Hindu tidak Mengenal Pembakuan Ritual

Tanya Jawab Prihal Upakara: 
I Gusti Ketut Widana 
widana, foto: agustanaya 

Penjor Galungan tak Sama
Om Swastyastu,
penjor, foto: prayatna sudibyaSewaktu Galungan lalu saya menemukan di lapangan, ada umat Hindu di Bali yang memenjor, ada pula yang tidak memenjor walaupun mereka sama-sama tinggal dalam satu wilayah desa adat. Juga ada dalam satu kompleks perumahan. Kenapa bisa demikian?
Apakah ada sanksinya bagi umat yang tidak memenjor? Atau, apakah setiap Galungan diwajibkan memenjor
Bagaimana penjor yang lengkap dan benar menurut sastra-agama? Unsur-unsur apa saja yang minimal harus ada dalam sebuah penjor? Bagaimana kalau unsur-unsur itu tidak ada, apa yang bisa digunakan untuk mengganti? Kain, misalnya, ada yang menggunakan kain ada juga yang tidak di pucak penjor. Warnanya pun tampaknya bebas, ada kain warna kuning, ada juga kain warna putih. Apakah semuanya boleh-boleh saja, atau ada standarnya?
Om Santi, Santi, Santi, Om. 
Putu Gede Kusumanegara
Nusa Dua, Badung.



Jawab:
Sebagaimana namanya, penjor Galungan adalah penjor yang dibuat dan kemudian ditancapkan sehari menjelang Galungan. Penjor adalah simbol gunung. Gunung adalah pembawa kemakmuran. Tanda kemakmuran adalah terpenuhi atau tersedianya segala kebutuhan manusia baik dari unsur daun, buah, umbi, maupun air, dll. Karena itu, rerainanGalungan yang merupakan otonan gumi mengisyaratkan kepada umat untuk (sebaiknya) mendirikan penjor saat Galungan sebagai wujud ucapan suksmaning manah (puji syukur) atau ungkapan angayu bagia kehadapan Hyang Widhi yang telah memberikanwaranugraha (karunia) kepada umat sekalian. Maka ekspresi ungkapan itu tergambar melalui penjor dengan segala materi, isi, dan kelengkapannya, yaitu: janur/ambu, daun andong, cemara, paku pidpid, plawa, kelapa, padi, jagung, ketela, ubi, pisang yang semuanya tergolong sebagai palabungkah (umbi-umbian), palagantung (buah-buahan), dan palawija (biji-bijian). Tidak lupa, karena merupakan bagian dari ritual Galungan, maka penjor pun dilengkapi dengan sanggah plus upakara bebantenannya.
Soal ada umat yang mendirikan dan ada pula yang sama sekali tidak menancapkan penjor, itu sepatutnya tidak perlu membuat bingung. Sebab ajaran agama Hindu lebih berpijak dan menekankan pada aspek Kesadaran bukan kewajiban, apalagi keharusan mutlak-mutlakan. Kalau kita berpikir, penjor itu wajib atau harus, bagaimana dengan umat Hindu yang ada di Tengger, Kaharingan, Batak, Tanah Toraja, Malaysia, Amerika, dan lain-lain, bahkan di India sendiri? Belum lagi upacara ritual lainnya yang jumlahnya ‘nyaris tak terhitung’yang dilaksanakan oleh umat Hindu, terutama di Bali. Jadi, menakar kualitas “kehinduan” seorang umat tidak bisa diukur dari sisi yang “operasional” tetapi seyogyanya dari sudut yang “esensial”. Esensi keberagaman umat Hindu adalah sradha dan bhakti. Soal jalan yang ditempuh, cara yang digunakan, bentuk, dan jenis yang dipakai itu bukanlah bagian esensi Hindu. Makanya, kalau boleh kita berbangga (asal jangan menepuk dada) agama Hindu dengan ajarannya yang fleksibel mampu menampung keseluruhan umat dengan sifat, watak, tipe, kemampuan, intelektualitas yang berbeda-beda. 
Lagipula agama Hindu tidak mengenal standarisasi atau pembakuan untuk urusan ritual. Di Bali sendiri bentuk-bntuk dan jenis ritual antardaerah tidak selalu sama. Bahkan untuk upacara ngaben yang sudah lumrah pun tidak semua warga Hindu melaksanakannya, seperti di Trunyan, Tenganan, misalnya. Boleh jadi mereka tidak ngaben (dengan apisekala) tetapi pasti esensi ngaben dengan api niskala (puja–mantra) sudah tentu dijalankan. Mungkin karena kita lebih melihat unsur yang tampak (fisik) maka asal tidak ada unsur api dalam pengabenan dianggap bukan ngaben. Begitupun penjor, tidak semua umat Hindu termasuk di Bali yang menancapkan penjor Galungan.  Tetapi boleh jadi esensi mamenjor, yaitu berupa kemenangan dharma atas adharma sudah menjadi bagian kehidupannya.
Singkat kata, penjor dengan segala perangkat kelengkapannya hanyalah simbol (perlambang), bukan esensi. Maka jika pendirian penjor Galungan tidak merata dan berbeda penampilan fisiknya, itu bukanlah soal. Yang menjadi masalah justru kalau umat Hindu (di Bali/wong Bali) tidak ikut ngagalung. 

