Setelah Pangliman Toya Dilenyapkan

Air subak ‘dibajak’. Saluran irigasi dipotong. Air tanah disedot. Kawasan resapan sepanjang sungai (ruwi) yang secara tradisi tak bertuan, malah disertifikatkan. Siapa bertanggung jawab mengontrol pembangunan fisik yang tak mengindahkan tatanan air ini?



Aduh! Bagaimana ini, PDAM? Tiap pagi airnya kok saencrit-saencrit. Kapan gedenya?” keluh seorang ibu suatu pagi dari kawasan Sanglah, Denpasar. “Bagaimana tak mangkel? Sumur saya juga kering. Siapa yang mesti bertanggung jawab. Halo, halo, halo .…” suara si ibu yang disiarkan langsung sebuah radio swasta itu tiba-tiba terputus.
Tragisnya, hingga acara keluh-kesah lewat telepon itu usai sejam kemudian, tak ada pihak yang bisa memberikan jawaban melegakan si ibu. Keluh si ibu menguap begitu saja. Padahal, hari itu sejumlah kegalauan tentang air juga muncul dari ibu rumah tangga lainnya di kawasan Tohpati, Monang-Maning, bahkan Ubung. Isinya sama: pasokan air ke rumah kecil, air sumur surut.



“Wajar ibu-ibu mengeluh soal air. Pasokan air untuk Bali memang semakin mi-nim, sementara kebutuhannya kian me-ningkat seiring perkembangan industri pariwisata, pembangunan gedung-gedung dan perumahan di Bali,” ujar Koordinator Sekretariat Kerja Penyelamat dan Pelestarian Lingkungan Hidup (SKPPLH ), I Made Mangku. Merujuk hasil kajian Pusat Penelitian Unud bersama Bappeda Bali tahun 1998, Mangku bahkan gundah. Pasalnya, “Denpasar dan Badung sejak 1997 lalu sebenarnya sudah krisis air.”
Yang bikin penggiat lingkungan itu tambah gulana, krisis air sebagai-mana menikam Denpasar dan Badung, secara bertahap meluas ke Tabanan dan Gianyar. Kedua dae-rah ini diperkirakan dihujam krisis air pada 2002. “Menyusul kemudian Jembrana dan daerah lainnya pada 2007,’’ lanjut Mangku.
Krisis air bisa menohok Bali mengingat sumber air di pulau berbentuk induk ayam bertelor ini memang terbatas. Terdiri dari air permukaan (danau dan sungai), serta air tanah dan mata air. Untuk danau, potensi airnya masing-masing: Beratan (Tabanan) 4.922.000.000 m3, Buyan (Buleleng) 11.625.000.000 m3, Tamblingan (Buleleng)  2.700.000.000 m3, dan Batur (Bangli) 81.558.000.000 m3. Di luar itu, ada lagi satu waduk buatan di  Palasari, Jembrana, dengan kapasitas 800.000.000 m3 –itu pun kalau pas musim penghujan. 
Di sisi lain, kutip Mangku, batas eksploitasi potensi air tanah 401,13 juta m3 per tahun. Adapun potensi dari 500-an mata air di Bali yang berhulu di keempat danau asli tadi cuma 422,59 juta m3per tahun. Dari 500-an sungai, yang dimanfaatkan cuma 82.
Bila cuma untuk memasok kebutuhan air penduduk Bali yang diperkirakan 3,5 juta jiwa, ‘kekayaan’ air asli yang dimiliki tentulah tak masalah. Repotnya, Bali yang kecil ini juga harus memasok air untuk sektor industri dan jasa modern, seperti pariwisata, padang golf, kolam renang, dll. “Semuanya boros air. Per kamar hotel saja memerlukan 60 liter air per hari,’’ ujar Mangku. Nah, berapa liter air disedot saban hari untuk kamar-kamar hotel yang di seantero Bali, Anda tentu bisa menghitungnya sendiri. 
