Tenganan, Dijaga Awig-awig Abad ke-11

Tenganan, dusun yang dikepung bukit, menjadi contoh nyata, bagai-mana tradisi sanggup menjaga keseimbangan alam. Di Tenganan kita bisa belajar ketakwaan, disiplin, dan supremasi hukum.
Stockholm, Swedia, 5 Juni 1972: Perserikatan Bangsa-bangsa menyelenggarakan konferensi lingkungan hidup pertama. Pakar-pakar lingkungan dunia berkumpul, membahas bumi yang sudah renta dan harus dijaga kelestariannya. Itulah tonggak awal kesepakatan dunia terhadap pentingnya merawat satu bumi. Tanggal 5 Juni kemudian diperingati sebagai Hari Bumi.
Rejang Tenganan. Awig-awig abad ke-11, foto: prayatna sudibyaDi Desa Tenganan Pegringsingan, abad ke-11, tetua-tetua desa, orang-orang lugu yang buta huruf, berkumpul membahas  upaya menjaga kelestarian dusun mereka. Keputusan sangkep itu kemudian melahirkan  awig-awig (aturan) adat untuk menjaga dan merawat hutan di bukit-bukit timur, utara, dan barat desa. Peraturan adat itu tertuang dalam “buku sakti”setebal 58 halaman, ditulis dalam bahasa Bali.
Alangkah jauh rentang jarak itu, abad ke-11 ke abad 20: lebih 900 tahun. Alangkah peka leluhur orang-orang Tenganan Pegringsingan memandang jauh ke depan, menetapkan aturan-aturan merawat alam, agar desa mereka tetap sentausa turun temurun diwariskan buat anak cucu. 

Tahun 1841 Tenganan terbakar habis. Hutan jadi arang. Tempat-tempat suci, rumah, balai pertemuan, rata tanah, jadi abu. “Buku sakti” itu pun hangus. Oktober 1842 awig-awig itu ditulis kembali berdasarkan ingatan oleh orang Tenganan. Sudah pasti isinya tak sama persis dengan aslinya. Musibah kebakaran itu ditulis pada pasal 24 awig-awig yang baru. Disebutkan, ketika kebakaran hebat meludeskan Tenganan, Pura Puseh, Bale Agung, sampai surat awig-awig desa, surat canggah (riwayat desa) terbakar habis. Orang Tenganan menduga, bisa menda-patkan satu salinan awig-awig mereka di Puri Klungkung. 

