Siwaratri, bukan hari Penebusan Dosa


I Gede Sura, foto: widnyana sudibya 

Tanya Jawab Prihal Tatwa: I Gede Sura

Batara atau Dewa?
Saya ucapkan selamat atas terbitnya majalah SARAD. Membuka-buka halaman demi halaman, saya sangat senang. Inilah kira-nya majalah yang sudah lama saya dambakan. Isinya sejuk, tidak ada sensasi, dan banyak memberikan tuntunan pendalaman makna baik terhadap agama maupun budaya Bali. Karena Redaksi juga menyediakan konsultasi berkaitan dengan masalah agama, maka pada kesempatan kali ini saya ingin mengajukan beberapa per-tanyaan. 
Kalau dicermati di masyarakat Bali, tampaknya hingga kini masih jarang digunakan istilah dewa. Yang lebih sering digunakan adalah batara. Adakah perbedaan istilah dewa dengan batara? Kenapa di masyarakat Bali lebih sering digunakan istilah batara, sedangkan di buku-buku justru lebih sering digunakan istilah dewa. Di masyarakat, misalnya, digunakan nama Batara Brahma, Batara Wisnu, Batara Siwa. Demikian juga halnya dalam seni pertunjukan, lebih sering digunakan batara. Namun di buku-buku bacaan yang pernah saya baca justru disebutkan Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa. Mana yang benar? 
Terima kasih. 
Nyoman Sukarma,
Penebel, Tabanan. 
Menyungsung pralingga Ida Bhatara. foto: AgustanayaJawab:
Sdr. Nyoman Sukarma, 
Dalam memahami perbedaan penyebutan dewa atau batara ini akan sedikit sulit. Tidak dapat dilakukan dalam satu kali. Yang jelas, membutuhkan tahapan. Dalam Weda itu menggunakan istilah dewa. Dewa itu artinya ‘yang bercahaya’. 
Dalam kesehariannya, orang Bali lebih sering menggunakan batara. Kenapa begitu? Ini karena orang-orang beragama di Indonesia, khususnya di Bali, menghadirkan dewa-dewa dalam suatu fungsi yang lebih aktif. Kata asli batara itu adalah bhatara (dengan tanda – di atas huruf r), berasal dari kata bhartr (dengan tanda titik di bawah huruf r terakhir) yang artinya ‘pendukung’. 
Dalam hal ini disebutkan sebagai bhatara karena Tuhan dihadirkan sebagai pendukung manusia, lebih aktif daripada dewa. Misalnya, dalam pembedaan Dewa Wisnu dan Bhatara Wisnu, istilah bhatara yang dimaksud adalah Wisnu yang lebih aktif penekanannya. 

Adakah Surga dan Neraka? 

