Gambuh Batuan Bertahan karena Malu

Dirintis maestro Nyoman Kakul, sekaa gambuh Batuan satu dari segelintir seniman yang melestarikan gambuh. “Kami bertahan karena rasa malu,” ujar Ketut Kantor, penerus Kakul. 


Tak banyak yang kini peduli kalau Desa Batuan, Gianyar, adalah desa pelopor industri turisme. Awal tahun ‘70an artshop sudah berdiri di dusun ini, berjajar di tepi jalan utama Denpasar-Gianyar. Kala itu toko kesenian, galeri, di Desa Mas, Ubud, Kuta atau Sanur, tak seriuh sekarang. Tapi catatan terpenting untuk Batuan memang tidak soal urusan toko kesenian, justru dalam hal seni pertunjukan. Catatan itu semakin tajam guratnya kalau kita masuk ke rumah ke-luarga Nyoman Kakul.
gambuh sangggar tari nyoman kakul, foto: aryantha soethamaRumah keluarga Kakul masih sangat mengesankan rumah Bali klasik. Kendati beberapa bangunan modern mendesak ba-ngunan-bangunan tua, tapi di natah itu hawa Bali asli masih terasa kuat berhembus. Tembok bale daja keluarga ini masih terbuat dari popolan (tanah liat). Di pekarangan bagian selatan dikhususkan untuk kegiatan belajar menari. Sanggah dan bale dangin masih membiaskan kesan Bali asli. Di rumah sederhana itulah gambuh mendapat tempat terhormat, menjadi drama tari yang “dibela” dan “disucikan”.
Di desa kelahirannya, Banjar Pekandelan, Desa Batuan,  perjalanan Nyoman Kakul sungguh-sungguh melegenda. Siapa saja yang berniat merunut perjalanan seni tari (klasik) Bali mustahil tidak mampir ke Batuan. Di sana hampir setiap warga desa tahu kisah Kakul yang mengabdikan seluruh ambisi dan energinya untuk tari. Semasa hidup ia mendirikan sekaa Mayasari yang mengkhususkan diri dalam pegambuhan. Kepada anak-anak muda di desanya ia meyakinkan, penguasaan gambuh adalah jalan mulus menguasai bermacam seni tari Bali.  

