Lulus Ujian, Sunari Ngidam

Judul Buku  : Sunari 
Pengarang  : I Ketut Rida 
Penerbit  : Yayasan Obor, Jakarta 
Tahun, tebal  : 1999, 82 halaman
Setelah 60 tahun lebih, kini novel berbahasa Bali terbit lagi di Jakarta. Ceritanya ringan, namun baik untuk belajar bahasa Bali. Yayasan Rancage yang berpusat di Bandung pun langsung memberi Hadiah Rancage Tahun 2000.
Novel Sunari karya I Ketut Rida (1939) merupakan salah satu karya penting dalam sejarah sastra Bali modern karena dua alasan. Pertama, novel Sunari muncul justru ketika perkembangan sastra Bali modern (seperti juga umumnya sastra berbahasa daerah di daerah lain di Nusantara) dilanda rasa keprihatinan yang mendalam karena jarangnya karya sastra yang terbit dan tipisnya sambutan masyarakat. Kehadiran Sunari setidaknya menyuntikkan rangsangan baru untuk menyemarakkan perkembangan sastra Bali modern memasuki milenium baru. 

Kedua, inilah novel berbahasa Bali yang kedua yang diterbitkan di luar Bali. Novel pertama yang terbit di Jakarta tahun 1931 adalah karya Wayan Gobiah, Nemoe Karma. Terbitnya Sunari di Jakarta memberikan kebanggaan bahwa sastra daerah Bali mendapat perhatian dari luar Bali, dalam hal ini Jakarta yang sudah dianggap pusat segala hal. Novel-novel berbahasa Bali lainnya, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, seperti karya Gde Srawana,Djelantik Santha, Nyoman Manda, I Gusti Ketut Kaler, umumnya terbit sebagai cerita bersambung di media massa lokal dan lalu diterbitkan secara sederhana oleh pengarangnya atau yayasan sastra di daerah. 
Yang menggembirakan lagi, Sunari langsung menyabet hadiah adiah Rancage Tahun 2000. Inilah hadiah yang diberikan tiap tahun oleh Yayasan Rancage di bawah pimpinan sastrawan Ayip Rosidi. Rancage —yang dikelola orang-orang Sunda— semula diberikan untuk pembina dan terbitan asli berbahasa Sunda. Beberapa tahun belakangan diperluas lagi. Selain untuk pembina dan karya asli berbahasa Sunda, juga diberikan buat pembina dan terbitan asli berbahasa daerah Jawa dan Bali. 
Jika dilihat dari segi isi atau ceritanya, novel Sunari tidak begitu istimewa. Novel ini menceritakan kisah hidup Sunari, siswa kelas III SMA yang manja, hamil di luar nikah, lulus ujian tidak bisa melanjutkan kuliah karena ngidam. Lalu, Sunari melahirkan tanpa suami namun anaknya meninggal, ia menjadi pedagang acung, berpacaran dengan mahasiswa yang melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di desanya, putus cinta lagi karena berpisah menyusul usainya program KKN. Ahirnya, ia menikah dengan bekas pacar yang menghamilinya ketika di SMA. Cerita seperti ini sudah biasa muncul sebagai novel remaja.
Alur cerita dan konflik terlalu ringan, kurang berbelit, kurang rumit sehingga kurang menyajikan kejutan dan akhirnya kurang menggoreskan kesan mendalam.
Yang justru mengejutkan adalah sikap orangtua Sunari yang pasrah, yang tidak berusaha menuntut laki-laki (Wayan Duria) yang menghamili anaknya. Mungkin mereka berpikir anaknya nakal, sering ganti-ganti pasangan. Tapi, sebagaimana biasanya terjadi di Bali, setiap orang hamil pastilah dinikahkan, paling tidak secara formalitas, sehingga dia tidak melahirkan anak tanpa ayah (bebinjat). Pilihan pengarang untuk mengisahkan Sunari melahirkan bayi tanpa pernah menikah, adakah ini suatu gagasan beranimelawan tradisi? Entahlah. Yang jelas, bayi yang dilahirkan langsung meninggal. 
Seperti umumnya novel yang bertema Bali hasil karya pengarang Bali, elemen karmapala dan kepercayaan terhadap Hyang Widhi selalu menjadi bumbu utama. Wayan Duria yang mencampakkan Sunari, dikisahkan mengalami kekecewaan dan dirundung kegagalan. Dia kecewa karena ditinggalkan oleh pacarnya beda agama, yang dijodohkan oleh keluarganya. Dia gagal kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogya. 
Tak hanya itu. Wayan Duria juga jatuh sakit, berbaring selama 10 hari, karena menembak jatuh tekukur yang sedang bermesraan di ranting kayu di sekitar Gua Lawah. Dalam tidurnya, Duria mimpi disambar burung besar. Hanya sesudah melaksanakan upacara, sesuai dengan saran seorang jero mangku, barulah Duria sembuh. Dari sini Wayan Duria sadar dan ingin kembali kepada Sunari, wanita cantik yang dihamili tetapi ditinggalkan kuliah ke Yogya. Sesudah Wayan Duria sungguh-sunguh menghadap orangtua Sunari meminang bekas pacarnya, keduanya lalu menikah di akhir cerita. Tak ada dendam, semua diterima sebagai nasib, takdir Hyang Widhi. 
Pesan moral lain dari novel Sunari, jelas mengajak remaja untuk menghindarkan diri dari gerusan pergaulan bebas. Juga buat orangtua agar tidak mudah ditipu putra-putrinya yang mengatakan belajar, tahu-tahu berpacaran. Dalam kaitan ini, Sunari mengingatkan kita pada cerpen berjudul ‘Luh Sari’ karya Ida Bagus Mayun atau cerpen-cerpen Indonesia pengarang Bali yang terbit di majalah Damai pertengahan 1950-an. Ini berarti bahwa masalah pergaulan bebas dan hamil di luar nikah sudah menjadi fenomena lama di Pulau Dewata dan salah satu pusat perhatian sastrawan Bali. 
Walaupun ceritanya ringan, atau justru karena ceritanya ringan, novel Sunari merupakan bacaan ideal, terutama bagi mereka yang rindu menghidupkan kemampuan berbahasa Bali yang mungkin sudah tertindih kemampuan berbahasa Indonesia atau Inggris atau bahasa asing lainnya. Kosa kata Sunari ini umumnya perbendaharaan lumrah sehari-hari. Jadi, tak begitu sulit.
Nyoman Darma Putra
(Brisbane, Australia)

