Tirthayatra, Mengapa Tidak ke Panti Sosial?


Tanya Jawab Prihal Susila: 
Ida Bagus Wijaya Kusuma
IB Wijaya Kusuma, foto: widnyana sudibya 




Simakrama dan Dharma Santi
Tertarik hati saya membaca tulisan tentang simakrama pada hari Umanis Galungan yang disajikan SARAD edisi Nomor 1/Tahun I, Januari 2000. Dari paparan yang disampaikan Ida Pedanda Oka Punia Atmaja di situ, saya mendapatkan gambaran bahwa hari raya Galungan tidak saja menonjolkan kesan kemeriahan upacara dengan upakaranya, tapi juga penuh makna kemanusiaan. Ini penjelasan yang saya rasakan sangat bermanfaat. 
Berkaitan dengan pemaknaan sisi kemanusiaan (sisi sosial) suatu hari besar keagaamaan, saya ingin mengajukan pertanyaan: apakah makna dharma santi setiap habis hari Nyepi? Lebih daripada itu, apakah tradisi ‘dharma santi’ itu memang ada dalam Hindu di Bali atau Hindu di Nusantara, ataukah itu hanya tradisi baru yang diciptakan? Adakah pijakan sastra-agamanya? Dan, kapan sebaiknya ‘dharma santi’ itu dilakukan, apakah bersamaan dengan Ngembak Geni, sehari setelah Nyepi, atau batas waktu paling lambatnya kapan? Apa yang juga sebaiknya dilakukan saat dharma santi? Apakah bermaaf-maafan sebagaimana dalam ‘tradisi’ lain? 
Suksma. 
Made Astika Adnyana,
Monang Maning, Denpasar.
Sdr. Made, 
Pertanyaan Anda sangat baik. Makna yang terkandung dalam kegiatan simakrama atau dharma santi yang kita laksanakan setiap habis merayakan Nyepi merupakan suatu perwujudan rasa syukur yang penuh kedamaian dalam mengarungi kewajiban hidup. Dharma santi di masa lalu memang lebih dikenal dengan sebutan simakrama yang pelaksanaannya lebih berorientasi pada lingkup kerabat keluarga. Tujuannya, untuk membina keakraban, kekeluargaan yang mencerminkan tali kasih mendalam dari hati ke hati. Ini sesuai dengan makna ngembak gni, yaitu saat mulai nglebar brata, melepaskan kehidupan rohani yang suci, guna memasuki kehidupan dunia yang baru sesuai dengan swadharma masing-masing. Belakangan, sekitar akhir tahun 1960-an atau awal tahun 1970-an kegiatan Ngembak Gni dengan simakramanya ini dipopulerkan dengan istilah dharma santi. Pengertian dan maknanya sama.
Kegiatan simakrama pada saat Ngembak Gni ini merupakan salah satu rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi sebagaimana yang diuraikan dalam pustaka suci. Misalnya, dalam lontar Swamandala, Sundarigama, dll. Jadi bukan merupakan ciptaan/rumusan baru, kendati istilah dharma santi sebagai sinonim simakrama baru dipopulerkan belakangan ini. Namun demikian, pelaksanaan dharma santi kini sudah semakin meluas dari lingkup keluarga besar pada mulanya, kini sudah dilaksanakan secara nasional, regional, tingkat propinsi, tingkat instansi, dan ada juga tiingkat desa atau banjar. 
Mengenai kapan sebaiknya simakrama/dharma santi dilaksanakan, sesuai dengan petunjuk sastra-agama, simakrama/dharma santi itu dilaksanakan pada saat Ngembak Gni, saat kita nglebar brata Panyepian. Namun atas berbagai pertimbangan, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) telah merekomendasikan pelaksanaan dharma santi ini supaya disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, baik yang berhubungan dengan waktu pelaksanaannya maupun tempat acara digelar. Saran saya, sebaiknya dharma santi sudah terlaksana tidak terlalu jauh setelah Hari Ranya Nyepi. Sekitar satu bulan setelah Nyepi kira-kira masih dalam suasana mencerminkan hari raya.
 Inti pokok yang patut dilakukan pada saat dharma santi adalah saling kunjung-mengunjungi kerabat, kenalan sejawat, keluarga, dan handaitolan Di sana saling memaafkan atas segala kekurangan, kekhilafan yang mungkin kita perbuat dalam kurun waktu setahun yang silam. Acara ini juga mempererat tali kasih persaudaraan di antara kita untuk memasuki kehidupan baru yang lebih baik penuh suasana kedamaian dalam meniti karier masing-masing. 