Warna Segehan
Ini mungkin hal yang sepele, namun bagi saya justru juga menarik dan penting ditanyakan. Sehari-hari saya biasanya suka diguyonin oleh suami karena kebiasaan kami di Denpasar suka menghaturkan segehan yang warna-warni. Paling tidak putih kuning. Lantas disegehan tersebut diisi bunga. Nah, ini sering jadi perdebatan saya dengan suami. Menurut kebiasaan di desa suami saya di Klungkung, segehan umumnya hanya satu warna, yakni putih. Di mana pun kalau masegeh ya warnanya putih. Satu tuunan segehan jumlahnya empat sampai lima, namun di Denpasar saya biasanya hanya menghaturkan segehan duatakir
Hal lain lagi, kalau mertua di Klungkung masegeh biasanya sekaligus menghaturkancanangsari di atas segehan, namun kalau kami di Denpasar biasanya tanpa menggunakan canangsari di atas segehan. Di Klungkung, mertua bahkan hanya menggunakan air biasa/tirtha, tanpa tabuh dengan arak berem  — satu hal yang menjadi keharusan di Denpasar. 
Mana yang sebaiknya saya ikuti? Kalau mau gampangnya sih memang jauh lebih gampang tradisi suami atau mertua saya, namun kalau mengikuti itu rasanya hati saya tak sreg karena sejak kecil sudah dibiasakan mengikuti tradisi di Denpasar. Saya tak ingin konflik dengan suami dan juga dengan mertua hanya gara-gara warna segehan. Juga, mana sebenarnya yang benar, atau malah sama-sama boleh-boleh saja? Mohon jawabannya yang lengkap. 
Terima kasih. 
Luh Inten Susilawati
Sidakarya, Denpasar. 
Jawab:
Sdri. Luh Inten, 
Seperti halnya penjor Galungan, segehan adalah juga simbol. Segehan merupakan salah satu bentuk upakara yang tergolong bhuta yadnya. Bahannya: taledan (tangkih) dari daun pisang lalu diisi dua kepal nasi putih, lauknya bawang, jahe, dan garam. Waktu menghaturkannya biasanya dilengkapi canang disertai dengan tetabuhan arak berem. Makna simbolis masegeh adalah usaha niskala umat Hindu memperoleh keharmonisan di lingkungan tempat dia berada. Soal ada perbedaan tentunya anutan dresta (tradisi) yang menyebabkannya. Baik mengenai jumlah maupun warna tergantung pada tempat segehan itu dihaturkan. Misalnya, karena di sumur biasanya segehan selem (hitam, mengikuti warna Wisnu sebagai Dewa Air), di dapur (kompor) segehan merah (Brahma), di Tugu Kala Raksa segehan manca warna (lima warna), dan seterusnya. Jadi, rupanya pewarnaan nasi kepel disesuaikan dengan tempat dan objek yang dihaturkan. Misalnya, karena di sumur itu adalah air dengan Wisnu sebagai dewanya yang berwarna hitam, maka segehannya memakai nasi hitam. Sedangkan di dapur (kompor) karena linggih api (Brahma) yang berwarna merah maka segehannya memakai nasi merah, begitu seterusnya. Sedangkan di tempat lainnya dengan segehan putih kuning merupakan simbolis harmonisasi antara kesucian (putih) dan keagungan/kemuliaan (kuning).
Begitupun dengan tetabuhan (arak berem) itu hanyalah kelengkapan sebuah persembahan untuk para bhuta yang dalam penghayatan umat Hindu awam digambarkan sebagai sesosok makhluk sejenis raksasa yang gemar mengkonsumsi makanan serba pedas, panas, asin, dsb. Dengan tetabuhan itu diharapkan para bhuta tidak ngrebeda. Jadi soal perbedaan warna dan kelengkapan segehan, sekali lagi, anutan dresta yang membuatnya, dan itu bukan suatu kesalahan. Tidak ada yang salah dalam ritual Hindu. Yang patut disalahkan adalah tidak atau kurang pahamnya umat Hindu terhadap esensi ajaran agama Hindu. Jika kita sudah berada pada tingkatan pemahaman dan penghayatan yang ideal terhadap Weda, maka apa pun yang berbeda sepanjang menyangkut unsur materi/fisik/kulit bukanlah suatu kesalahan. Semuanya bisa benar/dibenarkan menurut anutan desa kala patra-nya. 

