Dari Batur Mengalir ke Nusa Dua

Empat danau sebagai catur bhagini menopang kebutuhan air Bali. Sayang, tak banyak yang menyadari kolam renang di hotel-hotel mewah, lapangan golf di Pulau Dewata ini pun sangat tergantung pada kemurahan Batari Sakti Dewi Danuh, penguasa air danau.
Menapakkan kaki pertama kali di Bali tahun 1988, dari negeri asalnya, Inggris, Black – sebut saja begitu  - langsung menginap di sebuah hotel bintang lima, di kawasan Nusa Dua. Melihat pantai berpasir putih asri dengan air laut yang bening beriak kecil, Black pun langsung menceburkan raganya ke laut lepas di kaki Pulau Bali itu. Di sana dia berkecibak, sepuasnya. 
Air Mancur di Nusa Dua. Kaum pebisnis tak mau tahu. foto: AgustanayaTak puas membasahi sekujur jasadnya di laut, dia pun nyemplung ke kolam renang hotel. Sesekali menyelam, sesaat kemudian berkecibak lagi. Kesejukan dan kenyaman menyusup ke sanubarinya. Esok paginya, dia mengguyur tubuhnya dengan air di kamar mandi hotel. Diantar sopir khusus mobil mewah dengan layanan kelas internasional, dia pun meluncur menuju hulu Pulau Bali: Besakih. Dari kawasan gunung tertinggi di Bali ini, dia melaju ke Kintamani, Batur. Pulangnya lewat Kadewatan, Ubud, dia turun sejenak. Hamparan sawah-sawah di sana telah menyedot perhatiannya. Istirahat sejenak di Denpasar, pria tinggi berkulit putih ini sudah terlihat lagi di lapangan golf. 
Ketika dia datang kembali ke Bali dua tahun kemudian, izin usaha rafting pun sudah digenggamannya. Hingga kini Black menekuni bisnis meluncur di air sungai dengan perahu karet itu. Bekerja sama dengan seorang Bali tulen.  

