Memelihara Siklus Air, Menjaga Kesucian Jiwa

Air bagi manusia Bali bermakna kehidupan. Bisa juga kesucian. Mengoyak tatanan air, berarti memporakporandakan hidup sendiri. Dengan air jalan roh leluhur bisa dilempangkan, kesucian jiwa dimurnikan.
Jagat menggang-menggung. Air tak lagi bersari. Bumi pun tak memberi hasil. Hyang Siwa tepekur. Lalu, diutus-Nya Batara Brahma, Wisnu, dan Iswara menyelamatkan jagatraya seisinya. 
Suasana religius sawah di Bali, foto: AgustanayaBatara Brahma melesak masuk ke dalam bumi, menjadi Naga Anantabhoga. Dari tubuhnya tumbuhlah pepohonan. Daunnya hijau lebat menyejukkan. Bunganya semerbak, buahnya tak terhitung. Dari pepohonan yang tumbuh dari Anantabhoga inilah manusia hidup, memetik kapas, memperoleh sandang, membuat papan. Kelaparan di bumi sontak berubah jadi kemakmuran. Anantabhoga memang berarti sandang, pangan, dan papan (bhoga) yang tiada habis-habisnya (ananta). 



Lain lagi Batara Wisnu. Dia nunclep ke dalam air, menjadi Naga Basuki. Tak terbayang besar dan panjangnya. Layaknya aliran air, kepala Naga Basuki ada di lautan, badannya di sungai, dan ekornya bertengger di puncak gunung. Dari ekor-nya yang di gunung inilah Batara Wisnu menghidupi dunia seisinya. Dengan ekor-nya, Wisnu mengempang air yang mengucur dari langit sehingga menyusup ke dalam tanah. Mengalir ke tempat rendah, muncul berupa mata air. Dari sini mengalir ke sungai, menggenangi sawah, membasahi ladang. Gunung yang semula kerontang pun berubah jadi gembur. Dengan air itu Wisnu menghidupi alamraya hingga sejahtera. Basuki memang berarti sejahtera, bahagia.
Lain lagi Batara Iswara. Ia menyusup di udara. Di sini Iswara menjadi Naga Taksaka. Dilukiskan, Taksaka bersayap. Sayapnya terus mengibas-ngibas sehingga tercipta desiran angin dengan udara yang menghidupkan. Dengan adanya Taksaka inilah isi alam bernapas, menghirup udara tak habis-habisnya. Taksaka memang bisa diartikan atmosfer. 
Kisah penyelamatan dunia oleh ketiga dewa yang terungkap dalam lontar Sri Purwa-tattwa itu, dalam pandangan mantan Dirjen Bimas Hindu dan Budha I Gusti Agung Gede Putra, menggambarkan, bagaimana orang Bali memandang air. Dari mitologi tersebut, bisa dilihat bagaimana makna air (apah) bagi kehidupan, juga hubungannya dengan unsur alam lainnya, seperti pretiwi (tanah/zat padat), teja (sinar, api), bayu (udara), dan akasa (eter). 
Alam, dalam pandangan Hindu yang diwarisi di Bali, terdiri dari lima unsur utama. Itulah: pretiwi (tanah/zat padat), apah (air/zat cair), teja (sinar/api/panas), bayu (angin/udara), dan akasa (eter). Kelimanya dinamakan panca mahabhuta. Tubuh manusia pun terdiri dari lima unsur utama itu. Karenanya, manusia Bali berpandangan, alam semestaraya (bhuwana agung) ini dengan tubuh manusia (bhuwana alit) sesungguhnya tunggal. Unsur alam senantiasa ada padanannya dalam tubuh manusia. 
Manakala di alamraya ini ditemukan lima jenis zat cair dengan lima warnanya, di tubuh manusia pun ada lima jenis zat cair dengan warna serupa. Bagi penekun sastra dan adat Bali I Gusti Ngurah Oka Supartha, di alamraya kelima jenis zat cair itu masing-masing: darah berwarna merah, tuak berwarna putih, arak dengan warna kuning, berem berwarna hitam, dan air tawar (toya anyar) berwarna netral. Di tubuh manusia pun ada padanannya sendiri-sendiri: merah diwakili darah merah, putih merujuk darah putih, kuning berupa kelenjar pankreas, hitam berupa empedu, dan zat cair lainnya yang berwarna netral. Satu saja terganggu akan membawa ketakseimbangan. Bagi manusia, gangguan itu bisa saja berwujud sakit. Karenanya, keseimbangan air dalam makna yang luas senantiasa mesti dijaga.