Unsur-unsur Daksina
Saya ingin bertanya singkat saja. Apa sebenarnya makna daksina itu? Unsur-unsur dasar apa saja yang harus ada dalam daksina yang lengkap dan benar? Sebab, menurut pengamatan saya, sering ada unsur dasar daksina yang berbeda, apalagi kalau membeli di tengah pasar suka tidak lengkap. 
Benarkah unsur-unsur dasar daksina itu sebenarnya bibit-bibit yang nantinya bisa tumbuh. Gabah, misalnya, bukan beras. Mohon berikan penjelasan yang lengkap. Atas perhatiannya, terima kasih. 
Made Suastini
Panjer, Denpasar.
Jawab:
dagang daksina, foto: agustanayaDaksina merupakan salah satu jenis upakara yang bermakna sebagai simbol Hyang Guru atau Hyang Tunggal yang tidak lain adalah Dewa Siwa. Daksina juga berfungsi sebagai tapakan/palinggih Ida Batara sebagai persembahan yang biasanya menyertai suatu upacara yadnya dan juga sebagai tanda terima kasih yang dihaturkan kepada pamuput karya (pendeta pemimpin upacara). Selain bermaterikan pokok buah kelapa, wadah/wakul daksina juga berisi telur itik (mentah), pelawa peselan (paduan lima jenis dedaunan lima warna), bijaratus (paduan lima jenis biji-bijian lima warna), dan gantusan (paduan hasil daratan/pegunungan dan lautan). Selain itu di dasar wakul daksina itu juga dilengkapi tampak (tampak dara, berbentuk tanda tambah), dan beras. Sedang di bagian atas disertai uang (sesari), canang sari/canang burat wangi/canang payasan
Prihal jenis daksina, menurut jumlah/isi kelapanya ada bermacam-macam, antara lain:daksina alit (1 kelapa), daksina pekala-kalaan (2 kelapa), daksina krepa (3 kelapa), daksina gede (4 kelapa), dan daksina galahan/pemogpog (10 kelapa). Keseluruhan isi daksina memang berasal dari tetumbuhan dan hewan yang dapat ditumbuhkembangbiakkan lagi, seperti kelapa atau telurnya. Lebih daripada itu, daksina ternyata menempati posisi tinggi dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai patnining yadnya, atau ‘istri yadnya’ atau sebagai sakti/pradana dalam arti wujud fisik (lahiriah) dari suatu yadnya.

No comments:

Post a Comment