Subak Magpag Toya, Kota Makpak Yeh

Di hulu orang gunung khusuk magpag toya, di hilir, perkantoran, pebisnis pariwisata, rakus makpak yeh. Air Bali di ambang krisis. PDAM bisa berubah jadi Perusahaan Daerah Angin Mengalir.

Lapangan Golf, rakus Air. foto: AgustanayaTanggung jawab kelestarian air dan juga kehidupan di Bali kini sepertinya hanya menjadi tanggung jawab para petani subak. Terkesan kuat, hanya pe-tanilah yang berkewajiban melangsungkan upacara-upacara di pura-pura penting berkaitan dengan siklus air itu. Mereka yang bergerak di sektor jasa, di bisnis industri baru? Masing-masing mungkin sudah tahu jawabannya sendiri-sendiri. 
Padahal, aci-aci (rangkaian upacara) yang mesti digelar tidaklah kecil. Juga, tidaklah berbiaya murah. Saat hendak memulai ke-giatan di sawah, petani subak sudah menggelar upacara magpag toya (menyambut kedatangan air) sebagai wujud syukur mereka terhadap anugerah Hyang Widhi dalam wujud air. Lalu, berlanjut ke tahapan ngrawit, mulai menanam padi. Terus berlanjut hingga nunas panglanus, mohon air suci agar tanaman subur dan mulus hingga panen. Setelah panen digelar Ngusaba Nini, puji syukur atas keberhasilan panen. Jadi, “Dari hulu sawah (pangalapan), kawasan sawah (Bedugul), hingga kawasan subak (Masceti), petani Bali mengaturkan puji syukur sebagai wujud rasa bakti mereka,” urai penekun dan penulis masalah adat Bali, Ngurah Oka Supartha. 
Di Pura Ulun Danu Batur pun kegiatan tak kalah padatnya. Sebut yang besar-besar dan rutin, misalnya. Sejak Puranama bulan pertama (Kasa) dalam hitungan penanggalan Bali, lalu Karo, hingga Kadasa pun padat dengan upacara persembahan. Purnama Kasa, misalnya, upacara di Pura Jati, Purnama Karo di Pura Yeh Mampeh. Saat Purnama Katiga dilangsungkan magpag toya, semacam Ngusaba Yeh, mendoakan agar air memberi manfaat bagi kehidupan dan menyuburkan. Purnama Kapat diselenggarakan Puja Wali Kapat, Purnama Kalima dilakukan Nangluk Merana (mencegah hama) de-ngan hewan kurban kebo yusprana, kerbau terpilih.  



