Bali Kekurangan Air ?

Fungsi air di Bali berkembang sesuai zaman. Kalau dulu air untuk memenuhi kebutuhan irigasi sektor pertanian, kini meluas termasuk untuk pariwisata, mulai dari mengisi ribuan kolam renang di hotel-hotel hingga menyirami rumput-rumput lapangan golf. Dua yang terakhir ini sangat rakus air sepanjang tahun. Kalau dulu air untuk memanjakan petani, kini tugasnya bertambah: memanjakan turis.

Akibatnya, konflik pemanfaatan air pun tak bisa dihindari. Di tengah ketatnya rebutan pemakaian air, muncul begitu banyak keluhan dan kekhawatiran akan terjadinya krisis air. Dalam jajak pendapat secara kualitatif (lewat interview) bulan Juni-Agustus 1998 lalu, terungkap: hampir  50 % (14 dari 32) intelektual Bali menyebutkan masalah air sebagai salah satu masalah pokok Bali di masa depan. Mereka menduga, permasalahan air ini berkaitan dengan booming pariwisata awal 1990-an. Fasilitas pariwisata mendapat prioritas menggunakan air bersih produksi PDAM melebihi masyarakat umum. Secara teori tampaknya memang demikian, namun kenyataannya tidak adil dan merata. Media massa mengabarkan, hotel besar di Ubud dan Kedewatan tidak ada masalah suplai air bersih, tetapi kebalikannya dengan hotel-hotel kecil. Karena menghadapi masalah air, hotel kecil kehilangan tamu. Hak memperoleh air bersih yang cukup menunjukkan ketimpangan di Ubud-Kedewatan. 