Bagi penulis dan penekun adat dan sastra Bali, I Gusti Ngurah Oka Supartha, air di Bali bukan tak boleh digunakan untuk kepentingan ekonomi. Cuma, ia mewanti-wanti, sebaiknya pemanfaatan untuk ekonomi itu dilakukan setelah air digunakan untuk irigasi subak dan kebutuhan sehari-hari masyarakat Bali. “Di hilir itu silakan saja, sehingga tak bikin gundah dan merugikan masyarakat Bali yang telah susah payah menjaga kelestarian sumber-sumber air,” sebutnya. 
Dalam cermatan dosen Fakultas Teknik Universitas Udayana, Ir Nyoman Gelebet, Bali sebenarnya tidak perlu cemas dengan ketersediaan air. Syaratnya, “Jaga dan patuhi saja aturan adat setempat tentang pengelolaan air,” ujarnya. Dengan kata lain, “Jangan rampas hak masyarakat Bali terhadap air. Kalau dirampas, akan meletus konflik.”
Pakar pertanian Prof Dr I Nyoman Sutawan juga mengusulkan, agar konflik pemanfaatan air tak menyembul, sebaiknya pihak-pihak di luar lembaga adat bersedia sedikit rendah hati. Caranya, kata Sutawan, “Ajak saja bicara lembaga-lembaga adat pengelola air, seperti subak, ikutkan mereka dalam mengambil putusan.” Selama ini, sudah lazim subak sebagai organisasi petani pengelola air khas Bali ini diabaikan. Jangankan diajak mengambil putusan, “Bahkan air yang mestinya mengaliri sawah ladang mereka pun bisa diserobot. Saluran irigasi mereka tiba-tiba sudah diganti jadi permanen, sehingga keterlibatan aktif subak dalam mengelola air jadi hilang,” papar peneliti subak ini. 
Petani subak, urai Sutawan, aslinya mengelola sendiri penggunaan, pengaturan, dan pendistribusian air. Kini banyak ba-ngunan irigasi permanen dibangun negara tanpa sepengetahuan subak, tanpa menyesuaikan dengan tradisi yang sudah akrab dengan mereka. Pembagian air asli berdasarkan tektek —yang disesuaikan dengan ukuran anggota tubuh— diubah dengan ukuran baku meteran. Hasilnya, air yang didapatkan petani tak sesuai kebutuhannya. Padahal, ia menilai, “Kalau dengan ukuran tektek tak pernah ada petani yang mengeluhkan jatah air.” Cuma, “Karena tak berani protes penguasa, pertengkaran antarsubak pun terjadi.” 
Tragis, memang. Ketika subak dikagumi dan dijadikan model pengelolaan air irigasi pertanian oleh negara-negara dunia ketiga, di tanah asalnya, Bali, petani-petani subak seakan digiring menikam dirinya sendiri. Di tengah keterbatasan sumber air Bali, aturan-aturan adat dan subak prihal pengaturan air malah dilenyapkan. Dalam perlindungan sungai, misalnya. Kata Gelebet, tradisi Bali menggariskan orang baru boleh membangun di luar sungai berdasarkan konsep alinggah tukad, ategeh jurang, aebahan kayu. Itu batasan ruwi-ruwi sungai .Contohnya,  Tukad Ayung, lebarnya sekitar 20 m.  Tetapi tinggi jurangnya 30 m, lalu ada aebahan kayu (rentangan kayu ditebang), rata-rata 15 m. Ketiga ang-ka itu dijumlah. Jadilah daerah perlindung-an sungainya selebar  65 m. “Sepanjang 65 m di pinggir sungai itu tidak boleh ada bangunan, jadi kawasan lindung yang dihijaukan, sehingga di pinggir-pinggir su-ngai di Bali ditemukan banyak pohon-pohon besar. Di luar itu baru boleh dibangun,” tandas Gelebet. 
Demikian juga pantai. Bangunan baru diizinkan dalam jarak apengelur. Caranya, dari garis sempadan pantai orang berteriak sekuat-kuatnya. Di mana suara terakhir teriakan itu terdengar, di garis itulah baru dibolehkan ada bangunan. Bagi Gelebet, “Perlindungan ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan ekosistem air, sehingga tetap memenuhi maksud moksartham jagadhita yaca iti dharma, mensejahterakan sepanjang kehidupan. Bukan hanya untuk sekarang.” Dalam bahasa tata ruang mo-dern, barangkali setara maksudnya dengan kawasan lindung perlindungan setempat. 