Belum selesai. Purnama Keenem Ida Batari Sakti Dewi Danuh sebagai Ratu Ayu Pangringgitan melakukan bimbingan dan latihan untuk keterampilan majejahitan. “Saat ini sangat baik bagi para wanita untuk ngayah, lalu menyatakan diri mulai belajar majejahitan Bali. Biasanya cepat mengerti dan bisa,” tutur tokoh adat Batur, Jero Gede Makalihan. Tak heran bila saat ini para wanita Bali yang ingin belajar majejahitan (merangkai janur menjadi banten) banyak tangkil (hadir) ke Pura Batur. 
Rafting di Tukad Telagawaja. Bisnis wisata yang menerima berkah Dewi Danu. foto: AgustanayaPada Purnama Kapitu, dilangsungkan Pamendak Batara Lingsir di Pura Jaba Kuta. Sebulan kemudian, Purnama Kaulu, ada Ngusaba Dalem. Purnama Kasanga ada aci-aci Ida Batari Sakti Dewi Danuh. Akhirnya, pada Purnama Kadasa dilangsungkanlah Ngusaba Kadasa. “Di sini seluruh krama (anggota) subak di seluruh Bali terlibat,” Jero Gede menambahkan. Diakhiri limabelas hari kemudian, bertepatan dengan Tilem Kadasa, dihaturkan Bakti Patetani. 
Itu baru dalam siklus rutin setahun. Saban lima tahun sekali, dilakukan pakelem (kurban) di Danau Batur. Yang menarik, menurut Raja Purana Pura Batur, pakelem ini wajib dilakukan sekali oleh sang angawarat (pemerintah) di Bali. Lima tahun kemudiannya dilakukan oleh anggota su-bak-subak. Jadi, ada pembagian beban antara pemerintah dengan anggota subak (baca: rakyat).  Setiap 40 tahun sekali juga wajib dilangsungkan upacara Pakelem Ring Danu dengan hewan kurban berupa sembilan ekor kerbau. Ini termasuk upacara terbesar dalam tatanan alam Danau Batur. Upacara ini terakhir dilakukan Desember 1999 lalu. Sebelumnya, yang sempat tercatat dilakukan sekitar 200 tahun lampau. Lalu, dalam jagat semesta Bali, setiap 100 tahun sekali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama Ring Danu. Ini diselenggarakan bersamaan dengan upacara Candi Narmada Ring Segara, setahun sebelum Tawur Agung Eka Dasa Rudra di Besakih – manakala tahun Saka berakhir dengan dua nol (windhu turas), seperti 1900 Saka. Tujuannya, kata Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Geria Aan, Klungkung, “Untuk menyucikan air sehingga kembali memberikan kesejahteraan dan kemakmuran.” Jadi, airlah yang disucikan terlebih dulu, sebelum Tawur Agung Eka Dasa Rudra itu digelar. 
Yang menarik, kata Jero Gede Batur Makalihan, semua kewajiban itu dipenuhi dengan begitu patuh. Tak ada yang berani melanggar. Subak-subak di Bali, katanya, tak ada yang berani menolak. Sanksi nis-kala rupanya sangat ampuh membikin mereka patuh. “Tiga kali karya saja di Batur mereka tak tangkil, biasanya nantinya akan neduh (minta maaf) dengan sendirinya. Bukti itu sudah sering terjadi,” terang Jero Gede. Umumnya, peringatan secara alam diberikan lewat kegagalan panen berturut-turut. 
Itu sebabnya, Jero Gede Makalihan, sebagai pemimpin adat mengaku tak pernah mencemaskan biaya setiap kali upaca-ra dilakukan di Batur. “Sebesar apa pun, kami tak pernah mengkhawatirkan, karena umat sangat bakti maturan dana punia. Subak-subak sangat patuh,” jelasnya. 
Pernah, semasa penjajahan Jepang, tahun 1942 silam, rakyat Bali tak dibolehkan melangsungkan upacara pakelem di Danau Batur. Segenap aci yang mesti diselenggarakan dilarang oleh kolonial Jepang. Akibatnya, “Air danau surut sampai 8 meter,” kenang Jero Gede Duwuran. Baru setelah tahun 1955 kewajiban itu dilangsungkan, air Danau Batur normal kembali.  Curah hujan yang rada tinggi di Bali sejak awal tahun 2000 ini pun diyakini ada kaitannya secara niskala de-ngan upacara pakelem di Danau Batur dengan kurban sembilan kerbau yang telah dilangsungkan Desember 1999 lalu.
Ironisnya, di balik kepatuhan petani-petani subak itu,  justru sempat muncul ide-ide mengeksploitasi kawasan Danau Batur. Awal dasawarsa 1980-an, Jero Gede mengenang, sempat ada keinginan penguasa mengebor air Danau Batur untuk dijadikan pemasokan air bersih. Sudah ditolak dengan berbagai alasan oleh warga adat Batur, sang penguasa tetap saja nekat. Namun, “Saat hendak Danau Batur dibor, anak penguasa itu jatuh berguling-guling. Selang beberapa hari, anaknya dikabarkan meninggal karena kecelakaan. Aparat negara tadi pun matur guru piduka (mohon maaf) kepada Ida Batara” ujar Jero Gede Duuran. 
Itu belum yang terakhir. Satu dasawarsa kemudian, ada lagi keinginan penguasa menyulap hamparan lahar hitam di kaki Gunung Batur untuk dijadikan lapangan golf. Pertimbangan bisnis sang penguasa, dengan disulap jadi lapangan golf, akan ada pemasukan bagi daerah. Lapangan kerja baru pun terbuka. Penduduk lokal kecipratan sejahtera. Alasan pembenar lain, secara hukum positif tanah, air, udara, menurut UUD 1945, memang menjadi miliki negara. Sayang-nya alasan ini hanya dipotong sampai di sini. Kelanjutannya yang berbunyi, ” … digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat,” dihilangkan. Dengan itu, sang penguasa sebagai aparat negara merasa sah berbuat apa pun terhadap “milik negara” itu. 
Debat sengit pun meletus. Bagi Jero Gede dan warga adat Batur, lahar itu justru areal tetamanan bagi Batari Sakti Dewi Danuh yang berstana di pucak Gunung Batur. Ada kecemasan, kalau tetamanan itu dirusak jadi lapangan golf, Sang Dewi akan murka. Bagi Jero Gede, “Indah dalam kaca mata manusia belum tentu baik menurut Ida Batari.” Tarik menarik kian menguat. Namun akhirnya, lapangan golf itu dibatalkan. Bukan karena tak ada investor yang berminat melalap keindahan kawasan Danau Batur itu. “Kami mengancam akan matur piuningang (melaporkan) kehadapan Ida Batari bila rencana itu dipaksakan, aparat negara itu tak berani, akhirnya batal,” tandas Jero Gede. 
Pasrah. Menyerahkan sepenuhnya putusan puncak secara niskala kehadapan Ida Batara itulah, memang, tipikal penyelesaian akhir kasus-kasus pengoyakan kawasan suci maupun kawasan resapan air di Bali. Betul, sebagaimana dilakukan Jero Gede dan warga Batur, hingga kini rencana padang golf itu tidak pernah terdengar lagi. Toh, upaya menguras air Bali tak kunjung surut. Kawasan bisnis pariwisata, perkantoran, dan perumahan di seputar kota kian rakus mendesak lahan pertanian. Air pun kian banyak dibutuhkan. Lonjoran pipa air lalu digelar sejajar jalan menuju kawasan wisata dan perumahan yang baru dibuka. Kawasan hunian itu kini memang masih merasakan kucuran air, walaupun pada jam-jam mandi amat sering diselingi hembusan angin. Maka, PDAM pun tak jarang diplesetkan menjadi Perusahaan Daerah Angin (bukan air) Mengalir. Ini petunjuk, air Bali sudah diambang krisis.