Konflik pemanfaatan air antara PDAM dengan rakyat juga terjadi dalam bentuk lain. PDAM yang mengambil air sungai untuk diolah menjadi air bersih telah dituduh menyerobot pemakaian oleh petani di sekitar Sungai Yeh Ho. Para petani menuntut agar pengelolaan dan pemanfaatan air Sungai Yeh Ho dikembalikan kepada petani. Alasannya, untuk kelestarian subak. Mereka mengingatkan, Bali identik dengan subak, jadi kebutuhan irigasi harus diprioritaskan. 
Apakah Bali memang menga-lami kelangkaan air? 
Dengan curah hujan rata-rata sebesar 1.200 - 2.700 mm setiap tahunnya, total ketersediaan air di Bali diperkirakan 5,965.35 juta m3 per tahun. Angka ini dihitung berdasarkan potensi ketersediaan air permukaan dan potensi air tanah yang aman dieksploitasi. Potensi ketersediaan air permukaan di Bali 5.564,22 juta m3 yang berasal dari potensi air sungai 4.125,58 juta m3, air danau 1.008,05 juta m3, air bendungan Palasari 8,00 juta m3, dan air dari 500 mata air di seluruh Bali 422,59 juta m3.  Sedangkan air tanah yang dapat dieksploitasi per tahun 401,13 juta m3.  Angka ini dihitung 10% dari potensi air tanah, dengan kalkulasi bahwa eksploitasi 10% per tahun dianggap masih cukup aman untuk menjaga kelestarian tanah Pulau Dewata, seperti yang laporkan dalam studi “Ketersediaan dan Kebutuhan Air di Daerah Bali” oleh Universitas Udayana bekerjasama dengan Bappeda Bali, 1998. 
sketsa: wayan dianthaLebih lanjut, hasil studi tersebut memperkirakan total kebutuhan air di Bali tahun 1997 sebesar 2.294,83 juta m3.  Sebagian besar kebutuhan air ini dimanfaatkan untuk irigasi persawahan (2.080,60 juta m3),  peternakan dan perikanan (94,36 juta m3), kebutuhan domestik (82,10 juta m3), dan pariwisata (8,80 juta m3).  Total kebutuhan air di masa depan diperkirakan akan meningkat sesuai dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas perekonomian termasuk pariwisata. Kebutuhan air Bali pada tahun 2002 diperkirakan sebesar 2,315.31 juta m3.  Jika kita hanya memperhatikan besarnya total ketersediaan air (5,965.35 juta m3) yang sangat jauh di atas kebutuhan air tahun 1997 (2.294,83 juta m3) dan prediksi kebutuhan tahun 2002 (2,315.31 juta m3), maka sebenarnya tidak ada alasan bagi masyarakat mengeluhkan masalah air. 
Namun kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan air tidak saja bergantung pada angka-angka (kuantitas) potensi ketersediaan air dan kebutuhan air semata. Perlu pula diperhatikan aspek penyebaran geografis ketersediaan air tersebut serta kualitas sumber air yang akan dimanfaatkan. Secara jujur perlu disampaikan, tidak semua air danau boleh dieksploitasi, serta tidak semua potensi air sungai dapat dimanfaatkan langsung. Bappeda Bali dalam Laporan “Neraca Sumber Daya Alam Spasial Bali” tahun 1995 menyarankan, penggunaan air danau hanya sebesar 9,60 juta per tahun.  Di lain pihak, air sungai hanya bisa dimanfaatkan langsung untuk keperluan irigasi persawahan, peternakan dan perikanan, sedangkan untuk bisa disuplai menjadi air bersih perlu dilakukan pengolahan oleh PDAM. Dengan demikian, dari seluruh potensi air sungai (4.125,58 juta m3) yang dimanfaatkan langsung diperkirakan 2.174,96 juta m3 saja. 
Mengingat kondisi topografis Bali, yang daerah tangkapan air hujannya (water catchment area) sempit dan dengan kemiringan lahan relatif tinggi, maka sebagian air hujan akan tertampung di danau-danau di wilayah tangkapan air hujan, dan sebagian lainnya terbuang ke sungai yang akhirnya ke laut. Hanya sedikit saja yang dapat terserap untuk mengisi air tanah. Dengan adanya perbedaan kondisi topografis dan tanah maka ketersediaan air tidak merata di seluruh Bali, terutama terjadi kekurangan air di daerah Bali Utara (dari kota Singaraja sampai daerah Seraya di Karangasem) yang memiliki daerah tangkapan air hujan sangat sempit dengan kemiringan lahan tinggi. 
Studi “Ketersediaan dan Kebutuhan Air di Daerah Bali” juga memperkirakan telah terjadi defisit air di Kabupaten Badung dan Kodya Denpasar bila kebutuhan air (selain air untuk irigasi persawahan) dipenuhi dari ketersediaan air dari mata air dan dari 10% potensi air tanah yang ada di daerah setempat. Tahun 1997 saja Badung/Kodya Denpasar telah dinyatakan defisit air 480,36 juta m3. Satu-satunya cara yang akrab lingkungan untuk mengurangi defisit air adalah usaha pengolahan air permukaan (seperti air danau untuk daerah pegunungan, dan air sungai untuk daerah hilir) sebagai air baku PDAM. 
