Tamu-tamu Wayan Tangguh

tangguh, foto: widnyana sudibyatangguh, foto: widnyana sudibyatangguh, foto: widnyana sudibya
Wanita Italia itu sigsigan (terisak). Sekali-sekali ia mengusap ingus meleleh dari hidungnya yang bangir. Begitu dalam ia tersedu, sampai-sampai bahunya terguncan-guncang. Ini pagi terakhir ia di rumah Wayan Tangguh, setelah berminggu-minggu ia belajar menakik kayu, membuat topeng, di rumah seniman itu.Bukan perpisahan itu benar yang membuatnya gundah, tapi  karena ia tak sanggup membayar utang-utangnya selama ia tinggal di rumah seniman pahat itu.



Ia menjanjikan, kalau ia pulang, akan membayar sewa kamar dan makan selama ia di sana. “Tapi begitu hendak kembali ke negerinya, uangnya habis,” ujar Tangguh. Wanita itu kemudian menyerahkan koper dan sejumlah barang lain, sebagai pengganti uang yang ia janjikan. Tapi Tangguh menolak. “Keliru kalau begitu, kamu membutuhkan baju dan koper itu untuk pulang. Mau pakai apa kamu kembali ke negerimu?“ ujar Tangguh menceritakan kembali pengalamannya menerima tamu numpang di rumahnya. Selain itu Tangguh sangat risi harus mengambil dan menggunakan barang bekas. 
Akhirnya wanita itu dibebaskan dari segala beban utang. Ia belajar gratis membuat topeng, tak bayar makan tidur berminggu-minggu.Suatu ketika wanita Italia itu datang lagi ke Bali,   mampir ke rumah Tangguh. Dibawanya oleh-oleh baju tebal, pikirnya cocok untuk Tangguh yang berangkat tua. “Tapi pemberian itu saya tolak,” kata Tangguh. Wanita Italia itu kaget. Bagaimana mungkin Tangguh sanggup menampik pemberian tulus itu? “Saya katakan padanya, jangan-jangan kamu memberikan ini sebagai pembayar utang,” kata Tangguh. Walau te-rus didesak, Tangguh tetap menolak. Hingga kini Tangguh tak pernah menerima apa pun dari wanita Italia itu.
Tangguh punya banyak tamu, dengan aneka tingkah. Dari sana ia mengkaji watak manusia. Ia pun bisa lebih menilik dimana letak kelebihan dan kekurangan manusia Bali. Ia menyim-pulkan, dalam laku berkesenian, orang Bali memang punya ba-nyak kelebihan, sulit dicari duanya. Ia memberi contoh, kalau orang Barat belajar membuat topeng, kelihatan singkuh (rikuh), tidak gesit, sering kali serba salah. Mereka sulit bersila, sehingga meletakkan posisi kayu acap keliru. “Kadang kayu diletakkan di bawah kaki, dan tangan yang memegang palu masuk dari celah kaki yang lain. Jadinya ganjil dan lucu,” kata Tangguh.
Yang paling cekatan membuat tapel, menurut pengamatan Tangguh, adalah orang-orang Jepang. Menurut Tangguh, kalau orang Jepang membuat topeng tampak pangus. Mungkin karena sosok mereka sebanding dengan sosok orang Bali. Mereka bekerja dengan elah (mudah), tanpa beban.
Tamu Tangguh yang lain, juga orang Jepang, adalah Shin Nakagawa, yang menulis buku tentang budaya topeng, atas tawaran penerbit Iwanami, Jepang. Berkali-kali mewawancarai Tangguh, Nakagawa kemudian memesan sebuah topeng. Harga sudah disepakati, dan peneliti itu sangat puas melihat hasilnya. Karena puas, tentu wajar kalau ia berniat membayar dua kali lipat lebih mahal. Hitung-hitung memberi bonus. Tapi Tangguh menolak. “Saya hanya terima uang Nakagawa sesuai dengan kesepakatan kita,” ujarnya. Tentu Nakagawa mendesak, tapi Tangguh kukuh menolak.
Profesor ethnomusikologi dari Universitas Seni, Kyoto, Jepang, itu pun mengalah. Ia lalu berniat membayar makanan selama berhari-hari berada di rumah Tangguh. Lagi-lagi Tangguh menepis uang itu. “Saya tidak menjual nasi kepada Anda,” katanya pendek, kalem, tenang, tanpa beban.
Sekarang mereka bersahabat. Nakagawa bahagia sekali ketika topeng yang dibelinya ada nama Tangguh di belakangnya, ditakik dengan aksara Bali. “Ini barang benar-benar asli,” ujar-nya bangga kepada rekan-rekannya, di Jepang sana. 
Jika Nakagawa ke Bali pasti menyempatkan diri mampir ke rumah Tangguh. Ia membawa oleh-oleh perada. “Nah, kalau yang ini saya terima, karena ini oleh-oleh.” Nakagawa pun sangat senang. Apalagi buku yang ditulisnya mendapat penghargaan. Tangguh, masuk di buku itu bersama pemahat-pemahat topeng dari Afrika dan Amerika Selatan. 
WD, WS, AS

No comments:

Post a Comment