjung-mengunjungi kerabat, kenalan sejawat, keluarga, dan handaitolan Di sana saling memaafkan atas segala kekurangan, kekhilafan yang mungkin kita perbuat dalam kurun waktu setahun yang silam. Acara ini juga mempererat tali kasih persaudaraan di antara kita untuk memasuki kehidupan baru yang lebih baik penuh suasana kedamaian dalam meniti karier masing-masing. 

Tirthayatra Kemanusiaan
Yth. pengasuh rubrik SUSILA,
Nyegara Gunung. Mengunjungi tempat suci. foto: widnyana sudibyaSaya senang sekali dengan dibukanya rubrik ini. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menggayut di benak saya seputar masalah agama dan budaya paling tidak kini bisa dikemukakan. Begini. Salah satu bentuk kegairahan umat Hindu di Bali yang saya lihat belakangan ini adalah makin gemarnya umat melakukan ritual tirthayatra. Biasanya dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat suci dari satu pura ke pura lainnya. Tidak hanya di Bali atau di Indonesia, bahkan juga ada yang matirthayatra ke luar negeri. Ke India, misalnya. 
Kegiatan tersebut tentu saja baik dan berguna. Cuma, dalam kaitan ini saya ingin bertanya, apakah tirthayatra tersebut terbatas hanya bisa dilakukan ke tempat-tempat suci, ke sumber-sumber air yang dinilai suci? Tidak bisakah tirthayatra itu dilakukan dengan kegiatan sosial yang bermakna bagi kemanusiaan, seperti mengunjungi sekaligus memberikan sumbangan kepada panti asuhan, panti jompo, penyandang cacat tetap, dan sejenisnya. Dalam pandangan saya, apabila kita mengunjungi tempat-tempat sosial tersebut tidak hanya kita yang senang, orang lain, orang yang kita kunjungi pun ikut senang. Mungkin Tuhan, Hyang Widhi, juga tersenyum menyaksikan perilaku kita yang cinta sesama. Tapi, kalau kita hanya mengunjungi tempat dan sumber air suci, apalagi ke luar negeri, tidakkah itu hanya menyenangkan diri kita sendiri?
Maaf, ini hanya analisa menurut saya sendiri yang awam. Karena itu, pada kesempatan ini saya ingin bertanya, apakah sebenarnya arti tirthayatra itu menurut sastra-agama? Adakah tirthayatra yang lebih bermakna lebih mulia daripada mengunjungi tempat-tempat suci atau sumber-sumber air suci? 
Terima kasih sedalam-dalamnya atas jawaban Bapak. 
Luh Ketut Puspawati,
Kesiman, Denpasar
Terima kasih kepada Sdri. Luh Ketut Puspawati yang menaruh kepedulian terhadap sesama, seperti para jompo, penghuni panti asuhan, para cacat, dsb. Nota bene mereka memang sangat memerlukan perhatian dan sumbangsih para dermawan, sebagai suatu aplikasi dan aktualisasi ajaran agama yang  berhubungan dengan kegiatan ritual tirthayatra. 
Perlu diketahui, kegiatan madana punia adalah swadharma (kewajiban) bagi setiap umat Hindu. Namun ajaran tentang dana punia ini tidak berhubungan langsung dengan ajaran kegiatan tirthayatra. Mungkin yang dimaksud di sini adalah kegiatan dharmayatra. Pemaknaan tirthayatra tidak sama dengan dharmayatra. Tirthayatra terdiri atas dua suku kata, tirtha = air suci/penyucian, dan yatra = perjalanan jauh. Jadi, tirthayatra berarti suatu kegiatan umat Hindu untuk mengadakan perjalanan jauh dengan maksud memperoleh penyucian diri baik di sumber-sumber air suci, pura-pura (nglungsur tirtha panyucian) maupun pada tempat-tempat lain yang dipandang bisa mendapatkan penyucian diri. Sedangkan dharmayatra berarti kegiatan umat Hindu mengadakan perjalanan jauh untuk mendapatkan pendalaman pemahaman dharma, yaitu pengetahuan ajaran agama. Dalam dharmayatra dimungkinkan melakukan kegiatan dharma termasuk kegiatan sosial kemanusiaan, seperti memberikan ceramah agama, pengobatan cuma-cuma, memberikan sumbangan materi (madana punia), membangun tempat ibadah, dsb. Kata dharma sendiri mengandung pengertian kewajiban hidup yang patut dikerjakan. Dengan demikian kegiatan memperdalam dharma berarti mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan kita sehari-hari demi tercapainya kesejahteraan hidup bersama (jagadhita) yang akhirnya mampu mencapai kebahagiaan rohani (moksartham). 