Berkait dengan kewajiban hidup menjaga agar keseimbangan air di alam dengan di tubuh manusia terpelihara itulah, kata Oka Supartha, “Lahir tradisi Bali yang menggunakan lima macam tetabuhan (zat cair) dalam upacara di Bali yang menyim-bolikkan keselamatan dan kesejahteraan antara alam dengan manusia.”  Dengan tetabuhan itu, alam fisik (bhuta) disucikan. Manusia pun diwajibkan menjaga keseimbangan air dalam tubuhnya sehingga tetap bugar. Mengoyak tatanan air di alam, berarti merusak diri sendiri. 
Padahal, air atau zat cair yang merupakan wujud fisik Dewa Wisnu, kata Putra,  berdaya guna untuk memberi kehidupan semua mahluk di jagat ini. Tak ada mahluk hidup yang bisa bertahan hidup tanpa air, apalagi hendak berbiak. Secara ilmiah pun dibuktikan, air dengan daya hydro-dinamikanya berguna untuk menyehatkan, menyembuhkan, memberi kehidupan bagi alam seisinya. 
Nunas Tirtha. Agar jiwa tetap suci. foto: wayan dianthaDalam istilah Bali, air itu memberi amerta, bahkan air adalah amerta itu sendiri. Lewat cerita Bima Ruci, dikisahkan Bima diperintahkan Sang Guru Drona mencari tirtha amerta di tengah samudera. Setelah melewati berbagai rintangan mahaberat, ketekunan, rasa bakti, keberanian, dan kesetian yang penuh-seluruh kepada Sang Guru Drona, Bima akhirnya menemukan amerta itu. Bima yang polos itu pun menemukan amerta kehidupan yang sejati. 
Senada dengan Bima Ruci, cerita pemutaran Gunung Mandara untuk mengaduk lautan susu dalam Adiparwa juga membentangkan simbolik air sebagai amerta. Setelah lautan susu Ksirarnawa diaduk, amerta pun diraih. Di sini Dewa Wisnu pulalah yang dititahkan Hyang Siwa menjaga amerta, air kehidupan, itu agar tak jatuh ke tangan-tangan asura, kekuatan jahat. Di sekeliling Dewa Wisnu berjaga para dewa dengan senjata sakti masing-masing. Siapa yang meruguk air amerta itu, dia akan hidup senantiasa. Tak ada kematian lagi baginya. 
Kisah demikian seakan dipertegas lagi dalam bentuk tradisi melasti atau melis ke segara (lautan). De-ngan melasti, dalam penafsiran Oka Supartha, manusia Bali sesungguhnya diisyaratkan untuk menuju ke sumber air, layaknya meraih kepala Naga Basuki sebagai simbolik ‘kepala’ kehidupan dalam penuturan lontar Sri Purwa-tattwa. Menuju sumber air itu berarti menuju kesucian. “Dengan kesucian itulah manusia memetik amerta, kehidupan,” ungkapnya. Dalam istilah lontar Sundarigama, melasti ke segara itu disuratkan dengan istilah nganyudang malaning bhumi, angamet amerta. Menghayutkan segala kekotoran dan ke-tercemaran bumi, memetik air kehidupan, begitulah kira-kira artinya. Tentu saja bhumi di sini maksudnya bumi ‘ragawi’ maupun batin. 
Kenapa ke segara, ke laut? Karena dalam kenyataannya, laut bisa menyucikan, membersihkan dirinya sendiri. Air laut bisa melebur sendiri segala kekotoran, segala kekeruhan yang menimpanya. Sungai Yang Tsi Kian populer sebagai Sungai Kuning di Tiongkok, misalnya, mengalir ke laut, lantas membikin air laut di hilirnya berwarna kuning. Namun, selang beberapa mil lagi ke tengah lautan, air sungai yang kuning itu pun kembali lebur menjadi bening. Siapa yang membeningkan air sungai di tengah lautan? “Ya, air laut itu sendiri,” tandas Oka Supartha 
Kesucian. Itu kata kunci dalam praktek ajaran Hindu, memang. Air sebagai lambang kesucian, atau bahkan kesucian itu sendiri, memang mendapat permenungan yang mendalam. Saking pentingnya, suratan-suratan sastra-agama Hindu yang kini diwarisi di Bali pun penuh dengan taburan simbolik air dalam kaitan kesucian itu. Mpu Kanwa lewat kakawin Arjuna-wiwaha, misalnya, menyuratkan kejernihbeningan batin manusia yang rajin menjalankan latihan tapa, brata, yoga, dan samadhi layaknya air bening di tempayan. Kebeningan air (banyu) itulah yang menjadikan bulan menampak bayangannya di air. Bila air keruh, maka bayangan bulan itu tak akan menampak. Demikian, “Hanya pada batin yang suci bersih karena rajin latihan yogalah Sang Maha Pencipta akan menampak (ring angambeki yoga kiteng sakala),” tulis Mpu Kanwa lewat tokoh ceritanya, Arjuna, saat memuja kemahakuasaan Hyang Siwa. 