Tirthayatra Kemanusiaan
Yth. pengasuh rubrik SUSILA,
Nyegara Gunung. Mengunjungi tempat suci. foto: widnyana sudibyaSaya senang sekali dengan dibukanya rubrik ini. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menggayut di benak saya seputar masalah agama dan budaya paling tidak kini bisa dikemukakan. Begini. Salah satu bentuk kegairahan umat Hindu di Bali yang saya lihat belakangan ini adalah makin gemarnya umat melakukan ritual tirthayatra. Biasanya dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat suci dari satu pura ke pura lainnya. Tidak hanya di Bali atau di Indonesia, bahkan juga ada yang matirthayatra ke luar negeri. Ke India, misalnya. 
Kegiatan tersebut tentu saja baik dan berguna. Cuma, dalam kaitan ini saya ingin bertanya, apakah tirthayatra tersebut terbatas hanya bisa dilakukan ke tempat-tempat suci, ke sumber-sumber air yang dinilai suci? Tidak bisakah tirthayatra itu dilakukan dengan kegiatan sosial yang bermakna bagi kemanusiaan, seperti mengunjungi sekaligus memberikan sumbangan kepada panti asuhan, panti jompo, penyandang cacat tetap, dan sejenisnya. Dalam pandangan saya, apabila kita mengunjungi tempat-tempat sosial tersebut tidak hanya kita yang senang, orang lain, orang yang kita kunjungi pun ikut senang. Mungkin Tuhan, Hyang Widhi, juga tersenyum menyaksikan perilaku kita yang cinta sesama. Tapi, kalau kita hanya mengunjungi tempat dan sumber air suci, apalagi ke luar negeri, tidakkah itu hanya menyenangkan diri kita sendiri?
Maaf, ini hanya analisa menurut saya sendiri yang awam. Karena itu, pada kesempatan ini saya ingin bertanya, apakah sebenarnya arti tirthayatra itu menurut sastra-agama? Adakah tirthayatra yang lebih bermakna lebih mulia daripada mengunjungi tempat-tempat suci atau sumber-sumber air suci? 
Terima kasih sedalam-dalamnya atas jawaban Bapak. 
Luh Ketut Puspawati,
Kesiman, Denpasar
Terima kasih kepada Sdri. Luh Ketut Puspawati yang menaruh kepedulian terhadap sesama, seperti para jompo, penghuni panti asuhan, para cacat, dsb. Nota bene mereka memang sangat memerlukan perhatian dan sumbangsih para dermawan, sebagai suatu aplikasi dan aktualisasi ajaran agama yang  berhubungan dengan kegiatan ritual tirthayatra. 
Perlu diketahui, kegiatan madana punia adalah swadharma (kewajiban) bagi setiap umat Hindu. Namun ajaran tentang dana punia ini tidak berhubungan langsung dengan ajaran kegiatan tirthayatra. Mungkin yang dimaksud di sini adalah kegiatan dharmayatra. Pemaknaan tirthayatra tidak sama dengan dharmayatra. Tirthayatra terdiri atas dua suku kata, tirtha = air suci/penyucian, dan yatra = perjalanan jauh. Jadi, tirthayatra berarti suatu kegiatan umat Hindu untuk mengadakan perjalanan jauh dengan maksud memperoleh penyucian diri baik di sumber-sumber air suci, pura-pura (nglungsur tirtha panyucian) maupun pada tempat-tempat lain yang dipandang bisa mendapatkan penyucian diri. Sedangkan dharmayatra berarti kegiatan umat Hindu mengadakan perjalanan jauh untuk mendapatkan pendalaman pemahaman dharma, yaitu pengetahuan ajaran agama. Dalam dharmayatra dimungkinkan melakukan kegiatan dharma termasuk kegiatan sosial kemanusiaan, seperti memberikan ceramah agama, pengobatan cuma-cuma, memberikan sumbangan materi (madana punia), membangun tempat ibadah, dsb. Kata dharma sendiri mengandung pengertian kewajiban hidup yang patut dikerjakan. Dengan demikian kegiatan memperdalam dharma berarti mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan kita sehari-hari demi tercapainya kesejahteraan hidup bersama (jagadhita) yang akhirnya mampu mencapai kebahagiaan rohani (moksartham). 

