Sejarah Basah Kuyup

Mabakti ke Pura Sakenen, di Pulau Serangan, naik jukung  di hari raya Kuningan, dirasakan umat sebagai belitan antara perjalanan spiritual dan piknik: selalu membuat terkenang-kenang. Naik jukung berdesak-desak di dermaga Suwung, memang perasaan sempat galau, tapi se-gera tenang begitu duduk di papan sampan yang setengah basah. Bahkan semakin damai dan riang ketika jukung perlahan menelusuri sungai kecil, meliuk-liuk di se-panjang hutan bakau Suwung atau Prapat Benoa. Kicau burung, gemericik tongkat dayung membelah air, terasa alami dan membahagiakan. 



Apalagi setelah berada di Selat Sera-ngan, pemedek yang naik jukung dari Mertasari (Sanur), Tanjung Benoa, Tuban, datang berbarengan, bergabung dengan jukung dari Suwung, menghadirkan kemeriahan yang khas piodalan. Ada saja gumam, tegur sapa, dan lambaian tangan antarpenumpang, setiap jukung-jukung itu berselisih lalu. Warna-warni kebaya dan destar yang dipakai pemedek menambah kedamaian hati. 

Tapi itu dulu. Jukung-jukung sewaan itu tinggal kenangan, setelah jalan darat dibangun paksa menghubungkan Bali dengan Pulau Serangan. Orang datang berbondong naik mobil, menerbangkan debu kapur, memerihkan mata, menyesakkan dada. 

Tak semua memilih naik mobil. Masih ada beberapa yang tetap naik perahu, berangkat dari dermaga Suwung, Mertasari (Sanur) atau Benoa. Wayan Berata dari Sanglah salah seorang di antaranya. Ia mengajak dua putrinya, istri, dan iparnya. Hanya Wayan seorang lanang dalam rombongan alit itu. “Pedek tangkil ke Sakenan pasti sulit dilupakan,” promosinya semalam pada anak-anaknya. Sebenarnya ia hendak bernostalgia. Di atas jukung, enam belas tahun silam, ia berkenalan dengan wanita yang kini jadi istrinya,  yang kebetulan membawa mereka ke Sakenan. 

Air lagi surut waktu itu. Setelah tawar menawar, Wayan berhasil menyewa jukung dengan seorang bendega tua. Baru sepuluih kali dayung diayunkan, perahu itu kandas. Bendega turun, mendorong perahu, mencari celah-celah air yang dalam. Tapi sampan ogah beranjak maju. Bendega tua itu terengah-engah, peluh mengucur di wajahnya. “Wah, payah kalau begini,”gumam Wayan. Mereka mulai jadi perhatian pemedek lain. Banyak yang tersenyum-senyum menyaksikan perahu yang sekarat mengangkut lima penumpang itu. 

“Turun saja Pak, bantu.Nanti kan dapat diskon,” teriak seorang pemedek disambut tawa yang lain. 
Dari pada keluarganya jadi tontonan, Wa-yan benar-benar turun ke air. Kain diang-katnya, disimpulkannya di pinggang. Dua kali hentakan dorongan, saking sema-ngatnya, destarnya jatuh ke air. Cepat diambilnya, tapi destar itu terlanjur basah. Wayan segera menge-nakannya kembali di kepala. Air merembes ke wajahnya. Para pemedek tersenyum-senyum, kian banyak memperhatikan perjuangan Wayan  mendorong perahu. 

Tiba-tiba sreeetttt.... sampan melaju, Wayan terseret, kakinya terjerembab masuk ke ceruk di dasar tepi pantai yang berkarang. Kainnya basah kuyup sebatas pinggang, sebelum ia bergegas meloncat ke perahu yang mulai melaju. Orang-orang tertawa menyaksikan. “Benar juga, saya dapat diskon,” kata Wayan mengusap wajah dan perutnya yang basah. Anaknya termangu. Istrinya membersihkan wajah Wayan dengan tisu. 

“Sing kenken. Ini sejarah nak, sejarah,” ujarnya kepada dua putrinya yang berangkat dewasa. Mereka berdua kasihan melihat sang ayah, tapi tak bisa berbuat apa-apa.  


Ananta Wijaya

No comments:

Post a Comment