“Bagaimana tidak krisis? Di dulu (hulu) orang gunung repot magpag toya, di teben (hilir) orang kota berebut makpak yeh.” Begitu seloroh getir yang lazim terdengar. Toya dan yeh itu artinya sama: air. Cuma, dari rasa bahasa, toya lebih halus daripada yeh. Karean itu, istilah makpak yeh (mengunyah air) memang tidak wajar karena lazimnya air diminum, bukan dikunyah. Tapi, barangkali begitulah sindiran terhalus bagi mereka yang rakus air. Begitulah tonjokan terhadap prilaku aneh orang-orang yang bahkan ingin memotong alur subak untuk padang golf di Selasih, Gianyar, yang merupakan daerah resapan air. Atau, membuat padang golf di tepi Danau Batur – yang merupakan bak air terbesar di Bali.
Padahal, kalau saja semua pihak menyisakan kearifan lalu mengambil tanggung jawab menyelamatkan kelangsungan generasi mendatang –bukan saja sebatas kehidupan mereka kini—tentulah hidup tak akan penat dan sumpek.  Dan, karena Bali sudah disadari sebagai satu kesatuan budaya, satu keterpaduan ekosistem, “Seyogyanya pemda-pemda tingkat dua jangan jumbuh berlomba-lomba saling minta otonomi di tingkat dua. Kalau main menang-menangan begitu, Bali akan hancur. Bagaimana kalau Bali selatan tak diberi air dari gunung?” Oka Supartha mengingatkan. Sebaliknya, “Badung dan Kodya Denpasar pun sepatutnya jangan menepuk dada karena PAD-nya besar. Badung dan Kodya tak akan berarti apa-apa kalau tak ada pasokan air dari Danau Batur, Gunung Agung, dan daerah pegunungan lainnya di Bali,” imbuhnya.

Made Widnyana Sudibya, I Ketut Sumarta 


No comments:

Post a Comment