Mpu Tantular pun menggunakan air sebagai simbolik jiwa yang bersih. Lewat kakawin Sutasoma gubahannya, mpu yang banyak mempengaruhi pandangan kenegaraan di Indonesia ini juga menyuratkan, menyucikan batin itu tak ubahnya menjernihkan air (toya) butek, keruh. Caranya? Tak ada lain, hilangkan penyebab yang menjadikan air itu keruh. Maka, kejernihbeningan pun akan muncul. Hanya dengan kesucianlah Dia Yang Mahasuci akan ditemukan.
Air Subak di sawah. foto: AgustanayaBegitupun Mpu Tanakung. Dalam kisah Lubdhaka yang digubah menjadi kakawin Siwaratri-kalpa, air diberikan makna dalam kaitan kesucian. Dikisahkan, setelah seharian berburu, si manusia pemburu, Lubdhaka, tak menemukan binatang buruan seekor pun. Ketika terjebak malam, dia pun memanjat sebuah pohon bilwa besar. Guna menghilangkan rasa kantuk, malam itu, bertepatan dengan sehari sebelum Tilem Kapitu (catur dasing kapitu), dia pun memetik daun pohon bilwa tersebut, helai demi helai. Tanpa disadarinya daun yang dipetiknya itu menimpa lingga Siwa di tengah telaga bening, di bawah pohon tadi. Dari sini, tradisi Siwaratri lantas berkembang. Di ujung kisah, roh si Lubdhaka, si manusia yang diselimuti nafsu kelobaan duniawi, ini pun dijemput Hyang Siwa. Dosanya sebagai manusia pemburu, yang saban hari membunuh dan membunuh (himsa) lenyap karena telah mencapai titik kesadaran Siwa, yang suci, bersih, bening. Dan, tentulah bukan suatu kebetulan belaka bila Mpu Tanakung menggunakan telaga berair bening sebagai latar kisah Lubdhaka. 
“Air telaga yang bening itu jelas melambangkan kesucian Hyang Siwa yang telah menyucikan jiwa Lubdhaka, sehingga rohnya akhirnya menyatu dengan Hyang Siwa,” tandas penekun sastra dan budaya Bali dari Puri Bunutin, Bangli, AA Gde Ketut Gede. 
Tentu saja air sebagai simbolik kesucian tak cuma bertebaran dalam karya-karya susastra-agama. Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Geria Aan, Klungkung, menunjukkan, dalam praktik sehari-hari pun air berdaya guna sebagai pelebur, meng-ubah kotor menjadi bersih, melebur mala (cemar) menjadi suci nirmala. “Air paling cepat dapat membersihkan sesuatu yang kotor,” urai Ida Pedanda. 
Ada enam jenis sarana pembersihan, penyucian, memang. Selain air, juga ada pembersihan dengan angin. Bahkan juga debu. Namun, lanjut Ida Pedanda, yang paling cepat membersihkan adalah air. Karena itu, air mendapatkan tempat yang penting dalam tradisi di Bali. Tak hanya dalam tradisi sosial-budaya sehari-hari seperti dilakukan petani-petani Bali lewat wadah subak, tapi juga dalam tradisi keagamaan.
Sesuai tradisi keagamaan, seorang pendeta di Bali, urai Ida Pedanda Gede Putra Tembau, tak terlepaskan dari air saat melakukan puja. Mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut pun terlebih dulu disucikan dengan air. Lalu, dilanjutkan dengan puja membuat air suci (tirtha) dengan urut-urutan yang berjenjang dan berlapis-lapis. Mulai dari pensucian kaki hingga ujung rambut de-ngan air (arga cuddha), lalu menulis Omkara dalam air, hingga pemujaan kehadapan Dewi Gangga sebagai ‘Sang Dewi Air’, dan sete-rusnya, sampai menjadi air suci sesuai fungsinya (panglukatan, panembak, pa-ngestas, dll.) semuanya menggunakan sarana utama air. 