Pemanfaatan air sungai sebagai air baku PDAM sudah dilakukan di Tukad Ayung. Menurut laporan “Comprehensive  Tourism Development Plan for Bali”, tahun 1993 sekitar 300 liter per detik debit air dari Tukad Ayung diolah PDAM untuk menghasilkan tambahan suplai air 9,46 juta m3 per tahun. Cara lain yang saat ini masih tidak jelas kelanjutannya adalah usaha memanfaatkan sisa air Tukad Badung melalui estuari dam. Ada juga rencana Pemda Klungkung menampung air Tukad Unda menjadi air baku PDAM yang akan dijual kepada Pemda Badung dan Kodya Denpasar. Potensi sisa air Tukad Unda ini memang sangat menjanjikan membantu suplai air bersih di Badung dan Denpasar.
Usaha pengolahan air danau maupun air sungai sebagai air baku tidaklah mudah dan murah. Hal ini sangat tergantung pada kualitas air danau dan sungai tersebut.  Kualitas air danau maupun sungai itu sangat tergantung pada budaya masyarakat untuk ikut menjaga kebersihan air danau dan sungai agar bebas dari pencemaran.  Dari beberapa survei dan penelitian yang penulis dan rekan-rekan lakukan di sekitar Danau Beratan, Batur, dan Buyan, ternyata ada korelasi positif antara intensitas kegiatan di sekitar danau dengan tingkat pencemaran pada air danau. Analisa kualitas air Danau Beratan dan Batur menunjukkan hasil positif untuk kandungan minyak/lemak dan bakteri coliform. Minyak/lemak diperkirakan berasal dari kegiatan angkutan air (boat), dan dari limbah dapur hotel/restoran yang ada di sekitar danau. 
Pengamatan ke lokasi hotel/restoran mendukung dugaan ini karena semua hotel/restoran yang disurvei (baik yang besar maupun yang kecil) hanya menampung limbahnya dalam tempat seperti septic tank tanpa berusaha melakukan proses pengolahan limbah selanjutnya.  Ditemukan juga saluran pipa tersembunyi di bawah tanah dari tempat menampung limbah menuju danau bahkan ada yang dilengkapi dengan kran buka/tutupnya.  Bisa diduga, ke mana limbah hotel/restoran tersebut dialirkan.  Bakteri coliform mengindikasikan bahwa masih ada masyarakat dan hewan yang membuang kotorannya di danau. Analisa kua-litas air Danau Buyan menunjukkan adanya cemaran yang berat dari unsur hara seperti N, P, dan K yang berasal dari pupuk yang digunakan petani sayur-mayur yang bercocok tanam di pinggir danau. Cemaran unsur hara ini menyebabkan tumbuhnya tanaman enceng gondok secara sporadis di sebagian besar permukaan danau. Juga ditemukan residu beberapa jenis pestisida di dalam air Danau Buyan yang diduga berasal dari pestisida yang digunakan untuk menyemprot hama tanaman sayur-mayur.
Pengolahan air sungai menjadi air baku jauh lebih sulit daripada menggunakan air danau karena sumber pencemarnya terdiri dari bermacam-macam kegiatan yang ada di sepanjang su-ngai tersebut. Di samping kenakalan para pengusaha/industri yang tidak melakukan pengolahan limbah cairnya, sampai saat ini masih sering masyarakat membuang sampah dan limbah rumah-tangganya ke sungai. Menurut Laporan “Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Bali” tahun 1998, dari enam sungai yang dianalisa kualitas airnya ternyata Tukad Badung dan Tukad Mati yang sudah tercemar melebihi ambang batas untuk parameter pencemaran seperti BOD, COD, SS, TDS, minyak dan bakteri coliform. Tukad Buleleng dan Perancak hanya sedikit tercemar, sedangkan Tukad Ayung dan Unda relatif belum tercemar. 
Agar air danau dan sungai tetap asri, bersih dan tidak tercemar, tentunya kita bersama-sama perlu menjaga wilayah perairan kita dan tidak mencemarinya dengan limbah rumah tangga maupun limbah industri.  Kesadaran ini sangat perlu demi kelanjutan sumberdaya air dan juga membantu pemerintah (PDAM) mengefisienkan biaya pengolahan air baku sehingga dapat mensuplai air bersih kepada konsumen dalam jumlah dan kualitas yang cukup,  harga murah. Pendek kata, Bali belum mengalami kelangkaan air bersih beberapa tahun ke depan terutama kalau kita bisa menjaga sumber air, tanpa banyak mencemarinya dan ada komitmen pemerintah (PDAM) secara sungguh-sungguh untuk memanfaatkan air permukaan (terutama sisa air sungai sebelum dibuang ke laut) sebagai air baku untuk suplai air bersih..

Agung Suryawan Wiranatha


Penulis, dosen PS Teknologi Pertanian, Unud, sedang mengikuti program S3 di Department of Geographical Sciences and Planning, The University of Queensland, Australia.

No comments:

Post a Comment