I Ketut Rida:
Saya tak Punya Mesin Tik
I Ketut Rida, foto: widnyana sudibyaSemangat Ketut Rida menciptakan karya sastra berbahasa Bali tinggi sekali, tetapi selalu terhambat mesin tulis. “Saya tidak punya mesin tik. Kalau menulis, saya harus meminjam di kantor perbekel,” ujar Ketut Rida (61) polos di sela-sela Temu Sastra Bali Anyar di Balai Bahasa, Tembau Denpasar, akhir Desember lalu. Ketika itu, Rida hadir untuk menerima penghargaan bersama 10 pengarang lainnya dari Yayasan Sabha Sastra Bali, diserahkan Asisten III Sekwilda Bali Ngakan Made Samudra SH. Dalam serba keterbatasannya sebagai pengarang, Ketut Rida sudah tampil sebagai salah satu jajaran sastrawan Bali modern yang penting. 
Rida lahir di Banjar Kanginan, Desa Sulang, Klungkung, 11 September 1939. Ketika kecil, seperti umumnya anak desa, dia senang mendengar cerita. “Dadong (nenek) sering menuturkan cerita, mendongeng sebelum tidur. Sejak itu saya senang satua-satua Bali,” tambah Rida. 
Minatnya pada sastra dan bahasa Bali dipupuk dengan memilih Jurusan B-1 Bahasa Indonesia di Singaraja. Tahun 1960-1987, Rida bekerja sebagai guru. Cemas melihat rendahnya kemampuan siswa berbahasa Bali yang sesuai anggah-ungguh basa, guru Rida sering memikirkan cara terbaik membuat para siswa tertarik dan mantapbelajar bahasa Bali. Lalu, timbullah niatnya menulis cerita dalam bahasa Bali. Novel Sunari yang ditulis tahun 1980 adalah salah satu karyanya yang penting, yang cocok untuk remaja, baik karena bahasanya ringan juga karena temanya percintaan anak sekolahan. 
Semangat menulis novel itu juga didorong keinginan ikut sayembara. “Kalau saya tidak bisa meminjam mesin tik di kantor lurah, mungkin novel Sunari ini tidak lahir. Untuk ikut sayembara, cerita harus diketik. Tulis tangan tidak boleh,” tambah laki-laki berkumis ini. Sunari merebut juara I lomba mengarang novel bahasa Bali tahun 1980.
Sebelum itu, Rida sudah sering memenangkan perlombaan mengarang dalam bahasa Indonesia antarguru-guru SD se-Bali. Tahun 1991 Rida keluar sebagai juara I Lomba Cerpen Bahasa Bali yang diselenggarakan harian umum Bali Post, lalu tahun 1995 keluar sebagai juara I Lomba Cerpen dalam rangka Pesta Kesenian Bali. Walaupun dengan mesin tik pinjaman, semangat Rida mengarang tidak pernah pudar. Bahkan, karya-karyanya sering keluar sebagai karya terbaik. “Saya ingin memberikan sumbangan pada usaha mengajarkan generasi muda Bali berbahasa Bali yang baik,” ujar laki-laki kurus yang sejak akhir 1980-an menjadi penilik/pengawas TK, SD dan SDLB di Klungkung. Di luar jabatan formal sebagai mantan ‘pahlawan tanpa tanda jasa’, Rida yang lambat menikah (dalam usia 60 tahun lebih masih mempunyai balita), juga memangku jabatan sebagai Bendesa Adat Desa Sulang dan klian pura. 
Mengisi masa pensiunnya, Ketut Rida kini sibuk memomong anaknya yang bungsu, di kampung halamannya di Desa Sulang, Klungkung, yang tenang. “Mudah-mudahan saya bisa terus menulis, sambil ngempu pianak. Tapi, saya tidak mempunyai mesin tik sampai sekarang,” katanya, nyaris tanpa ekspresi. Rida, hingga kini memang terus menulis cerita di atas kertas dobel folio yang bergaris-garis. Tetap, tidak dengan mesin tik, melainkan tulis tangan.
Nyoman Dharma Putra 

No comments:

Post a Comment