Pakelem

danau beratan, foto: prayatna sudibya
 “Alam semesta dan jagat manusia itu punya unsur raga sama. Itulah: Pretiwi (bumi), Apah(air), Teja (sinar), Bayu (angin), dan Akasa (eter). Dinamakan Panca Mahabhuta, Anakku.” Begitu Guru senantiasa mengajarkan kepada kami.
Kata Guru pula, “Sepanjang zaman unsur dasar itu senantiasa bergerak mencari harmoni di jagatraya ini dengan jagatdirimu, Anakku. Manakala alam ini kau kuras dayanya, Anakku, dirimu pun merasa kian letih dan ringkih. Pertiwi tak sidi. Air tak suci, jadi racun. Udara kotor. Sinar tak memberimu tenaga, tapi membakar terik. Angin pun memporakporandakan.” “Begitulah Panca Mahabhuta itu bergerak, seiring putaran jentera cakraning panggilinganzaman, Anakku. Rohmu diaduk, diputar-putar mengikuti gerak Sang Waktu. Ketika putaran menjejak di zaman kehancuran Kaliyuga, Anakku, rohmu terpancing bergerak ke luar dari sumsum, melewati daging, menerobos otot. Di situ, di kulitmu, dia bertengger.” Apa artinya itu, Guru? “Berada di lapis terluar, jiwamu sejatinya tak terlindungi. Dia kian rapuh. Mudah disentuh, gampang digoda, gampang terluka. Sakit, cuma itu tersisa. Amuk jadi keseharianmu, amarah jadi darah dagingmu, bencana pun datang sesukanya. Kau pun tak berdaya, Anakku. Mengobati diri sendiri tak ubahnya menutup kulit dengan busana. Tak akan membalikkan sang jiwa kembali ke sumsum.” Inikah isyarat kehancuran kami, Guru? “Kau seharusnya tunduk di hadapan Sang Jiwa Alam, Anakku. Bukan kepadaku!” Kenapa? “Kembalilah ke kemurnian, Anakku. Kembalikan jiwamu dan Jiwa Sang Alam pada kemurniannya. Murnikanlah Sang Air, bersama unsur lainnya, agar memberimu kehidupan, bukan kehancuran. Hanya dengan kemurnian engkau bisa memetik Sang Kemurnian. Dia Yang Mahasuci mana mungkin dapat kau rengkuh tanpa kesucian! Di situ, di danau sebagai hulu dan di laut sebagai hilir siklus putaran Sang Air, sujud baktilah. Pakelem itu, Anakku, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk kedamaian dan kesejahteraan jagat seisinya. Denganpakelem itu ekosistem alam dihidupkan, jiwa alam dijaga.”


segara klotok, foto: widnyana sudibya danau beratan, foto: agustanaya danau beratan, foto: prayatna sudibya danau batur, foto: agustanaya danau batur, foto: agustanaya danau eratan, foto: prayatna sudibya danau batur, foto: prayatna sudibya danau beratan, foto: prayatna sudibya danau beratan, foto: prayatna sudibya danau beratan, foto: agustanaya 
  
foto: agustanaya - prayatna sudibya
teks: widnyana sudibya

No comments:

Post a Comment