Sasih Kaulu: Mulai Ngaben dan Nganten

Setelah Buda Kliwon Pahang, 9 Februari 2000, mulai baik melangsungkan kegiatan upacara perkawinan (nganten) maupun ngaben. Namun, hujan sering mengguyur. Hati-hati dengan blabur Kaulu.
sasih kaulu, foto: widnyana sudibyaSasih Kaulu (bulan Kedelapan) kali ini bermula sejak Saniscara (Sabtu)-Umanis, wuku Pujut, tanggal 5 Februari. Akan berakhir pada Redite (Minggu)-Kliwon, wuku Medangkungan, tanggal 5 Maret 2000 nanti. Dalam perhitungan kalender Bali, sasih Kaulu ini nguya Karo. Artinya, sasih ini terpengaruh oleh karakter umum sasih Karo (bulan Kedua). Itu sebabnya, selain mendung dan hujan deras yang menjadi ciri umum Kaulu, udara dingin Karo pun bakal menghembus. 
Cuma, bila hujan tak kunjung turun, langit bakal tersaput awan tebal. Di siang hari, ini akan menjadikan cuaca sangat gerah, meskipun sinar matahari tak terik. Yang perlu dicermati benar: hati-hatilah dengan intaian blabur Kaulu. Datangnya bisa sewaktu-waktu berupa hujan angin amat lebat beberapa hari sehingga memicu banjir deras. Air sungai keruh. Kalau saja saluran-saluran air di sekitar Anda tak diperhatikan dengan baik, jangan kaget nanti banjir bakal menikam Anda.  

Namun, ada baiknya juga. Setelah Buda (Rabu)-Kliwon, Pahang, 9 Februari, mulai terbuka kesempatan melangsungkan upacara pitrayadnya maupun manusa yadnya. Terutama ngaben (atiwa-tiwa) dan nganten (perkawinan). Buda-Kliwon Pahang dalam tradisi Bali juga dikenal dengan istilah Pegat Uwakan. Saat ini segala upakara berkaitan dengan Hari Raya Galungan, seperti penjor, dicabut. Perangkat lamaktamiang dan lain-lain yang dipasang berkaitan dengan Galungan dan Kuningan pun dicabut lalu dibakar. Abunya lantas ditanam, sebagai simbolik untuk senantiasa menanam pikir, kata, dan laku baik dalam hidup. 
Pegat Uwakan memang jatuh setiap 35 hari (1 bulan) setelah Hari Raya Galungan. Sebelum Pegat Uwakan umumnya desa-desa adat di Bali menghindari adanya upacara perkawinan maupun ngaben. Bila terjadi kematian mendadak, kalau tidak dikubur biasanya akan dilangsungkan makingsan di geni, artinya jasad dibakar namun tanpa upacara ngaben lengkap. Ya, semacam ‘menitipkan’ jasad kepada sang api. Baru setelah Pegat Uwakan usai, upacara ngaben digelar. Tradisi ini tampaknya terkait dengan keyakinan ajaran untuk menjaga kesucian Galungan dan Kuningan sebagai otonan gumi.Dengan pelarangan demikian, alam dijaga kesuciannya, konsentrasi orang pun masih berpusat pada kesucian Galungan dan keheningan Kuningan. Belum dipadati urusan sosial –dalam kaitan tradisi kemasyarakatan dan keberagamaan. 
Maka, setelah melaksanakan pengekangan diri secara lahir batin –yang secara tradisi diistilahkan nguncal balung—dengan jiwa yang baru, suci dan bersih, dimulailah kegiatan sosial dan keberagamaan. Upacara ngaben maupun nganten mulai bisa digelar. Kapan? Hari baiknya bisa berbeda-beda. Para sulinggih yang dimintai subha dewasa (hari baik) oleh orang yang akan melangsungkan upacara tertentu, biasanya menggunakan patokan-patokan tertentu, sesuai dengan jenis upacara yang akan digelar. Subha dewasa ini semacam prakiraan atau ramalan. Dia dipilih sebagai upaya manusia menyelaraskan diri dengan alam dalam bentangan pemilihan momentum waktu. Waktu di sini dipengaruhi oleh posisi benda-benda langit, seperti posisi bintang, bulan, bumi dalam orbit tata surya. Karena itu, jangan heran bila ada satu sulinggih menghindari hari tertentu untuk upacara perkawinan, misalnya, di sisi lain sulinggih berbeda justru malah tak melarangnya. Di samping itu, antara satu lontar Wariga dengan lontar Wariga lainnya terkadang saling bertentangan: ada yang menghindari hari A, ada juga yang malah menganjurkan hari A untuk melangsungkan upacara yang sama. 
