Ketika Tradisi Air Digerus Budaya Jalan

Tanpa disadari tradisi Bali yang berorientasi pada air tergerus arus tradisi jalan. Dengan jalan-jalan beraspal mengkilat, transportasi memang lancar. Namun orang Bali menjadi kehilangan banyak media komunikasi dengan nyama braya. Saling curiga merebak. Perseteruan antarsesama kian memuncak. Bagaimana mengatasinya?

Hilang sudah keceriaan yang biasa direguk Nyoman Sudiasih di kampung halamannya, di Desa Satra, Klung-kung. Masih tergores jelas dalam ingatan ibu satu anak ini, sepuluh tahun lampau, saban senja, seusai membantu orangtua-nya di sawah, ia berendam di Tukad Jinah. Di sana ia mandi sepuasnya bersama-sama dengan orang-orang di kampungnya. “Masa-masa itu sungguh menyenangkan,” kenangnya, berbinar. Meskipun sudah kelas tiga sekolah menengah atas (SMA) ketika itu, toh dia dengan wanita-wanita lain di desanya tetap saja merasa pantas mengecibakkan air yang mengalir deras dan bening di sela-sela bebatuan.



Terkadang dia mencipratkan air ke arah muka temannya, lalu dengan keceriaan yang sama si teman pun membalasnya. Tak ada amarah di sana, kecuali keriangan yang lepas, bebas. “Permainan di sungai itu bisa saja sontak beralih menjadi obrolan tentang pacar, tentang hasil sawah, tentang guru yang galak, tentang rerainan, tentang macem-macem, termasuk gosip prihal kepala desa,” tutur wanita yang kini bekerja di sebuah apotek di bilangan Sanglah, Denpasar, itu. Sepulang dari sungai, Nyoman dan rekan-rekannya pun menjunjung jun atau ember berisi air yang diambil dari bulakan di sisi timur tebing Tukad Jinah itu. Air itulah yang dikonsumsi keluarganya.

Kini ? Nyoman berucap sinis, seperti menahan keluh, “Jangankan berendam, mageburan (mengecibakkan) air di tukad, kalau pulang ke kampung, mampir ke rumah nyama braya pun rasanya ngekoh (enggan).” Alasannya, “Sulit menyeberang jalan, banyak truk ngebut, padahal rumah misan-misan saya di seberang jalan.”

Sejak lima tahun berselang jalan tembus beraspal hotmix mengkilat memang membelah desa itu. Jalan yang membentang dari perempatan Banjar Takmung hingga ke perempatan Desa Gelgel itu kini memang padat dilintasi kendaraan-kendaraan besar. Mulai dari truk-truk  pengangkut pasir hingga bus-bus malam yang melaju dengan kecepatan tinggi. Nyoman dan orang-orang sedesanya pun jerih menyeberang, meski di sisi lain mereka bersyukur: desa yang dulunya cuma bisa ditempuh dengan jalan kaki lewat jalan setapak, kini jadi mudah dijangkau. “Pergi ke kota Semarapura dekat, mau ke Denpasar pun enggal (cepat),” urainya.

Namun akibat ikutan dari kemudahan itu, juga tak kecil: tukad dengan airnya yang semula menjadi media perbincangan antarwarga desa hilang, rasa manyama braya pun mengendur. Sepele kelihatnya, memang. Namun bagi pemerhati budaya Bali, Ir Nyoman Gelebet, perubahan itu justru sangat mendasar. Akibatnya, bisa menghilangkan peradaban manusia Bali.

‘’Perubahan itu menyebabkan hilangnya media komunikasi antarwarga desa. Akibatnya, sedikit saja masalah melentik langsung menimbulkan ketersinggungan. Itu bukti hilangnya makna peradaban yang ada sebelumnya’’ papar Gelebet.

Mandi di kolam. Digerus budaya jalan, foto: wayan dianthaPeradaban Bali, lanjut penekun tata ruang Bali ini, sejatinya terbentuk atas dasar ‘tradisi’ air. Air menjadi orientasi sekaligus media komunikasi antarwarga. Di sumber-sumber air keakraban itu bertemu, menyatu. Entah itu di selebutan (mata air), pancuran, sungai (tukad), ataupun sumur-sumur desa. Ciri tradisi air yang demikian melekat-rekat dalam kehidupan manusia Bali. Bagi Glebet, “Tradisi air ini memberikan ruang bagi orang Bali saling berkomunikasi sebagai mahluk sosial.”

Tak heran kalau ingin menemui sesama warga desa, orang Bali cukup datang ke sumber-sumber air bersama-sama. Pagi ataupun sore hari. Sambil kayeh, mandus, atau sekadar ngememang bangkiang (berendam) di sana manusia Bali memperbincangkan banyak masalah, juga memecahkan banyak persoalan. Kini, tandas Gelebet, ngorta (ngobrol) di sumber-sumber air tergerus hangus, karena air justru sudah mendatangi rumah-rumah manusia Bali lewat perusahaan daerah air minum (PDAM). Tak cuma di kota, juga di desa-desa.