Petani Bali memandikan sapi. Kalau dirampas, meletus konflik. foto: prayatna sudibyaAturan-aturan itu terang dibuat sesuai dengan kondisi alam Bali. Secara geografis Bali berbeda dengan Jawa maupun Lombok, misalnya. Kalau di Jawa pegunungan sebagian besar dindingnya menghadap ke laut Hindia Selatan. Jadi, dinding Jawa adalah dinding selatan. Kalau Lombok, din-dingnya melingkar. Dataran rendahnya di tengah. Sedangkan Bali, gunungnya justru di tengah-tengah. Jadi, Jawa punya dataran ke arah utara. Bali punya dua dataran, dataran utara dan dataran selatan. Lombok punya dataran di tengah. Ini prinsip dasar yang mempengaruhi tata guna air di Jawa, Bali, dan Lombok. Dari sinilah, kata Gelebet, dibikin aturan-aturan yang akrab lingkungan dengan memperhatikan tatanan air. 
Tapi yang terjadi kini adalah drama kerakusan mencaplok lahan-lahan perlindungan yang secara tradisi memang tak bertuan itu. “Tanah ruwi sungai disertifikatkan, dijual. Pantai dikavling hingga ke laut,” ujarnya, tersenyum getir. 
Siapa yang mesti mengawasi pelenyapan demi pelenyapan aturan itu? Bagi Oka Supartha, secara tradisi desa adat sebenarnya aslinya punya pangliman toya. Inilah pe-ngawas saluran-saluran air irigasi hingga saluran air di desa adat. Sang pangliman toya memiliki staf intel air bernama telik tanem. Bila ada pembangunan yang melanggar aturan subak maupun aturan adat tentang perlindungan air, telik tanem akan melaporkan kepada pangliman toya. Selanjutnya, pangliman toya mengadukan si pelanggar ke bendesa adat atau pakaseh/klian (kepala) subak. Dalam waktu 1 x 24 jam putusan diambil. “Awalnya diperingatkan langsung secara pribadi, kalau tak bergeming juga  dirapatkan lewat paruman adat. Sanksi akhirnya sangat keras, bisa sampai dikeluarkan dari desa adat, karena dinilai mengganggu keselamatan orang lain,” tandas Oka Supartha. 
Tapi, di manakah pangliman toya itu kini? “Sudah lama desa adat maupun subak tak lagi punya pangliman toya karena fungsi pengawasan air diambil pemerintah,” tandasnya. Ini berarti, Bali kehilangan pe-ngawas air yang mengakar langsung di basis-basis air. Akibatnya, ya begitulah. Tatanan ekosistem air menggang-menggung. Keluhan tentang air seret jadi biasa. Banjir pun kian akrab.
Oka Supartha yakin, kalau saja pangliman toya dengan telik tanem-nya dihidupkan lagi, besar peluangnya pelanggaran-pelanggaran tatanan air dapat direm. Cara-nya, setiap pembangunan di suatu kawasan desa adat atau subak tertentu, diwajibkan mendapat rekomendasi pangliman toya. Dari sini berjenjang naik ke bendesa adat, lalu ke camat, dan seterusnya. Cuma, kunci akhirnya kembali, sangat klasik di negeri ini. “Tergantung siapa pemimpinnya dan maukah sang pemimpin menegakkan aturan yang ada?” Oka Supartha berucap ragu. Dalam bahasa Gelebet, “Semua pelanggaran itu bisa direm. Masalahnya, apakah pihak yang berwenang mau mengeremnya atau tidak.” 
Ananta Wijaya, I Ketut Sumarta

No comments:

Post a Comment