Siapa Berhak Memantra?
Sangat menggembirakan menyaksikan kegairahan umat di Tanah Air kini mendalami ajaran-ajaran agama. Tak cukup hanya melakoni sebagaimana dilakoni oleh orangtua atau leluhur terdahulu, kini buku-buku atau bacaan-bacaan agama pun diuber. Tak hanya orangtua atau orang dewasa, anak-anak pun sudah mendapatkan pelajaran pengetahuan agama. Bahkan, saya pernah melihat ada TK yang sudah mengajari anak-anak didiknya menghafal mantra tri sandhya. Mantra-mantra pancasembah kini tentu saja tak asing lagi bila dikuasai remaja, bahkan anak-anak.
Memantra. Bukan masalah aspirasi. foto: widnyana sudibyaGejala demikian bagi saya menggembirakan sekaligus menimbulkan tanya. Menggembirakan karena umat tak hanya mempraktikkan ajaran agama atau tak hanya berlaku agamis, tapi sekaligus juga paham maknanya, tahu dasar atau sumber ajarannya. Cuma, di sisi lain saya bertanya-tanya: apakah sembarang orang memang boleh mamantra? Kalau pendekatannya adalah alasan demokrasi, tentu saya sepakat: tak terkecuali, siapa pun berhak, karena setiap orang sama di hadapan Tuhan. Tapi, apakah memang tidak ada etikanya, siapa yang boleh siapa yang tidak? Pada saat apa boleh dan pada saat bagaimana tidak? Terus terang saya bertanya ini karena memang tidak tahu. 
Secara tradisi di Bali, biasanya yang boleh mengucapkan mantra tertentu adalah orang yang sudah paling tidak mawinten sebagai simbolik (bahkan mungkin bukti sosial) yang bersangkutan sudah suci, sudah bersih secara batin. Nah, apakah tradisi semacam ini tidak relevan lagi, sehingga sering saya lihat kini sembarang orang pun bisa nganteb, bisa mamantra asalkan memang sudah tahu (hafal). Risikonya, kekuatan magis mantra jadi berkurang. 
Bagaimana sebenarnya, apakah ada etika siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh mamantra itu? Kalau memang ada, apakah tidak sebaiknya dikaji lebih mendalam sehingga relevan dengan aspirasi masa kini namun sekaligus juga tidak terlalu ‘bebas’. 
Terima kasih. 
IGK Suarjaya,
Bangli. 


Sdr. IGK Suarja di Bangli,
Soal mamantra bukan masalah aspirasi, tetapi mengacu pada ketentuan sastra agama yang kita yakini dan kita anut melalui para maharsi. Sesuai dengan petunjuk sastra-agama yang pernah saya baca, pada prinsipnya semua orang (umat Hindu) berhak mamantra. Namun dalam melaksanakan haknya, pemakaian mantra itu dibedakan atas tiga kewenangan bagi mereka yang merafal mantra, yaitu: mantram untuk sang sadhaka (sulinggih), mantram untuk pamangku/pinandita, dan mantram untuk walaka (orang kebanyakan/masyarakat umum). 
Mantram bagi sang sadhaka pada dasarnya digunakan untuk keperluan lokapalasraya, yaitu mantram yang berhubungan dengan muput upakara yadnya. Sedangkan mantram bagi pamangku/pinandita adalah berupa saa yang berpedoman pada Gagelaran Pamangku yang bersumber pada lontar Dewa Tattwa, Kusuma Dewa, dan Sangkulputih. Pamangku tidak dibenarkan menggelar mantram sang sadhaka dan itu dimiliki sebagai tindakan nyumuka. Artinya, merupakan suatu dosa bagi seorang pamangku dalam lokapalasraya nganteb upakara yadnya. Sedangkan bagi para walaka berhak nguncar (merafal) mantra sehari-hari termasuk Puja Trisandhya sebagaimana yang telah termuat dalam buku Doa Sehari-hari dan Weda Walaka yang telah diedarkan oleh Dirjen Bimas Hindu dan Budha.
Lebih  jauh tentang hak mamantra ini saya sarankan Saudara membaca buku/lontar tentang Sesana Kawikon, Indik Kapemangkuan/Gagelaran Pemangku, dan Buku Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I s/d XV, dll.

Subak Magpag Toya, Kota Makpak Yeh

Di hulu orang gunung khusuk magpag toya, di hilir, perkantoran, pebisnis pariwisata, rakus makpak yeh. Air Bali di ambang krisis. PDAM bisa berubah jadi Perusahaan Daerah Angin Mengalir.