Dalam pencermatan Nyoman Gelebet, “Tradisi air berubah menjadi tradisi jalan. Orang Bali kini bukan lagi berorientasi ke air, tapi ke jalan. Mau ke mana-mana, o-rang Bali kini berkiblat ke jalan.” Keluar dari pekarangan rumah, orang Bali kini sudah dihadapkan pada jalan beraspal. Bersamaan dengan itu, biaya hidup pun menjadi mahal, karena “Tak bisa orang melintas gratis di atas jalan, entah naik sepeda motor, entah naik mobil sendiri, entah menumpang kendaraan umum.”


Air dan. Dipaksa mengeluarkan biaya, foto: prayatna sudibyaSedikit-sedikit, begitu keluar dari pekarangan rumahnya, kini orang Bali mau tak mau dipaksa mengeluarkan biaya. Di Desa Bayung Gede, Gelebet memberi contoh, dulu untuk membuat rumah orang mamakai tanah polpolan dari tanah liat. Tanah polpolan digunakan karena dulu memang sulit memikul batubata ke Bayung Gede. Kini setelah ada jalan raya beraspal, batako dari Desa Kapal, Badung, pun masuk ke Bayung Gede. Tidak ada lagi rumah tradisi murni seperti dulu.

Desa Panglipuran di Bangli, bisa dijadikan contoh lain. Pada dasawarsa 1970-an saat pulang dari ladang, warga Panglipuran enak saja magecel (mengelus-elus jago) sambil ngorta ngangin-kauh (ngobrol ngalor-ngidul) dengan tetangga di jalan desa. Lewat media demikian, warga desa setempat melepas beban hidup, mengurai ketegangan emosi.

Masuk dasawarsa 1990-an, Panglipuran mulai ditata, dijadikan desa wisata. Jalan diaspal mengkilat. Trotoar dipaving. Rumput dan perdu tetamanan pun ditanam. Dalam selera manusia kota, terang saja wajah desa kelihatan nyaman dan asri. Indah. Namun, dampaknya bagi masyarakat desa, justru parah ‘’Mereka takut menduduki rumputnya. Pedalem (kasihan), katanya. Mereka akhirnya lebih suka duduk di rumahnya, sehingga dialog dengan sesama warga pun hilang, kecuali di paruman-paruman adat,” Gelebet menilai.

A.A. Ngurah Arwatha, foto: Anantha
Bukan perubahan dari tembok polpolan ke tembok batako cetakan itu yang dicemaskan. Bukan pula hilangnya kebiasaan magecel itu yang mengkhawatirkan. Melainkan kian renggangnya keakraban ma-nyama braya menyusul pengaspalan jalan itulah yang seyogyanya dicermati. Karena dari sini, perseteruan mudah saja meletup akibat kian menipisnya rasa saling pengertian seiring dengan jarangnya tegur sapa.

Itu baru satu soal. Soal lainnya, beriring dengan lancarnya sarana transportasi, kemurnian desa yang homogen dengan satu etnis satu agama pun lambat laun berubah menjadi multietnis, multiagama. Persaing-an hidup lantas menjadi kian rumit, kian keras.  Di sinilah perubahan peradaban itu mulai melentik menjadi ketersinggungan-ketersinggungan. “Itu mesti dicermati, diwaspadai sungguh-sungguh,” Gelebet mewanti-wanti

Masalahnya, pembangunan sarana-sarana fisik, termasuk jalan-jalan beraspal di Bali tiga dasawarsa terakhir cenderung mengabaikan tradisi air tersebut. Dalam bahasa pengamat sosial budaya Bali, Drs AA Ngurah Arwatha MSP, pembangunan jalan bahkan sudah menghancurkan tata-nan aliran air di hilirnya. Pemerintah kolonial Belanda, pada masanya, membangun jalan dengan tetap memperhatikan tradisi Bali yang berorientasi ke air. Bila aliran air hendak dipotong jalan, kalau tidak dibuatkan abangan, air yang mengalir ke hilir oleh pemerintah kolonial Belanda akan dialirkan lewat terowongan bawah tanah.  Dengan demikian, sawah-sawah yang berada di hilir pun tetap mendapatkan aliran air yang cukup, bukannya dipotong lalu dibuang percuma. Dari sisi tata ruang, kearifan demikian justru dapat mengurangi risiko banjir akibat pengempangan aliran air oleh jalan. “Kearifan seperti ini jarang dilakukan sekarang,” papar Arwatha.