Jadi, sebelum membuat tirtha, seorang pendeta dalam tradisi Bali terlebih dulu menyucikan dirinya sendiri. Kemudian sang pendeta me-linggih-kan Batara Siwa dalam dirinya .Dengan busana ketu (mahkota) itu beliau sudah me-linggih-kan Siwa, sehingga secara simbolik berarti sang pendeta sudah menjadi Siwa. Setelah itu barulah pendeta yang sudah sebagai Siwa ini membuat tirtha. Air berganti nama menjadi tirtha. Fungsinya  pun berubah, menjadi sangat tinggi, karena dengan tirtha amerta segala sesuatu yang mati akan hidup kembali secara spiritual. Sesuatu yang kotor akan tersucikan de-ngan sendirinya. Secara simbolik spiritual,    Hyang Siwa-lah yang membuat air suci itu. 
Lalu, banten pun sebelum dihaturkan disucikan dengan air suci (tirtha). Sebelum diperciki tirtha amerta, dalam penafsiran IGAG Putra, banten sejatinya adalah cuma ‘jasad’, ‘bangkai’ karena tak ‘hidup’. Ja-nurnya mati. Bunganya mati, unsur hewani-nya pun mati. Batara tentu saja tak berkenan menerima persembahan bangkai. Bahkan pendeta pun tak bersedia memasuki rumah yang belum diupacarai, karena itu berarti rumah masih berupa bangkai-bangkai kayu. Jadi, “Setelah diperciki tirtha amerta, secara simbolis spiritual berarti ‘hidup’ kembali. Banten tak lagi jadi bangkai janur, tapi dapat nama baru, ya prayascita, ya suci, dan lain-lain. Jiwa yang gundah, setelah diperciki tirtha jadi merasa tenang damai,” urainya.
Ida Pedanda Putra Telaga, foto: widnyana sudibyaBegitupun, sebelum sembahyang, orang diperciki tirtha, lalu diakhiri dengan nunas (mohon) tirtha yang secara tampak mata berupa air. Kenapa semuanya menggunakan air? “Dengan sarana air sebagai pensuci tersirat makna, umat Hindu di Bali sebenarnya diingatkan agar tetap berupaya menjaga kelangsungan jiwa alam semesta,” tutur Ida Pedanda Putra Telaga dari Geria Banjarangkan, Klungkung. 
Menjaga siklus perputaran air tetap berlangsung, lanjut Ida Pedanda, itu berarti manusia telah menjaga sekaligus menjamin kelangsungan jiwa alam semesta ini ada. Pemaknaan ini didasarkan pada kegunaan air dalam praktik kehidupan yang selain untuk kesucian, juga untuk kehidupan. Bagi Ida Pedanda, manakala seorang pendeta Hindu di Bali melakukan pemujaan air, “Itu sebenarnya melakukan pemujaan kehadapan Hyang Siwa sebagai Yang Mahakuasa. Ya, Hyang Siwa yang ada di setiap mahluk, yang memenuhi semua alamraya ini, termasuk Hyang Siwa yang ada dalam diri Anda. Setiap kita harus mensyukuri itu.” 
Rasa syukur, yang mewujud sebagai kerendahan hati, kejujuran, dan ketulusan mengakui air sebagai ciptaan Yang Maha Pencipta itu, dalam amatan IGAG Putra, seperti dituturkannya pada SARAD Januari lalu, ditradisikan dalam bentuk upacara persembahan ke hadapan Sang Dewa Air. Dalam wujud laku, sumber-sumber air pun dilestarikan, disucikan, diberikan penjenjangan makna kesucian. Untuk dijadikan air suci, misalnya, air mesti dicari ke mata air, seperti selebutan, pancuran, bulakan, danau. Di sumber-sumber air itulah air pertama menyembul dari bawah pertiwi. “Air yang pertama menyembul dari pertiwi dinilai belum tercemar sehingga memiliki kadar kesucian,” ungkapnya.
Untuk maksud yang sama pula, di Bali ada kebiasaan ngumkum air. Maksudnya, sebelum dilakukan pemujaan pembuatan tirtha, tempat air disucikan dulu dengan jalan diasapi (dudus/ukup) dengan wewangian. Maksudnya, agar kuman-kuman di tempat tirtha itu hilang. Selain itu, air pun diupayakan dicari sebelum matahari terbit. Artinya, sebelum orang menggunakan mata air tersebut. Barangkali agar steril. Demikian pula maksudnya, kenapa saat mabanyu pinaruh, sehari setelah hari Saraswati, orang mandi ke sumber air pagi hari. Ini istilahnya pangebukan air mati. Sebelum matahari terbit, air dianggap belum bangun, karena belum digunakan untuk keperluan sehari-hari oleh orang umumnya. Sebelum digunakan, air dibangunkan dulu. 