ngaben, foto: widnyana sudibyaDalam tradisi wariga (sistem kalender Bali), semua hari pada prinsipnya sebenarnya baik. Tergantung, untuk melakukan apa. Jarang sekali bisa ditemukan hari yang seluruhnya baik untuk melangsungkan suatu upacara, mulai dari hitungan tiga harian (triwara), lima harian (pancawara), tujuh harian (saptawara), hingga pekan (wuku), maupun bulan (sasih). 
Tapi, itu tak masalah. Dalam memilih hari baik dikenal juga ketentuan alah dening dening. Maksudnya, semacam tingkat otoritas pengaruh baik terhadap pengaruh negatif. Misalnya, pengaruh negatif hari (dina) kalah oleh pengaruh positif pekan (wuku). Demikian juga, pengaruh negatif pekan dikalahkan oleh pengaruh poisitif bulan (sasih), dan seterusnya. Pada puncaknya, kesucian hati dan pikiran serta ketulusan melangsungkan kegiatan atau upacara itulah yang paling menentukan. Tentu saja, tak cuma terbatas pada ketulusan si pelaksana upacara, tapi juga sulinggih yang memilihkan hari baik sekaligus memimpin upacara itu. 
Secara lahiriah dalam kaitan upacara itu, halangan atau ‘cacat’ suatu hari diruwat, disucikan dengan banten tertentu. Inilah sebagai ‘penebus’ atas halangan dan pengaruh-pengaruh buruk hari tertentu, sehingga bila pun ada kekurangan suatu hari yang telah dipilih toh tetap saja suatu kegiatan bisa dilangsungkan. Dengan sarana ‘penebusan’ itu diharapkan si pelaksana kegiatan/upacara tak terkena halangan, tak terpengaruh keburukan suatu hari. Ia tetap sadya dan rahayu, sukses dan lancar sesuai tujuannya. 
nganten, foto: widnyana sudibyaJadinya, tradisi pemilihan suatu hari baik (subha dewasa) dalam menyelenggarakan suatu upacara kelihatannya rumit dan ketat, namun sesungguhnya amatlah demokratis. Anda bisa bebas saja memilih hari baik sesuai ‘penilaian’ Anda. Sekadar contoh saja, bila pada sasih Kaulu (bulan Februari) ini Anda ingin melangsungkan upacara ngaben (dalam lontar-lontar diistilahkan: atiwa-tiwa), bisa saja dipilih  Soma (Senin) Kliwon, Krulut, 14 Februari 2000. Atau, Buda (Rabu) Wage, Merakih, 23 Februari 2000. Ada perkiraan berdasarkan perhitungan wariga, hari tersebut segala acara akan lancar (dauhayu) dan sukses (subacara). 
Piodalan di Pura Silayukti, Buda Kliwon Pahang, 9 Februari.
Saat ini juga dilangsungkan upacara Caru Rsi Gana dan Wraspati-kalpa. Upacara ini pertama kali dilangsungkan di pura yang diyakini sebagai tempat pertapaan Mpu Kuturan tersebut, sejak 1970. Dipuput tiga sulinggih, masing-masing Ida Pandita Mpu Pasek dari Geria Manggis-Karangasem, Geria Batu Jimbar, dan Geria Gaduh, Sesetan, Denpasar, rangkaian piodalan yang jatuh bersamaan dengan hari Pegat Uwakan itu usai pada Saniscara (Sabtu) Pon, 12 Februari. 
Ngusaba di Pura Dalem Puri, Sukra (Jumat) Paing, Pahang, 11 Februari.