Yth. Pengasuh rubrik Tatwa. 
Dalam pergaulan sehari-hari, saya sering sekali mendengar digunakannya istilah surga dan neraka. Kalau dalam hidup kita berbuat baik maka kita akan masuk surga. Sebaliknya, kalau berbuat tidak baik, jahat, dan semacamnya maka kita akan masuk neraka. Benarkah Hindu mengenal surga dan neraka, sebagaimana juga dikenal dalam keyakinan lain? Sampai-sampai ada semacam keyakinan (atau mitos?) bahwa Pura Dalem Puri di Besakih itu adalah tempat para atma berkumpul dan di situlah secara niskala surga dan neraka itu. Benarkah pandangan ini?
Terus terang saja, saya sampai kini bingung, bukankah tujuan akhir hidup kita ini justru adalah bersatu dengan Paramaatman? Kalau demikian halnya, lantas benarkah ada surga dan neraka? Kalau memang ada, apakah surga dan neraka itu hanya ada di alam sana (niskala) atau juga ada dalam hidup kita sekarang ini (sekala)? Bukankah itu bukan tujuan kita hidup?
Apakah istilah surga dan neraka itu memang ada dalam kitab-kitab suci Hindu, baik yang asli India (Sanskerta) ataupun yang ciptaan Nusantara, seperti yang berbahasa Kawi, misalnya? Apa artinya surga dan neraka itu? 
Matur suksma atas perhatian dan jawabannya.
Luh Putu Suci Adnyani
Tampaksiring, Gianyar.
Jawab:
Pengertian agama sering kali dikaburkan. Menurut ajaran agama Hindu ada ajaran tentang surga dan neraka. Ajaran ini tersebar luas dalam berbagai kitab Hindu. Dalam Rig Weda pun ada disebutkan tentang surga dan neraka. Jangan sampai akhirnya terjebak pada ilmu pengetahuan. Artinya, dalam ilmu pengetahuan ada ilmu eschatology, pengetahuan tentang ilmu akhirat. Bedakan bahwa ajaran agama itu tidak dapat diilmiahkan kemudian disertai pembuktian. Ajaran agama menyangkut soal kepercayaan dan sulit kita membuktikannnya atau mengilmiahkannya. 
Orang yang mencapai surga atau neraka merupakan akibat karma baik atau karma buruk (subha dan asubha karma) yang bersangkutan sendiri. Bila karma baik atau buruk sudah tidak ada lagi, maka barulah orang itu dikatakan dapat bersatu dengan Paramaatman. Ini artiya mencapai sebuah kelepasan/moksa. Untuk mencapai moksa, tentu saja dengan menghilangkan karma baik dan karma buruk, tanpa apa-apa.
Agama itu bertitik tolak pada kepercayaan. Dalam agama Hindu, ajaran surga dan neraka hanya ada setelah kita mati. Kita percaya ada hidup setelah mati. Surga asalnya dari kata suar ga, artinya ‘pergi ke alam swah’. Sedangkan neraka asal katanya naraka artinya ‘neraka’, alam akhirat yang penuh penderitaan. Berbeda dengan surga yang menjadi alam akhirat penuh kebahagiaan dan kesenangan.
Tentang Pura Dalem Puri di Besakih sebagai tempat para atma, semuanya tergantung keyakinan dan kepercayaan saja. Bukan itu surga dan neraka secara niskalanya. Tapi kalau kemudian ditanyakan tempatnya, ya tidak ada yang tahu di mana. Ini sangat berhubungan dengan keyakinan. 

Pengampunan Dosa
Om Swastyastu,
Bapak pengasuh Tatwa yang kami hormati,
Sampai kini saya masih bingung, apakah dalam ajaran Hindu dikenal adanya pengampunan dosa? Hal ini saya tanyakan kepada Pengasuh Tatwa karena sampai sekarang ini saya masih sering mendengar dari teman-teman, katanya tak masalah kita berbuat dosa, toh  akhirnya bisa ditebus. Yakni, dengan jalan melakukan melek sehari penuh selama malam Siwaratri. Benarkah demikian? Apakah benar dengan melakukan Siwaratri itu dosa-dosa kita akan terhapus? Lagi pula, apakah benar hanya dengan melek semalam suntuk dosa sudah terhapus? 
Bagaimana sebenarnya pelaksanaan Siwaratri yang benar itu menurut sastra-agama? Saya benar-benar tidak tahu, karenanya ragu-ragu kalau ada teman-teman yang mengajak merayakan Siwaratri. Saya pikir, buat apa magadang, bikin mata mengantuk lalu esoknya kelelahan. Karena dalam pemahaman saya, dosa tak bisa dihapus atau diampuni karena dalam ajaran kita dikenal adanya karmapala. Hasil atas perbuatan itu mesti dijalani, diperoleh, kalau tidak langsung saat kita berkarma, ya saat kita menjelma kembali kelak. Jadi, dosa bukan diampuni ataupun dihapus.
Benarkah pemahaman saya yang demikian, Pak? Mohon jawaban yang sejelas-jelasnya. Terimakasih atas perhatiannya, dan selamat atas terbitnya SARAD. Semoga terus maju memberi pencerahan. 
Komang Arsa Wijaya
Mahasiswa sebuah PTS di Denpasar. 
Jawab:
Bahwa dosa itu ada pengampunan dosanya, itu istilah dalam Kristen. Dalam ajaran Hindu ‘penebusan dosa’ dilakukan dengan cara berbuat baik. Dosa itu bukannya langsung hilang tapi akan berkurang bila kita setiap saat selalu berlaku baik dan benar. Siwaratri bukan hari untuk penebusan dosa. Dosa tidak bisa terhapus saat Siwaratri. Siwaratri itu merupakan tonggak waktu untuk mengingatkan manusia agar bakti kepada Hyang Widhi (Tuhan), dalam hal ini kepada Siwa. Siapa yang bakti kepada Siwa, doanya akan tertebus. Namun perlu dicamkan benar, bakti kepada Siwa tidak hanya dilakukan saat Siwaratri, melainkan sepanjang hayat manusia itu. 
Dengan tidak tidur saat Siwaratri, secara filosofinya itu artinya manusia diharapkan untuk selalu melik, artinya eling. Dalam menjalani hidup manusia harus terjaga (atutur), tidak tertidur (turu). Karena, kalau tertidur, yang ditemukan nantinya hanyalah kegelapan. Jangan sangka kemudian untuk tetap melik, tetap eling itu mudah karena godaan dan gangguan akan selalu datang sehingga manusia tergoda untuk “tertidur”. 