Siapa Berhak Memantra?
Sangat menggembirakan menyaksikan kegairahan umat di Tanah Air kini mendalami ajaran-ajaran agama. Tak cukup hanya melakoni sebagaimana dilakoni oleh orangtua atau leluhur terdahulu, kini buku-buku atau bacaan-bacaan agama pun diuber. Tak hanya orangtua atau orang dewasa, anak-anak pun sudah mendapatkan pelajaran pengetahuan agama. Bahkan, saya pernah melihat ada TK yang sudah mengajari anak-anak didiknya menghafal mantra tri sandhya. Mantra-mantra pancasembah kini tentu saja tak asing lagi bila dikuasai remaja, bahkan anak-anak.
Memantra. Bukan masalah aspirasi. foto: widnyana sudibyaGejala demikian bagi saya menggembirakan sekaligus menimbulkan tanya. Menggembirakan karena umat tak hanya mempraktikkan ajaran agama atau tak hanya berlaku agamis, tapi sekaligus juga paham maknanya, tahu dasar atau sumber ajarannya. Cuma, di sisi lain saya bertanya-tanya: apakah sembarang orang memang boleh mamantra? Kalau pendekatannya adalah alasan demokrasi, tentu saya sepakat: tak terkecuali, siapa pun berhak, karena setiap orang sama di hadapan Tuhan. Tapi, apakah memang tidak ada etikanya, siapa yang boleh siapa yang tidak? Pada saat apa boleh dan pada saat bagaimana tidak? Terus terang saya bertanya ini karena memang tidak tahu. 
Secara tradisi di Bali, biasanya yang boleh mengucapkan mantra tertentu adalah orang yang sudah paling tidak mawinten sebagai simbolik (bahkan mungkin bukti sosial) yang bersangkutan sudah suci, sudah bersih secara batin. Nah, apakah tradisi semacam ini tidak relevan lagi, sehingga sering saya lihat kini sembarang orang pun bisa nganteb, bisa mamantra asalkan memang sudah tahu (hafal). Risikonya, kekuatan magis mantra jadi berkurang. 
Bagaimana sebenarnya, apakah ada etika siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh mamantra itu? Kalau memang ada, apakah tidak sebaiknya dikaji lebih mendalam sehingga relevan dengan aspirasi masa kini namun sekaligus juga tidak terlalu ‘bebas’. 
Terima kasih. 
IGK Suarjaya,
Bangli. 


Sdr. IGK Suarja di Bangli,
Soal mamantra bukan masalah aspirasi, tetapi mengacu pada ketentuan sastra agama yang kita yakini dan kita anut melalui para maharsi. Sesuai dengan petunjuk sastra-agama yang pernah saya baca, pada prinsipnya semua orang (umat Hindu) berhak mamantra. Namun dalam melaksanakan haknya, pemakaian mantra itu dibedakan atas tiga kewenangan bagi mereka yang merafal mantra, yaitu: mantram untuk sang sadhaka (sulinggih), mantram untuk pamangku/pinandita, dan mantram untuk walaka (orang kebanyakan/masyarakat umum). 
Mantram bagi sang sadhaka pada dasarnya digunakan untuk keperluan lokapalasraya, yaitu mantram yang berhubungan dengan muput upakara yadnya. Sedangkan mantram bagi pamangku/pinandita adalah berupa saa yang berpedoman pada Gagelaran Pamangku yang bersumber pada lontar Dewa Tattwa, Kusuma Dewa, dan Sangkulputih. Pamangku tidak dibenarkan menggelar mantram sang sadhaka dan itu dimiliki sebagai tindakan nyumuka. Artinya, merupakan suatu dosa bagi seorang pamangku dalam lokapalasraya nganteb upakara yadnya. Sedangkan bagi para walaka berhak nguncar (merafal) mantra sehari-hari termasuk Puja Trisandhya sebagaimana yang telah termuat dalam buku Doa Sehari-hari dan Weda Walaka yang telah diedarkan oleh Dirjen Bimas Hindu dan Budha.
Lebih  jauh tentang hak mamantra ini saya sarankan Saudara membaca buku/lontar tentang Sesana Kawikon, Indik Kapemangkuan/Gagelaran Pemangku, dan Buku Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I s/d XV, dll.

No comments:

Post a Comment