Pemujaan Dewa Air

“ … Puja dan sujud hamba waktu pagi dan malam hari, O, Narmada Dewi, bebaskanlah kami dari pengaruh bisa naga….”
Begitulah kepatutan manusia memuja Narmada Dewi, yang mengalirkan air Sungai Narmada yang suci. Upacara dan pemujaan itu digelar saban pagi dan malam hari. Tujuannya, agar air senantiasa ber-mana dalam arti menyehatkan dan menyuburkan. Ini disimbolkan (di-nyasa-kan) dengan telah dibebaskannya bisa naga, sebagaimana kutipan Visnu Purana di awal tulisan ini. Dalam sumber-sumber ajaran tattwa, baik dalam purana (terutama Visnu Purana dan Shiva Purana) maupun sumber lontar (riptaprasasti) di Bali, air memang dinyatakan sebagai wujud fisik Dewa Wisnu. 

Lontar Prakempa secara gamblang menyuratkan: air sebagai sumber hidup dan kehidupan bagi semua mahluk hidup. Tanpa air, mahluk hidup yang terdiri dari taru, lata, gulma, janggama, dan sthawara tak akan bisa bertahan hidup. Sthawara, yakni mahluk hidup yang tak bergerak, seperti taru, lata, gulma dan tanaman (flora) pada umumnya tak bisa hidup dan berbiak tanpa air. Lebih-lebih lagi janggama, mahluk hidup yang bisa bergerak, yakni manusia dan hewan (fauna), mana mungkin bisa berkembangbiak tanpa ada air. Air, lebih luas lagi zat cair, jadinya, memang sangat vital bagi kehidupan dan kelangsungannya. 
Dalam kerangka pemahaman seperti itulah tradisi Bali memvisikan agar manusia senantiasa memohon kehadapan Hyang Widhi, Brahman, dalam berbagai prabawa atau istadewata-Nya sehingga air tetap ber-mana, menyehatkan dan menyuburkan mahluk hidup di bumi ini. Guna mendapatkan anugerah air ber-mana itulah para penganut Sanathana Dharma selalu melakukan upacara dan pemujaan kehadapan Wisnu dan juga Siwa. Ketika sehari-hari sehabis memasak manusia Bali menghaturkan saiban di gebeh atau tempayan tempat air minum, itulah bentuk upacara dan pemujaan kehadapan Wisnu dalam wujud fisik-Nya sebagai air. Perilaku itu sama saja konsepnya dengan upacara dan pemujaan kehadapan Narmada Dewi sebagaimana disuratkan dalam Visnu Purana yang dikutipkan di awal tulisan ini. 

Sungai Narmada memang diyakini sebagai salah satu sungai besar dan suci di India. Berkaitan dengan itu, mengutip buku Visnuism and Shivaism karya Gonda, peneliti Margaret dan James Stutley menyuratkan, umat Hindu meyakini Siwa bersemayam di setiap tumpukan kerikil putih berbentuk lingga yang ditemukan di Sungai Narmada. Karena itu, dalam upacara dan pemujaan kehadapan Siwa dengan Puja Pancayatana, Siwa disimbolkan (di-nyasa-kan) dengan sebuah kerikil putih. Keyakinan seperti ini dikenal luas dalam Weda dan lazim dirafalkan dalam mantram-mantram pemujaan yang dinamakan Sapta-Sindhava. Coba saja perhatikan kutipan dari buku Gonda tersebut, setelah diterjemahkan, demikian: “… bahagiakanlah dari rafalan mantram pujaan kami, O, Gangga, Yamuna, Saraswati, Satudri, Parushni, dengarkanlah, O, Marud-Vridha, dan Asikini dengan Vitasta, yang mulia Arjikiya dan Sushoma. Menyatulah aliranmu dengan Trishtama, Susasrtu, Rasa dan Sweti, Yang Mulia terimalah Gomati, Krumu, Khuba, dan mahatnu.”  