Padmasana, Kamulan,  Dewa Hyang
Om Swastyastu,
Izinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan yang sampai sekarang terus menggoda pikiran saya. Lama saya memendam pertanyaan ini, karena tak ada tempat untuk bertanya. Syukurlah, akhirnya ada majalah gumi Bali SARAD yang menyediakan rubrik ini. Saya gembira sekali. Apalagi semboyannya: Prihal Pikir, Kata, dan Laku Manusia Bali. Mudah-mudahan pertanyaan saya yang Bali tulen ini terjawab. 
Pertama, dalam berbagai darmawacana maupun tulisan saya sering mendengar bahwa Hyang Widhi di-stana-kan di Padmasana. Tapi, kenyataannya, kenapa dalam banyak kasus di Bali kita masih melihat, meskipun di sanggah/pamrajan sudah ada palinggih Padmasana, toh masih ada lagi palinggih Sanggar Kamulan Rong Tiga? Apakah Padmasana saja tidak cukup? Apa persamaan dan perbedaannya? Kalau di Sanggar Kamulan Rong Tiga disemayamkan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Tri Sakti (Brahma, Wisnu, Siwa/Iswara), kenapa tidak langsung saja atau cukup dengan satu Padmasana? Dengan demikian bukankah bisa lebih efisien, toh tujuannya sama? 
Kedua, yang lebih membingungkan saya, di daerah Bali timur, seperti Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, selain ada Sanggar Kamulan Rong Tiga juga ada palinggih khusus Dewa Hyang, berupa Sanggar Rong Kalih. Di Rong Kalih inilah biasanya roh leluhur yang sudah diaben dan sudah di-tuntun distanakan. Sedangkan untuk di Bali lainnya, biasanya Rong Kalih itu tidak ada lagi, cukup dengan Rong Tiga atau Sanggar Kamulan. Kenapa terjadi perbedaan demikian? Adakah dasar sastra-agama masing-masing itu? Dalam logika saya, kalau roh leluhur sudah disucikan, bukankah langsung saja distanakan di Rong Tiga? 
Ketiga, kalau dalam kenyataan yang sekarang ini masih ada tersebut di Bali dan ternyata ada kekeliruannya atas ‘tradisi-tra-disi’ tersebut, bagaimana kita sebaiknya memperbaikinya? Siapa yang harus meluruskan kekeliruan-kekeliruan ‘tradisi’ atau pemahaman tersebut? 
Suksma atas segala tanggapannya. 
Gede Jaya Sugiartha
Sanur, Denpasar. 
Jawab:
Sdr. Gede, 
Ida Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan Yang Mahaesa. Beliau dipuja dalam berbagai aktivitas. Palinggih-palinggih batara-batara merupakan personifikasi aktivitas Sang Hyang Widhi sebagai istadewata. Kemudian muncullah Padmasana sebagai wujud Beliau dengan menyembah Siwa Raditya. Kamulan menjadi tempat pemujaan Batara Siwa sebagai Pitara. Palinggih lain, secara global sama saja fungsinya. Untuk memuja istadewata, artinya aspek Tuhan yang dipentingkan untuk yang bersangkutan. Sama halnya kalau ada pedagang, ia akan memfungsikan Pura Melanting, dan seorang balian ia akan memiliki pemujaan untuk Dewaning Balian.
Tentang Rong Kalih dan Rong Tiga, bisa dijelaskan bahwa pada umumya wujud Kamulan itu adalah Rong Tiga. Kalaupun ada yang berbeda, itu bukanlah permasalahan yang mengkhawatirkan karena di dalamnya masih terdapat unsur tradisi lokal. Ingatlah, dalam ajaran Hindu itu terdapat kebebasan dalam satu alur. Perbedaan-perbedaan fisik yang ada sebenarnya adalah satu.
  

No comments:

Post a Comment