Lapangan Golf, rakus Air. foto: AgustanayaTanggung jawab kelestarian air dan juga kehidupan di Bali kini sepertinya hanya menjadi tanggung jawab para petani subak. Terkesan kuat, hanya pe-tanilah yang berkewajiban melangsungkan upacara-upacara di pura-pura penting berkaitan dengan siklus air itu. Mereka yang bergerak di sektor jasa, di bisnis industri baru? Masing-masing mungkin sudah tahu jawabannya sendiri-sendiri. 
Padahal, aci-aci (rangkaian upacara) yang mesti digelar tidaklah kecil. Juga, tidaklah berbiaya murah. Saat hendak memulai ke-giatan di sawah, petani subak sudah menggelar upacara magpag toya (menyambut kedatangan air) sebagai wujud syukur mereka terhadap anugerah Hyang Widhi dalam wujud air. Lalu, berlanjut ke tahapan ngrawit, mulai menanam padi. Terus berlanjut hingga nunas panglanus, mohon air suci agar tanaman subur dan mulus hingga panen. Setelah panen digelar Ngusaba Nini, puji syukur atas keberhasilan panen. Jadi, “Dari hulu sawah (pangalapan), kawasan sawah (Bedugul), hingga kawasan subak (Masceti), petani Bali mengaturkan puji syukur sebagai wujud rasa bakti mereka,” urai penekun dan penulis masalah adat Bali, Ngurah Oka Supartha. 
Di Pura Ulun Danu Batur pun kegiatan tak kalah padatnya. Sebut yang besar-besar dan rutin, misalnya. Sejak Puranama bulan pertama (Kasa) dalam hitungan penanggalan Bali, lalu Karo, hingga Kadasa pun padat dengan upacara persembahan. Purnama Kasa, misalnya, upacara di Pura Jati, Purnama Karo di Pura Yeh Mampeh. Saat Purnama Katiga dilangsungkan magpag toya, semacam Ngusaba Yeh, mendoakan agar air memberi manfaat bagi kehidupan dan menyuburkan. Purnama Kapat diselenggarakan Puja Wali Kapat, Purnama Kalima dilakukan Nangluk Merana (mencegah hama) de-ngan hewan kurban kebo yusprana, kerbau terpilih.  

Dari Batur Mengalir ke Nusa Dua

Empat danau sebagai catur bhagini menopang kebutuhan air Bali. Sayang, tak banyak yang menyadari kolam renang di hotel-hotel mewah, lapangan golf di Pulau Dewata ini pun sangat tergantung pada kemurahan Batari Sakti Dewi Danuh, penguasa air danau.
Menapakkan kaki pertama kali di Bali tahun 1988, dari negeri asalnya, Inggris, Black – sebut saja begitu  - langsung menginap di sebuah hotel bintang lima, di kawasan Nusa Dua. Melihat pantai berpasir putih asri dengan air laut yang bening beriak kecil, Black pun langsung menceburkan raganya ke laut lepas di kaki Pulau Bali itu. Di sana dia berkecibak, sepuasnya. 
Air Mancur di Nusa Dua. Kaum pebisnis tak mau tahu. foto: AgustanayaTak puas membasahi sekujur jasadnya di laut, dia pun nyemplung ke kolam renang hotel. Sesekali menyelam, sesaat kemudian berkecibak lagi. Kesejukan dan kenyaman menyusup ke sanubarinya. Esok paginya, dia mengguyur tubuhnya dengan air di kamar mandi hotel. Diantar sopir khusus mobil mewah dengan layanan kelas internasional, dia pun meluncur menuju hulu Pulau Bali: Besakih. Dari kawasan gunung tertinggi di Bali ini, dia melaju ke Kintamani, Batur. Pulangnya lewat Kadewatan, Ubud, dia turun sejenak. Hamparan sawah-sawah di sana telah menyedot perhatiannya. Istirahat sejenak di Denpasar, pria tinggi berkulit putih ini sudah terlihat lagi di lapangan golf. 
Ketika dia datang kembali ke Bali dua tahun kemudian, izin usaha rafting pun sudah digenggamannya. Hingga kini Black menekuni bisnis meluncur di air sungai dengan perahu karet itu. Bekerja sama dengan seorang Bali tulen.  