Tapi Raja Klungkung, Dewa Agung Putra, yang memerintah saat itu, mengatakan, awig-awig itu telah diambil oleh orang Tenganan sendiri. Raja Klungkung dan Karangasem kemudian mengijinkan orang Tenganan menulis kembali awig-awig itu berdasarkan ingatan, dibantu dua orang Tenganan: Made Gijanjar dan Gde Gurit.
Upacara Geret Pandan. foto: widnyana sudibyaTahun 1989 Tenganan Pegringsingan menerima penghargaan Kalpataru. Sejak itu ia menjadi desa paling tersohor di Bali. Ia diperbincangkan, disanjung, dihormati. Banyak ahli dan pemerhati lingkungan berkunjung ke sini, sendiri-sendiri atau berkelompok, mengamati keseimbangan ekologi, mengkaji keserasian manusia dengan alam dan Sang Pencipta.
Ketaatan warga Tenganan Pegringsingan menjaga kelestarian hutan di tiga bukit itu bisa segera dirasakan oleh siapa saja yang berkunjung ke sana. Kentara sekali bukit-bukit mereka hijau rimbun, sementara bukit di sebelah menyebelahnya, masuk wilayah desa tetangga, gersang meranggas tandus.
Awig-awig di Tenganan super ketat. Warga dilarang sembarangan menebang pohon. Mencari kayu bakar pun diatur. Ranting-ranting kering yang belum ambruk ke bumi tak boleh diambil. Setiap pohon yang ditebang harus melalui rapat desa. Pengantin baru diperkenankan menebang pohon untuk membangun rumah,  harus seijin desa adat. Yang dipilih pasti pohon yang umurnya lebih 40 tahun.
Di desa ini semua tanaman punya fungsi sosial. Setiap warga bisa memetik buah dari pohon milik warga lain sepanjang untuk kepentingan sendiri. Si pemilik harus me-relakannya dengan tulus. “Setelah buah-buahan mencukupi untuk warga, kelebihannya baru bisa dijual,” ujar Nengah Madri, salah seorang pemimpin adat di Tenganan Pegringsingan.
Ada empat macam tanaman di desa ini yang buahnya tak boleh dipetik: durian, pangi, kemiri, dan teep. Buah-buah ini hanya bissa dinikmati kalau sudah jatuh ke tanah. Siapa pun warga Tenganan bebas memu-ngut durian runtuh di tegalan milik siapa pun. Maka malam-malam di musim durian (Desember-Februari), banyak orang Te-nganan mendirikan pondok menunggu durian runtuh. Sebatang pohon durian bisa ditunggui sampai empat orang dalam empat pondok.
Ciri hidup masyarakat Tenganan adalah sifat kolektif, ditandai orientasi sangat lekat pada kelompok. Orientasi mereka pada adat sangat kuat. Awig-awig dengan tegas dan jelas, disertai sangsi-sangsi, mengatur tanaman yang tidak bisa tanaman, pohon yang tak boleh ditebang, buah yang tak boleh dipetik langsung dari pohonnya, cara memungut hasi bumi, atau hukuman bagi para pencuri dan penebang pohon larangan.
Hidup yang mengutamakan  kebersamaan ditandai oleh pemilikan kolektif, menyebabkan orang Tenganan tidak terlalu gigih mengurus tegalan mereka. Hampir semua tegal mereka yang luasnya 972 ha digarap orang luar Tenganan. Tegal ini terawat baik di lereng-lereng bukit. Tanahnya produktif, banyak ditumbuhi kelapa, nenas, pisang, nangka. Orang-orang Te-nganan tinggal menerima bagi hasil dri pra penggarap. Sawah-sawahg mereka yang luasa 235 ha pun disakapkan. Semuanya, sistem bagi hasil, mengatur, menjaga, dan merawat tanaman, diatur dalam awig-awig.
Anak-anak Tenganan. Menunggu durian runtuh. foto: prayatna sudibyaAda saat-saat tertentu warga Tenganan lebih bebas memetik hasil bumi. Ada yang disebut salaran, yakni ketika kegiatan upa-cara adat di desa, saat warga Tenganan diperkenankan memetik buah-buahan, mencabut umbi-umbian, memotong bambu, di tegal-tegal sewilayah Tenganan tanpa pemberitahuan terlebih dulu kepada pemilik atau penyakap. Tetapi mereka tetap dilarang memotong pisang yang berbuah pertama kali, dilarang memetik dua tandan kelapa dalam sepohon. Mereka juga dilarang menebang dua batang bambu serumpun, dan hanya diperbolehkan memetik segenggam daun sirih.
Pelanggar aturan ini dikenai sangsi, dapat berupa dosen, yaitu peringatan, denda, dan melakukan tugas yang diperintahkan desa seperti mencari ijuk atau mengumpulkan batu kali untuk desa. Si pelanggar harus minta maaf di Bale Agung saat diadakan rapat ngelebang saya (rapat rutin setiap malam). Ada hukuman yang disebut sikang, si pelanggar dilarang masuk ke rumah-rumah tetangga, ke pura, tempat suci, dan dilarang naik ke Bale Agung. Hukuman yang disebut penging berupa larangan memasuki rumah tetangga, dilarang berjalan di depan pura.