Tahun 1982 Kakul meninggal berbekal keyakinan gambuh Batuan tak akan runtuh. Ia mewariskan gambuh untuk generasi Banjar Pekandelan yang siap tampil dimana pun, untuk situasi apa pun. Kini, jika ada yang menyebut gambuh Batuan, pada hakikatnya itu adalah gambuh warisan Kakul. Yang menjadi pengurus Mayasari pun sanak saudara dan kerabat Nyoman Kakul. Ketua sekaa Mayasari kini adalah Ketut Kantor (61), putera Kakul. 
kantor dan cucu, foto: aryantha soethamaKantor sendiri awalnya bimbang, apakah ia harus meneruskan jejak sang maestro, atau hidup seperti kebanyakan orang: berdagang atau bertani misalnya – pekerjaan yang banyak dilakoni warga Batuan waktu itu –  tanpa menyerahkan hidup pada kesenian. Tapi semua murid yang pernah dididik Kakul mendesak Kantor untuk meneruskan jejak sang maestro. “Saya malu, jika di rumah ini pernah lahir pregina besar dan hebat, kemudian terputus begitu saja,” ujar Kantor. Ia mengaku melakoni hidup sebagai pregina gambuh sekarang ini lebih karena panggilan leluhur. Anak-anaknya pun kemudian mengikuti jejak sang kakek, benar-benar hidup dari hasil menari gambuh.
Kantor dan anak-anak memang meng-andalkan pendapatan dari menari untuk hidup sehari-hari.  Tahun 1983, setahun se-telah Kakul meninggal, Kantor mendirikan Sanggar Tari Nyoman Kakul (STNK). “Jadi saya menjadi ketua di dua organisasi, di Mayasari dan STNK,” akunya. De-ngan begitu untuk kegiatan pentas tertentu ia mengatasnamakan STNK, jika untuk kegiatan yajna dan ngayah ia mengajak Mayasari, “Sehingga anggota Mayasari yang sibuk tak terganggu,” ujarnya.
Mayasari dan STNK bisa menjadi acuan sebagai sekaa sebunan yang benar-benar masih mencerminkan kelompok kesenian khas Bali. Mereka menjunjung tinggi hubungan kekerabatan, sehingga kehidupan menyama braya menjadi ciri utama di kelompok ini. Kantor mencoba menghindari uang sebagai tujuan pokok sekaa. Jika ada yang mengupah (menanggap), mereka tak pernah pasang harga pasti. “Yang penting mereka memberinya dengan tulus,” ujar Kantor. Baginya tak ada guna menari dibayar mahal kalau tidak diikuti kepuasan jiwa. Itu sebabnya ia menolak mementaskan gambuh di hotel. “Kami pernah pentas di hotel Nusa Dua hanya sekali, setelah itu tak lagi,” ujar Ketut Wirtawan (30), putera Kantor yang mulai menari gambuh sejak duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Karena tak cocok bayarannya? “Gambuh tak cocok dipentaskan di antara tamu yang tak begitu paham seni gambuh. Apalagi pakaian mereka norak-norak kalau menonton,” jelasnya.
Hidup bersahaja, jauh dari kesan norak, memang menjadi pilihan hidup keluarga Kakul, kini keluarga Kantor.  Untuk mendapatkan perlengkapan tari dan gamelan, mereka acap kali tak usah membeli. Atau memperolehnya dengan harga rendah.  Penjual gamelan dari Blahbatuh, Gianyar, yang sering membantu mereka. “Semua ini berkat manyamabraya,” kata Wayan Artawa (35), anak sulung Kantor. Jika si penjual gamelan memerlukan sekaa gambuh, mereka selalu siap ngayah dan mayadnya. Atau Kakul dan keluarga bisa menjadi perantara jika ada yang membutuhkan gamelan. Mereka akan menyarankan pembeli ke Blahbatuh saja.
ketut wirtawan, menolak masuk hotel. foto: aryantha soethamaBagi Kantor kebersahajaan melahirkan kebersamaan dan hidup rukun. Kebersahajaan tak akan melahirkan paksaan-paksaan. Anak-anak belajar menari gambuh ingin begitu saja, dengan sendirinya. Mereka juga bebas memilih karakter dan peran sendiri-sendiri. “Semua berlangsung dengan sendirinya, berlajan secara otomatis. Seorang anak ingin jadi patih, yang lain ingin jadi condong atau kakan-kakan,” kata Kantor. Pewarisan pegambuhan di Batuan tak pernah lewat pemaksaan.Anak-anak mengaku senang dan bangga jika bisa menari gambuh.
Kakul adalah nama besar. Kantor dan anak-anaknya mewarisi kebesaran itu sebagai peluang untuk hidup senang. “Namun semua itu godaan,” ujar Wayan Artawa. Ia mengaku pernah ditawari hidup di Amerika Serikat sebagai  instruktur tari, namun ditolaknya. “Jika ajakan itu saya terima, pasti hanya sementara. Akhirnya saya kembali ke desa sini,” alasannya. Bagi Wayan, hidup dalam kekerabatan adat di desa lebih penting, lebih nikmat.
Kantor sendiri tak melarang anggota Mayasari atau STNK yang berniat meninggalkan sekaa untuk merebut peluang lebih baik.“Saya persilakan mereka pergi ke mana pun mereka suka, kapan saja. Tapi beberapa diantara mereka akhirnya kembali,” kata Kantor.
Jika kita bertanya pada Kantor, apa gerangan yang mendorongnya tetap mempertahankan gambuh, ia akan menjawab tenang, “Saya malu jika di natah ini dulu pusat gambuh, lalu di zaman saya punah tanpa bekas. Murid-murid ayah selalu mendesak agar saya mempertahankan gambuh, sehingga saya terbebas dari rasa malu itu.”
Aryantha Soethama


No comments:

Post a Comment