Memelihara Siklus Air, Menjaga Kesucian Jiwa

Air bagi manusia Bali bermakna kehidupan. Bisa juga kesucian. Mengoyak tatanan air, berarti memporakporandakan hidup sendiri. Dengan air jalan roh leluhur bisa dilempangkan, kesucian jiwa dimurnikan.
Jagat menggang-menggung. Air tak lagi bersari. Bumi pun tak memberi hasil. Hyang Siwa tepekur. Lalu, diutus-Nya Batara Brahma, Wisnu, dan Iswara menyelamatkan jagatraya seisinya. 
Suasana religius sawah di Bali, foto: AgustanayaBatara Brahma melesak masuk ke dalam bumi, menjadi Naga Anantabhoga. Dari tubuhnya tumbuhlah pepohonan. Daunnya hijau lebat menyejukkan. Bunganya semerbak, buahnya tak terhitung. Dari pepohonan yang tumbuh dari Anantabhoga inilah manusia hidup, memetik kapas, memperoleh sandang, membuat papan. Kelaparan di bumi sontak berubah jadi kemakmuran. Anantabhoga memang berarti sandang, pangan, dan papan (bhoga) yang tiada habis-habisnya (ananta). 

Setelah Pangliman Toya Dilenyapkan

Air subak ‘dibajak’. Saluran irigasi dipotong. Air tanah disedot. Kawasan resapan sepanjang sungai (ruwi) yang secara tradisi tak bertuan, malah disertifikatkan. Siapa bertanggung jawab mengontrol pembangunan fisik yang tak mengindahkan tatanan air ini?



Aduh! Bagaimana ini, PDAM? Tiap pagi airnya kok saencrit-saencrit. Kapan gedenya?” keluh seorang ibu suatu pagi dari kawasan Sanglah, Denpasar. “Bagaimana tak mangkel? Sumur saya juga kering. Siapa yang mesti bertanggung jawab. Halo, halo, halo .…” suara si ibu yang disiarkan langsung sebuah radio swasta itu tiba-tiba terputus.
Tragisnya, hingga acara keluh-kesah lewat telepon itu usai sejam kemudian, tak ada pihak yang bisa memberikan jawaban melegakan si ibu. Keluh si ibu menguap begitu saja. Padahal, hari itu sejumlah kegalauan tentang air juga muncul dari ibu rumah tangga lainnya di kawasan Tohpati, Monang-Maning, bahkan Ubung. Isinya sama: pasokan air ke rumah kecil, air sumur surut.

Ketika Tradisi Air Digerus Budaya Jalan

Tanpa disadari tradisi Bali yang berorientasi pada air tergerus arus tradisi jalan. Dengan jalan-jalan beraspal mengkilat, transportasi memang lancar. Namun orang Bali menjadi kehilangan banyak media komunikasi dengan nyama braya. Saling curiga merebak. Perseteruan antarsesama kian memuncak. Bagaimana mengatasinya?

Hilang sudah keceriaan yang biasa direguk Nyoman Sudiasih di kampung halamannya, di Desa Satra, Klung-kung. Masih tergores jelas dalam ingatan ibu satu anak ini, sepuluh tahun lampau, saban senja, seusai membantu orangtua-nya di sawah, ia berendam di Tukad Jinah. Di sana ia mandi sepuasnya bersama-sama dengan orang-orang di kampungnya. “Masa-masa itu sungguh menyenangkan,” kenangnya, berbinar. Meskipun sudah kelas tiga sekolah menengah atas (SMA) ketika itu, toh dia dengan wanita-wanita lain di desanya tetap saja merasa pantas mengecibakkan air yang mengalir deras dan bening di sela-sela bebatuan.

Kresek

Kendati sring mengganggu karena berterbangan saat umat melakukan pamuspaan, tas kresek, kala hujan ternyata jadi penting, berguna sebagai penutup kepala agar terlindung dari gerimis.

Mata Air Bali

Apa hubungan mata air denganair mata ?  
Bagi seorang mahayogi suci, mata air yang baru  menyembul dari bawah tanah, bisa sangat menggetarkan hatinya. Kebeningan air sering dipersamakan dengan kesucian jiwanya. Tidak heran bila sumber-sumber susastra-agama di Bali lantas banyak membentangkan renungan-renungan tentang air. Air (baca juga: zat cair) yang menggenangi ¾ jagatraya serta mengisi ¾ jagat diri manusia ini, diberikan makna filosofis. Bahkan disakralkan. Di Bali, namanya berubah, dari yeh menjadi toya, lalu menjadi tirta. Sepertinya, ada tingkat-tingkatan air, meskipun secara fisik rupanya sama. Hanya, kegunaannya berbeda. Dan itu bisa dirasakan secara mendalam lewat rasa.