Kearifan mengakui kelebihan tradisi setempat itulah tampaknya yang menjadi persoalan kini, sehingga kasus ‘rebutan’ air pun tak jarang meletup. Kasus bentrokan antarwarga subak di Tukad Yeh Ho, Tabanan, bisa menjadi contoh. Kasus yang sudah mendapat liputan luas itu, bermula dari diambilnya sebagian besar debit air dari mata air Gambrong (sumber air Tukad Yeh Ho) oleh PDAM Tabanan. Tujuannya baik, memang:  untuk memenuhi kebutuhan air minum warga Tabanan. Sebagian lagi dijual untuk kebutuhan pariwisata di Bali selatan. Dengan begitu, pemerintah daerah setempat akan mendapatkan masukan dana tambahan.

Saluran Irigasi Subak. Untuk kepentingan ekonomi, foto: AgustanayaTerang saja warga subak tak terima, karena mereka mencemaskan sawah-sawah yang menghidupi mereka tak akan mendapatkan aliran air yang cukup. Dalam logika warga subak, merekalah yang selama ini memelihara kelangsungan aliran air dengan memelihara saluran irigasi. Bukankah warga subak yang tetap menghaturkan aci-aci (persembahan) secara rutin ke hadapan Hyang Widhi, memohon agar air tetap mengalir? Karena itu, akan bijaksana bila sebelum air subak diambil untuk kepen- tingan ekonomi, para warga subak diajak dulu berembug. “Kalau warga subak diajak berembug mungkin tak akan meledak kasus besar,” ingat Arwatha.

Melihat kenyataan-kenyataan itu,  Arwatha pun merasa cemas. ‘’Kalau tradisi jalan ini tidak ditindaklajuti dengan penataan fisik dan sosial secara cermat, akan menimbulkan kehancuran bagi Bali,’’ tandasnya.

Bagi Gelebet, memanfaatkan air untuk kepentingan ekonomi, bukan tak boleh. Air bagi orang Bali selain untuk kepentingan dharma, memang juga untuk kepentingan artha, kama, dan moksa. Air sebagai dharma bisa dicermati dari peruntukan dalam hubungan kegiatan keagamaan, seperti dijadikan tirtha (air suci). Nah, air sebagai artha ini bisa dilihat dalam praktek pengairan subak. Termasuk untuk kepentingan pariwisata, atau dijual oleh PDAM. Tak masalah. Fungsi kama air digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci. Dan, air pun akhirnya harus mensejahterakan dalam rentang waktu yang terus berkelanjutan sepanjang zaman. Bukan hanya 5-10 tahun yang identik dengan masa jabatan kepala daerah. Inilah maksudnya air dalam fungsi moksa.
Jadi, bagi Glebet, tak masalah air dijadikan sumber ekonomi. Cuma, tetap harus diperhatikan etika dan wawasan budayanya. Misalnya, pemda-pemda lewat PDAM memanfaatkan air subak untuk dijual setelah mengalir ke seluruh areal subak. Begitu juga untuk pariwisata, air dimanfaatkan setelah digunakan untuk dharma dan artha. Toh, dalam prakteiknya, warga subak tak merampas hak warga desa menikmati air untuk kebutuhan sehari-hari, asalkan di hilir kepentingan subak. “Jangan justru dihulu dicaplok, sehingga subak tak mendapatkan air yang cukup. Jangan juga mata air atau pancurannya yang dijadikan objek wisata, sehingga hak dharma warga subak jadi hilang oleh kepentingan pariwisata,” tandas Gelebet.

Objek wisata di Desa Sebatu, Gianyar, misalnya. Seyogyanya, bukan pancuran yang berfungsi dharma itu dijadikan objek wisata. Kalau ada kearifan tersisa, semestinya dibuatkan saluran tersier setelah digunakan oleh subak dan desa. Bikinkan pancuran buatan untuk kepentingan objek wisata, ja-ngan malah kolam asli yang dilepasi ikan,  dibuatkan bale bengong tempat wisatawan menikmati panorama alam. Kalau itu dibiarkan, warga setempat kehilangan tempat mencari air minum, untuk mandi, mencuci, apalagi untuk kepentingan tirtha. Bahkan, untuk lewat dengan pakaian sekadarnya pun para petani lokal malu, terutama pada jam-jam wisatawan sedang ramai. “Ini kan tekanan psikologis yang sewaktu-waktu bisa meledak karena hak warga setempat dirampas,” ingatnya.
Begitu mencemaskankah ‘bencana’ itu? Kearifan semua pihak melihat air sebagai sumber keberlanjutan hidup itulah, barang-kali, salah satu jalan keluar untuk menge-remnya. Selain itu, Arwatha menawarkan gagasan perlunya dicari bentuk-bentuk baru untuk menumbuhkan keakraban manyama braya di  di Bali. Bila itu bisa diwujudkan, Nyoman Sudiasih dan Nyoman-nyoman yang lain di seantero Bali mungkin tak perlu lagi risau karena tak akrab dengan nyama braya-nya.

Ananta Wijaya, I Ketut Sumarta

No comments:

Post a Comment