Dalam puja Sapta-Shindava itu, rincian tujuh sungai besar dan suci di India (Bharatawarsa) masing-masing adalah: (1) Gangga; (2) Yamuna; (3) Saraswati; (4) Sutudri; (5) Parushni; (6) Marud-Vridha; dan (7) Arjikiya (Vipasa). Ketujuh sungai besar ini dimohon agar menyatu dengan aliran sungai-sungai lainnya. 
Satu hal yang perlu juga diperhatikan, dalam sumber lain rincian ketujuh sungai dalam Sapta-Sindhava itu tampak ada perbedaan. Dalam Mahabharata rinciannya: (1) Vaswokaswara; (2) Nalini; (3) Pavani; (4) Gangga; (5) Sita; (6) Sindhu; (7) Jambunadi. Sedangkan dalam sumber lainnya lagi, tujuh sungai besar dan suci itu masing-masing: (1) Gangga; (2) Yamuna; (3) Plashaga; (4) Rathasta; (5) Sarayu; (6) Gomati; dan (7) Gandhaki. Adapun dalam Ramayana dan purana-purana lainnya yang dimaksudkan dengan Sapta-Sindhava adalah tujuh aliran sungai yang mengalir ke Sungai Gangga setelah mengalir melalui kening Siwa. Rinciannya, yakni: (1) Nalini; (2) Hladini; (3) Pavani; ketiganya ini mengalir ke arah timur. Lalu,  (4) Chakshu; (5) Sita; dan (6) Sindhu, mengalir ke arah barat. Adapun (7) Gangga yang berada tepat di Baghirathi mengalir ke selatan. Nama ketujuh sungai suci ini sering juga digunakan sebagai nama tujuh samudra (Sapta Samudra). 
Jika dikaji konsep Sapta-Sindhava berdasarkan sumber-sumber tersebut ternyata memiliki titik temu dengan Puja Paganggan di Bali. Puja yang merupakan puja pangawak ini biasanya digunakan para pendeta di Bali setiap hari saat nyuryasewana, pagi hari. Puja ini juga bertitik temu dengan puja dalam Visnu Purana, saat memuja Narmada Dewi setiap pagi dan malam hari agar air sungai dibebaskan dari bisa naga. Ketujuh sungai yang disebutkan dalam Puja Paganggan adalah: (1) Gangga; (2) Sindhu; (3) Saraswati; (4) Yamuna; (5) Godgwari; (6) Narmada; dan (7) Kaweri. Satu hal yang perlu dipermaklumkan di sini adalah bahwa bukan hanya menurut sumber Weda dan Upaweda rincian Sapta-sindhava itu berbeda. Dalam Puja Paganggan sendiri pun ada kalanya berbeda pula, terutama saat Puja Paganggan itu dikembangkan menjadi Puja Eka Dasa Gangga. Dengan demikian, rincian sungai-sungai besar dan suci tadi menjadi: (8) Serayu; (9) Mahendra; (10) Tanaya; dan (11) Charmawati. Di samping itu, dalam Puja Paganggan di Bali sering pula ada tambahan nama-nama sungai suci lainnya, seperti Sungai Wanuka, Netrawati, Mahasuranadi, Kiantarajala.  

Selain lewat pendeta dengan Puja Paganggan dan tradisi saiban di tempat air (gebeh), manusia Bali juga melakukan pemujaan terhadap Dewa Wisnu yang berwujud fisik air dalam tradisi subak. Krama (warga) subak melakukan pemujaan kehadapan Dewa Air mulai dari Pura Ulun Danu di posisi paling hulu, berlanjut ke Pura Masceti, Bedugul, hingga di sanggah catu hulu sawah (carik pangalapan) dan andungan, bahkan juga hingga pembagian air ke tulukan cutak sawah. Semua itu dilakukan dalam kerangka porsi swadharma agama setiap krama subak.  

Tak hanya sampai di sana. Saban 5-10 tahun sekali, krama desa adat di Bali juga menggelar upacara dan pemujaan ke  hadapan Dewa Wisnu, mohon agar air senantiasa mengalir (humili). Juga agar mata air tak kering, sebagaimana disuratkan dalam lontar Widhisastra Indik Pangusabhan. Upacara ini dinamakan Pangusabhan Desa. Pelaksanaannya biasanya dipusatkan di Pura Desa bersamaan dengan hari baik menggelar Ngusaba Nini. Ini sekaligus sebagai bentuk ungkapan puji syukur atas keberhasilan panen selama 5-10 tahun. 
Puncaknya, dalam siklus 100 tahun sekali umat Hindu di Bali lantas menggelar upacara yang dinamakan Karya Agung Candi Narmada sekaligus Panca Bali Krama ring Sagara Danu. Candi Narmada digelar di segara, sedangkan Panca Bali Krama ring Danu diselenggarakan di danu (danau). Maksudnya adalah membangunkan dan menegakkan (ngadegang) Sang Hyang Samudra dan Dewi Danuh agar air samudra (lautan) dan air semua danau tetap ajeg ber-mana: memakmurkan, mensejahterakan, dan membahagiakan manusia dalam hidup dan kehidupannya.  

Karya Agung Candi Narmada dan Panca Bali Krama ring Sagara Danu ini digelar setahun sebelum dilangsungkan Karya Agung Eka Dasa Rudra. Upacara tawur agung ini juga digelar saban 100 tahun sekali. Tepatnya, bila rah dan tenggek Tahun Saka sama-sama ngawindhu, angka satuan dan puluhannya sama-sama berakhir dengan nol. Ini mengisyaratkan, sebelum Eka Dasa Rudra digelar sepatutnya dilangsungkan pemujaan dan penyucian air terlebih dulu, sesuai dengan petunjuk dalam lontar Ngeka Dasa Rudra dan lontar Indik Ngeka Dasa Rudra.  

Seperti itulah upacara dan pemujaan yang dilakukan manusia Hindu di Bali terhadap Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewa Wisnu yang berwujud fisik air. Begitulah rasa bakti manusia Bali demi menjaga agar air tetap suci, mengalir ajeg dan berlanjut. Dan, yang terpenting ber-mana, menghidupkan dan mensejahterakan. Semua itu digelar penuh rasa bakti jus-tru karena dilandasi kesadaran mendasar: tanpa air bahkan mahluk hidup termasuk manusia pun tak bisa hidup.

Ngurah Oka Supartha
Penulis  penekun masalah agama, 
adat, dan budaya Bali, tinggal di Denpasar.

No comments:

Post a Comment