Sejauh ‘petualangannya’ di Bali itu, adakah Black menyadari, air laut, air kolam, hingga air yang mengguyur tubuhnya di kamar mandi hotel bintang besar di Nusa Dua itu berasal dari Gunung Agung dan Batur yang dikunjunginya? Besar kemungkinan tidak. Termasuk dia tak mengerti: dataran huma yang dikaguminya, lapangan golf tempatnya bersantai gaya kelas atas, bahkan sungai tempatnya berbisnis kini pun, mereguk air yang berasal dari kedua gunung itu. Dan, entah berapa banyak Black-black lainnya yang tak tahu –dan tak pernah mau tahu—soal siklus air Bali itu. “Tak terkecuali pebisnis-pebisnis lokal tak mau tahu, bagaimana orang Bali sendiri menjaga kelestarian air untuk kelanjutan generasi hingga kenantiannya,” sodok penekun tata ruang Bali, Ir Nyoman Gelebet. 
Tradisi Bali mengajarkan, siklus perputaran air itu sebagai sad kerti. Hujan yang turun dari langit diserap gunung, menyusup ke dalam tanah, di empang danau. Dari danau tersembullah mata air-mata air yang kemudian mengaliri sungai-sungai. Dari sungai-sungai menelusup ke hamparan sawah, ladang. Di sini air didayagunakan para petani dalam wadah subak. Di hilir subak, air digunakan untuk kepentingan sehari-hari, ya mandi, ya mencuci, ya konsumsi. Terus ke ujung hilir air mengalir hingga bermuara kembali di lautan. Oleh sang matahari yang abadi dan setia terbit saban hari, air laut dimuaikan ke langit. Dari langit kembali memutar turun menjadi air hujan yang menelusup ke gunung. Demikian, tak pernah berhenti, air berputar terus. Dalam siklus itulah tetumbuhan, binatang, dan manusia hidup dan berbiak. 
 Guna menghormati dan menjaga siklus tatanan air itulah, tradisi Bali memberi tempat istimewa bagi gunung, danau, dan laut. Ada tradisi nyegara-gunung, menuju gunung dan menuju laut. Maksudnya, dalam penafsiran Ida Pedanda Putra Telaga dari Geria Banjarangkan, Klungkung, “Untuk menjaga agar sumber-sumber air lestari, sehingga tatanan air tetap ajeg.” Bila tatanan air lestari, hidup pun jadi berlangsung lancar, layaknya aliran air yang deras mengucur. Sebaliknya, bila tatanan air terganggu, “Hidup semua mahluk hidup di bumi ini pun terganggu.” 
Jro Gede Alitan, foto: AgustanayaDalam makna spiritual, lanjut Ida Pedanda, air laut yang senantiasa bergerak, tak pernah diam, melambangkan kekuatan pradana, sedangkan gunung yang tegak tetap diam menyimbolkan purusa. Hakikat alam, papar Ida Pedanda, “Yang bergerak selalu akhirnya menuju yang diam ajeg.” Maka, selain gunung, matahari yang tetap diam ajeg dikekelingi bumi pun menjadi orientasi umat Hindu. “Kita mahluk manusia di bumi ini pun sepatutnya akhirnya menuju Hyang Widhi Yang Mahaabadi,” ingat Ida Pedanda, tersenyum.
 Laku nyatanya, salah satunya: jagalah kelestarian air, justru untuk keajegan kehidupan. “Untuk itulah petani-petani Bali dalam wadah subak senantiasa ngastiti kehadapan Batari Sakti Dewi Danuh,” urai Jero Gede Makalihan, pimpinan adat Desa dan Pura Ulun Danu Batur. 
Danau dengan Gunung Batur-nya itu memang menjadi satu di antara empat danau penting yang ada di Bali. Tiga lainnya: Danau Beratan, Danau Tamblingan, dan Danau Buyan. Keempat danau yang menjadi sumber air asli di Bali ini dinamakan Catur Bhagini. Maksudnya, empat Dewi atau Batari yang berstana di keempat danau tersebut. Empat Dewi ini merupakan empat kemahakuasaan Batara Siwa, Tuhan Mahaesa. Di Batur, berstana Batari Uma, di Beratan Batari Gangga, di Buyan Batari Laksmi, dan di Tamblingan berstana Batari Sri. “Inilah yang memberikan amerta (kehidupan) dan kemakmuran bagi jagat Bali seisinya,” tandas mantan Sekretaris Jenderal Parisada.Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, I Wayan Surpha SH. ketika ditemui SARAD di rumahnya. 
 Kenyatan ini memang sangat terkait dengan kehidupan agraris di Bali. Itu sebabnya, petani-petani di Bali selalu memohon agar air mengalir dan hujan turun sesuai musimnya di empat danau asli itu. Kata Surpha, “Di sanalah diadakan upacara mendak (mohon) tirtha untuk kemakmuran jagat.” 
Jro Gede Duwuran, foto: AgustanayaDalam jagat agraris di Bali, di samping dikenal amerta juga ada merana (hama). Guna menghindarkan merana tikus, mi-         salnya, dimohonkan air suci (tirtha) di Pura Masceti di Pantai Lebih, Gianyar. Untuk menangkal serangan balang sangit dimohonkan tirtha ke Pura Sakenan, di  Serangan, Denpasar. Sangat menarik, pura-pura yang dinilai sebagai penangkal merana ini pun berlokasi di segara. Pada pura-pura sawah di Bali pun ada palinggih pasimpangan pura-pura tersebut. Ini menandakan pura-pura di segara tersebut menduduki posisi penting dalam orientasi petani Bali. Dan, dalam tatanan itu, Gunung Agung dan Gunung Batur menjadi pusat orientasi yang sentral.
“Masyarakat Bali tidak boleh sama sekali melupakan Batara di Gunung Agung dan Batara di Gunung Batur, karena diyakini di sana berstana Batara Putranjaya dan Batari Sakti Danuh yang memberikan kemakmuran hidup dan air yang melimpah terus bagi masyarakat Bali,” Surpha mengingatkan. 
Sesuai Raja Purana Pura Batur, ungkap Jero Gede Batur Makalihan, Pura Ulun Danu Batur memang di-empon (ditopang) seluruh subak di Bali. Volume airnya yang terbesar dibandingkan danau-danau lainnya menjadikan Danau Batur sebagai hulu sebagian besar sungai-sungai utama di jagat Bali. Sungai-sungai inilah yang mengaliri sebagian besar sawah-sawah di Bali dataran selatan, termasuk sebagian Bali timur. Sedangkan sungai-sungai di Bali dataran utara dialiri Danau Tamblingan. Adapun Danau Buyan dan Beratan hanya sebagian kecil mengaliri kawasan Bali barat, sisa-nya menerima pasokan dari Danau Batur. Termasuk sebagian Tabanan pun airnya berhulu di Danau Batur.
Bocah-bocah bersampan di Danau Batur. Mengalir ke Nusa Dua. foto: AgustanayaTentu saja, tak cuma sawah-sawah yang dialiri. Rumah tangga hingga hotel-hotel, restoraan, dan padang golf pun bila dirunut akhirnya berhulu di danau ini. “Sangat keliru jika dikatakan kelestarian danau hanya penting bagi petani. Insan pariwisata pun sangat berkepentingan, karena air yang digunakan untuk kegiatan pariwisata itu juga datang dari danau di hulu,” papar penekun adat Bali, Ngurah Oka Supartha.
Kenyataannya, insan pariwisata, pebis-nis, bahkan mungkin juga PDAM tidak begitu tersentuh dengan keberadaan Batur. Manakala petani-petani Bali suntuk dengan upacara demi kelestarian air untuk hidup, kalangan pariwisata, pebisnis, dan juga PDAM ha-nya menjadikan air yang mengalir dari Batur itu sebagai mata dagangan yang menghasilkan keuntungan. “Bahkan ada yang pongah juari (tebal muka) menjual Batur,” sebut Oka Supartha. 
Entah, memang, sudah berapa tumpukan duit dihasilkan dari Batur, dan juga Besakih serta danau-danau lainnya di Bali. Entah sudah berapa lembaran-lembaran postcard, ilham lukisan, sewa penginapan, uang transpor, bayaran restoran, hingga ongkos parkir dihasilkan dari hulu-hulu putaran air di Bali ini. Entah ada yang dikembalikan sebagai aturan atau bentuk kepedulian lainnya, yang jelas untuk ke-perluan upacara rutin di Batur, misalnya, “Kami didukung penuh oleh krama subak di sajebag (seantero) Bali,” ungkap Jero Gede Batur Makalihan. 
Ironis, memang, air berputar terus dalam siklusnya. Namun, duit yang dihasilkan dari perputaran air yang dijaga kelestariaannya oleh petani-petani Bali itu, justru meng- isyaratkan ada lingkaran terputus. Akibatnya, jangankan kucuran deras, bahkan tetesan langsung ke hulu pun tiada. Di mana tersumbatnya? Entahlah — barangkali di langit.

Made Widnyana Sudibya, I Ketut Sumarta, Jung Iriana

No comments:

Post a Comment