Acara ini berlangsung cuma sehari semalam. Ida Batara langsung masineb, disimpan.Pujawali Padudusan di Pura Kilap, Denpasar, bersamaan dengan Anggara Kasih (Selasa Kliwon), Tambir, 29 Februari. Lengkapnya pura ini bernama Geria Anyar Tanah Kilap. Lokasinya di Desa Suwung Kauh, Denpasar Selatan. Rangkaian upacara di pura yang disebut-sebut berkaitan dengan kisah perjalanan pendeta mahasakti asal Jawa Timur, Dang Hyang Nirartha, di kaki Pulau Bali ini, akan diawali sejak Saniscara (Sabtu) Paing, Merakih, 26 Februari, pagi. Acaranya: mendak pakuluh (air suci) dari Pura Melanting (Buleleng), Pura Pulaki (Buleleng), Pura Geria Sakti Manuaba (Tegalalang, Ubud), dan Pura Luhur Uluwatu (Badung). Esoknya, dilanjutkan dengan kegiatan sama ke P 1>Hari suci Siwaratri jatuh saban tahun sekali, seperti Nyepi. Bedanya, kalau Nyepi sebagai Tahun Baru Saka datang sehari setelah Tilem Kasanga (= hari pertama sasih Kadasa), maka Siwaratri justru datang sehari sebelum Tilem Kapitu. Kali ini bertepatan dengan tanggal 3 Febrauari 2000. Tradisi Siwaratri merupakan bentuk ajaran Hindu Siwaistis. Pada saat ini seyogyanya umat Hindu melakukan tapa-brata, yoga, dan samadhi sebagai jalan mengasah kesucian batin, kebersihan jiwa. Jadi, bukan dengan begadang semata-mata. Melainkan melek dalam arti simbolik: membangunkan kesadaran sang jiwa (atman) yang ada dalam diri masing-masing agar sadar akan hakikatnya yang suci. Atman yang suci merupakan Amretsya Putrah, Putra Sang Abadi Yang Mahasuci. Karena itu, Hindu senantiasa mengajarkan agar manusia berupaya sekuat-kuatnya untuk bisa kembali menyatu dengan asalnya yang Mahasuci dan Mahaabadi itu. Hanya dengan kesucianlah Dia Yang Mahasuci akan bisa dicapai. 
Siwaratri, karenanya, menjadi momentum  untuk bersama-sama melatih kesadaran sang atman yang ada dalam diri ma-sing-masing untuk menyadari hakikatnya yang suci itu. Cara praktisnya secara awam, misalnya, mengidungkan nyanyian-nyanyian suci seperti mawirama, mendiskusikan ajaran dharma, dan sedapat mungkin melakukan yoga-samadhi minimum tiga jam. Tapi, bagi yang tak mampu, sesuai yang disuratkan dalam kakawinSiwaratri-kalpa gubahan Mpu Tanakung, bisa saja dilakukan semampunya. Dengan begitu, sebenarnya orang dituntun melakukan pengendalian (yama dan nyama brata) diri. Hanya dengan pengendalian diri itulah orang tak akan melakukan kekerasan, apalagi membunuh (himsa). Sikap antikekerasan dan anti membunuh-bunuh (ahimsa) adalah dasar dari ajaran pengendalian itu.
Kakawin Siwaratri-kalpa yang sering dijadikan rujukan pelaksanaan Siwaratri di Bali menyuratkan Lubdhaka sebagai sosok pemburu yang sepanjang hidupnya hanya membunuh-bunuh (himsa karma). Bahkan, dia membunuh-bunuh hewan besar dan kuat, seperti macan, gajah, babi, termasuk badak. Toh begitu, karena kesuntukannya melakukan pemujaan terhadap Siwa yang Mahasuci saat malam Siwaratri –yang menjadikan dia berubah total menjadi anti membunuh-bunuh (ahimsa), atmannya akhirnya bisa mencapai Siwaloka. Siapakah Lubdhaka? Kitab Sarasamuccaya gubahan Bhagawan Wararucci menyebutkan, orang yang disaputi kelobaan hawa nafsu itulah dia si Lubdha.  Karena kelobaannya itu menjadikan dia menemui ke-papa-an. Agar tak jatuh menjadi orang papa, maka seseorang dalam hidupnya harus melakukan punia, persembahan, pengurbanan.
Maka, esok pagi usai melakukan brata Siwaratri hendaknya orang menyucikan diri, lalu menghaturkan punia kepada su-linggih sebagai bentuk pengamalan rsiyadnya, persembahan kehadapan orang suci yang telah berkorban suntuk mempelajari dan meneruskan ajaran-ajaran dharma dan senantisa mendoakan kesejahteraan dan kedamaian. Sulinggih dalam tradisi Bali juga dinamakan Surya, sedangkan umat sebagai sisya. Pengaruh Siwaistis di Bali menjadikan sang sulinggih juga sebagai Siwa. Karena itu, ada yang menafsirkan, punia kepada sulinggih merupakan bentuk persembahan kepada Siwa.

No comments:

Post a Comment