Ada sangsi bagi pe-langgar lingkungan yang disebut sapa sumaba, si pelanggar tak boleh disapa. Jika si pelanggar bertanya atau menyapa seseorang, hanya boleh dijawab sekali saja. Seseorang yang menjawab lebih dari sekali akan dikenai dosen. Kalau pelanggaran dinilai berat, si pelanggar dikeluarkan dari keanggotaan desa adat, dan diusir dari wilayah desa. Sangsi terberat ini disebut kesah.
Begitu berat sangsi awig-awig mereka, membuat orang Tenganan menjadi saat taat dan menjadikan awig-awig sebagai kiblat hidup. Karena itu, orang-orang Tenganan pada hakikatnya adalah pengatur yang baik. “Buku suci” awig-awig tentang hutan dan lingkungan desa, mengatur rumah-rumah yang bemntuk, struktur, dan luas pekarang-annya seragam, adalah refleksi jiwa kepe-ngaturan itu. Kendati diciptakan di abad ke-11, mereka tetap disiplin ketat mentaati awig-awig karena yakin hanya dengan keteraturan semuanya terselamatkan.
Hutan-hutan ituterselamatkan oleh awig-awig itu, dan menjadi berkah bagi kawasan pantai Candidasa, 3 km selatan Tenganan. Pantai ini secara teratur sepanjang tahun mendapatkan air bersih berasal dari rimbun hutan Tenganan. Mereka tak ketat mengatur lingkungan alam, tapi juga kaum pendatang. Pasal 37 awig-awig melarang warganya menjual, mengkontrakkan atau menggadaikan tanah pada orang luar. Yang berani melanggar pasal ini, kalau ketahuan, akan didenda setengah dari harga tanahnya, dan tanah disita jadi milik desa. 
Memang, tak ada pendatang menetap di Tenganan. Turis-turis tak bermalam di sini, karena Tenganan tak menyediakan hotel. Mereka, kalau punya acara melihat-lihat desa ini lebih dari sehari, lazimnya bemalam di Candidasa. Tenganan pun menjadi tempat yang tenang, bebas dari hiruk pikuk, bebas dari benturan budaya. Kebanyakan turis asing menghabiskan waktu dua jam untuk melihat-lihat keliling.
Kendati tak mentap, wisatawan asing itu telah membawa perubahan besar pada Tenganan.Memang, dalam industri turisme Tenganan tak sepopuler Ubud, Kuta, Sanur, atau Nusa Dua. Namun wisatawan yang mengikuti tur ke Bali Timur pasti diajak singgah ke dusun yang dikepung bukit itu. Biasanya pemandu akan berceloteh, inilah desa Bali Aga yang masih asli, yang war-ganya bertahan kuat pada aturan-aturan adat sejak berpuluh abat silam.
Dari Candidasa ke Tenganan acap kali dilakukan wisatawan asing dengan berjalan kaki. Sehari lebih dua ratus turis mengunjungi desa ini. Wajar orang-orang bimbang: sanggupkah dTenganan bertahan dari bujuk rayu turisme yang menjanjikan kenikmatan materi melimpah?
Nengah Manik. foto: prayatna sudibyaAwig-awig melarang warga Tenganan mendirikan bangunan lain di dalam desa, yang tak ada kaitannya dengan bangunan adat. Karena itu di sini tak ada toko kesenian. Mereka pun menyiasati awig-awig itu dengan menjadikan rumah tinggal sebagai artshop untuk menjual kain gringsing, tenun ikat khas buatan Tenganan. Lambat laun mereka  juga menjual tenun ikat Sumba atau Flores, dan bermacam cinderamata.
Keberadaan toko kesenian sangat menggelisahkan Nyoman Sadra, mantan kepala desa Tenganan. “Turis yang datyang kemari akan kecewa, karena mereka tak lagi melihat Tenganan yang asli,” alasannya.
Tiap keluargaTenganan memperoleh kapling rumah sama, seluas 2,432 are. Tanah ini seluruhnya milik desa. Bentuk dan struktur rumah mereka mereka seragam. Semua berjumlah 131 kapling. Setiap pengantin baru yang menikahi sesama orang Tenganan Pegringsingan langsung memperoleh satu  kapling. Hak itu lenyap kalau mereka kawin dengan orang luar.
Aturan-aturan itu dilaksanakan turun temurun sejak abad ke-11. Awig-awig yang disusun 9 abad silam itu  menjadikan Te-nganan Pegringsingan  ajeg seperti sekarang. Ini bukan keajaiban, tapi sesuatu yang alami dan selayaknya diikuti.


Aryantha Soethama

No comments:

Post a Comment