Hamparan sawah yang dirawat Subak. foto: wayan dianthaSelain merebut waktu pagi, sebelum matahari terbit, kesucian air untuk tirtha juga bisa dipetik lewat persembahan upacara tertentu. Di sini kesucian air didapat melalui upacara yang dilaksanakan sang pendeta. Selain itu, kesucian juga dapat dipetik melalui keperwiraan atau keberanian. Tirtha pamutus, misalnya, diperoleh dari keikhlasan dan kesucian sang yajamana (pemimpin upacara). Begitu juga tirtha panembak yang merupakan salah satu panebusan untuk orang mati. Tirtha ini dicari tengah malam seorang diri dan tidak boleh diketahui orang lain. Tempat air yang terpilih pula, tak bisa sembarang tempat. Di campuhan, titik bertemunya beberapa aliran air sungai, misalnya.
 “Di sini diperlukan seorang pemberani yang iklas demi untuk nyupat (membersihkan) roh orangtuanya, karenanya wajib dilakukan oleh anak atau cucu dari orang yang meninggal. Dengan keikhlasan dan keperwiraan si anak (mabaya pati) dalam mencari tirtha, dia dapat nyupat sang pitara (roh orangtua, leluhur),” papar Putra. Artinya, “Dengan yadnya (pengorbanan) mencari air, seorang anak pun dapat melempangkan jalan bagi roh o-rangtuanya. Begitu juga sebelumnya, si orangtua telah melempangkan jalan bagi kakek si anak kini, layaknya matarantai yang tak putus.” 
Tentu sangat arif, bila Anda tak malah memutus matarantai untuk generasi mendatang itu. Caranya mudah saja: jangan mengoyak tatanan air.

Jung Iryana, I Ketut Sumarta

Dan Museum Subak pun Meranggas
Alangkah tragisnya nasib Museum Subak. Di tengah denyar sumringah toko-toko dan galeri seni di Bali, museum di atas tanah 8 hektare, di ujung timur Kabupaten Tabanan itu, justru kian meranggas. Alang-alang tumbuh tinggi di sana-sini. Bangunannya kian lapuk. Ringkih, dan sepi.. 
“Saya sudah angkat tangan soal ini,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan Bali, Drs IB Pangjaya Orang nomor satu di lembaga pemerintah yang membawahi Museum Subak ini mengaku, keinginan menyerahkan pengelolaannya pada sebuah yayasan mentok. Gagasan hendak bekerja sama dengan lembaga swasta pun terantuk. Alasannya, sangat teknis, soal koordinasi birokrasi. 
Status gedung museum itu hingga kini masih pinjaman dari Dinas Pekejaan Umum Bali. Pengawasannya berada  di bawah Dinas Kebudayaan Bali. Sedangkan operasional sehari-harinnya bukan ditangani ketua museum, melainkan hanya oleh sebuah proyek yang dibantu 12 tenaga honorer. Tak kurang dari Rp 30 juta ditetekkan pemda Bali untuk menjaga kelangsungan hidupnya, saban tahun. 
Padahal, ketika didirikan di atas tanah pertanian subur atas gagasan Gubernur Bali Prof Dr IB Mantra dasawarsa 1980-an, meseum itu sarat idealisme. Ada tujuh unit gedung, terdiri dari ruang pameran, aula, gedung-gedung untuk pelaksanaan diklat, guest house, serta kantor. Tak kurang dari 400 jenis peralatan subak dipajang di sana. Juga digagaskan ada pertunjukan langsung kegiatan subak, sehingga disediakan lahan sawah 1 hektare. Di dalam ruangan direncanakan ada tontonan film dan slide tentang kegiatan subak, lengkap dengan kupasan hirarki organisasi serta manajemennya yang unggul. Jadi, dengan bertandang ke Museum Subak, diharapkan orang dapat gambaran paripurna tentang organisasi khas Bali yang muncul sejak abad ke-9 itu.
Tapi, ide cemerlang tak selamanya mulus di kenyataan. Pangjaya mengakui terus terang, “Manajemen pengelolaannya keliru. Ke mana hendak diarahkan pengembangannya tidak jelas.’’ Begitulah kini, sehari-hari, “Museum Subak hanya dijadikan tempat oleh pasangan-pasangan yang memadu kasih,” ungkap seorang sumber di sana.
Jung Iryana 

No comments:

Post a Comment