Busung Bali Sulit Dicari

Orang Bali sangat tergantung pada busung (janur). Kebutuhan busung pun tinggi, sehingga harus didatangkan dari Jawa dan Lampung. Tapi ibu-ibu lebih suka busung Bali, karena lebar, lemes, dan mudah menjahitnya. Tapi, busung Bali semakin sulit dicari.
 
Menjelang pukul sembilan malam di Pasar Badung. Para pedagang  sayur yang mengangkut barangnya dengan pikup mulai memasuki areal parkir, beriringan dengan mobil pengangkut buah-buahan. Pikup sayur datangd ari Baturitu, Tabanan. Yang mengangkut buah dari Jember.
Sebuah pikup L300 cokelat tua kemudian masuk. Sopir memutar kendaraannya ke barat, masuk ke utara, lalu berhenti di bagian timur parkir. Kondektur membuka terpal, janur-janur yang tersusun rapi pun tersembul. Orang-orang yang menunggu sedari tadi merubungnya. Mereka merogoh dompet, menyerahkan uang.
Kondektur itu menepiskannya. “Sabar Bu, Pak, sabar, nanti petugas marah,” ka-tanya sembari menggulung terpal. 

Tapi pembeli-pembeli itu terus merubung. Seseorang turun dari pintu kiri. Tampak-nya ia pemilik janur-janur itu. Orangnya gemuk, pendek, rambutnya ikal, perempuan. Matanya jelalatan melirik kiri kanan, menari-cari petugas.
Ia rasa situasi cukup aman. “Kasi saja, Jo!”perintahnya pada kondektur itu. Seo-rang pembeli, memakai pakaian Bali, berdestar, menawar. Setelah kesepakatan harga dicapai, ia menyerahkan uang. Diambilnya dua ikat besar. Begitu uang berpindah tangan, petugas pasar gempal berkumis, menghampiri mereka, marah-marah, karena mobil pikup itu membongkar barang sebelum waktunya. Petugas mencoba membatalkan transaksi. Ia meminta agar pembeli berdestar itu mengembalikan barangnya, dan Jo, kondektur itu, menyerahkan kembali uang itu.
Laki-laki berdestar itu menolak. “Saya membuthkan busung ini segera Pak. Ibu-ibu dan bajang-bajang di tempat saya menunggu busung ini, Pak!”
Petugas itu tak mau peduli. Ia tetap ngotot agar transaksi dibatalkan. Laki-laki berdestar yang keluarganya tengah melangsungkan upacara ngaben itu, tetap menolak. “Saya beli busung ini pakai duit sendiri Pak, bukan uang Bapak,” katanya berani.
Petugs itu marah. “Tapi harus tunggu sampai jam sepuluh. Tak bisa sekarang. Bongkar muat barang baru boleh setelah jam sepuluh.
Laki-laki berdestar itu tiba-tiba memalingkan badannya, melangkah ke timur, ke tepi areal parkir. Dua pesel besar busung itu dipanggulnya. Petugas mengejarnya, tapi lelaki berdestar itu lebih sigap. Ia masuk ke mobil Kijang yang menunggu. Mereka tancap gas kabur ke utara. Si petugas marah-marah.
Busung di Pasar Badung. foto: AgustanayaBisnis busung di Pasar Badung berdenyut kencang setiap hari. Sangat ramai, mengambil pojok timur areal parkir di halaman pasar. Denyut itu mulai terasa sejak pk.19.00, ketika satu persatu mobil pikup memasuki pasar. “Sehari, kalau  hari raya, bisa masuk tiga puluh mobil,” ujar Made Mudana, sopir kendaraan pengangkut janur. Mobil-mobil itu terus berdatangan sampai selepas pukul sepuluh malam. Satu mobil membawa antara 200 - 400 pesel (ikat besar) jaur. Nomor polisi pikup-pikup itu Banyuwangi, Malang, Surabaya. Mereka mengangkut janur-janur dari pohon-pohon kelapa di Jawa.
Satu pesel besar terdiri dari sepuluh ikat sedang. Satu ikat sedang ini bisa dibagi-bagi lagi menjadi delapan sampai sepuluh ikat kecil. Satu ikat sedang harga jual langsung ke konsumen Rp 9.000 - Rp 11.000. Maka satu pesel besar harganya Rp 90.000 - 110.000. Di musim rerahinan harga-harga itu melambung tinggi, bisa sampai lebih 75%. Jangan heran jika harganya bisa membubung sampai Rp 18.500 di hari raya Galungan. Kalau sudah begini, yang mengeluh kencang adalah ibu-ibu rumah tangga, yang jual mahal adalah pedagang-pedagang eceran itu. Dan yang banyak menikmati untung adalah pagang-pedagang dari Jawa.
Para pengecer itu sudah punya langganan sendiri-sendiri. Begitu pikup masuk ke pasar Badung, langganan ini (kebanyakan pedagang Bali) akan menyambutnya. Ja-nur dibongkar, ditempatkan di beberapa pikup kecil sekelas Daihatsu atau Suzuki. Di a-real parkir inilah tawar menawar janur yang ditempatkan di atas pikup. Sudah ada kese-pakatan antara pengelola pasar dengan para pedagang untuk tidak bongkar muat sebelum pukul sepuluh malam. Tapi tak sedikit pedagang yang diam-diam bongkar janur sebelum waktunya, karena ada pembeli yang menawarnya. Jika ketahuan petugas, ya seperti itu tadi yang terjadi: hardik-hardikan, kejar-kejaran, seperti dalam film Hollywood. Kadang ada satu-dua mobil mengangkut janur tanpa punya langganan. Janur ini segera dirubung oleh banyak pedagang. 
Satu pesel busung di atas pikup harganya Rp 8.500. Si pemilik akan mengatakan kepada pelanggannya untuk membayar Rp 9.000 saja. Untung satu pesel cuma Rp 500. Kalau si saudagar busung itu membawa 400 pesel, ia akan mengantongi Rp 200 ribu. Itu perhitungan di saat sepi. Kalau lagi musim ramai, harga jual itu menjadi Rp 10.000 - Rp 11.000. per pesel. 
Seorang pedagang busung di Pasar Badung bisa mempekerjakan lima sampai enam buruh. Mereka, biasanya wanita, ditugasi menunggui busung-busung itu dan melayani pembeli. Jika si pedagang punya cukup modal, ia akan menggunakan dua atau tiga mobil tempat busung-busung itu digelar. Yang modalnya pas-pasan, meminta buruh-buruh yang digaji harian itu menggelar busung di bawah saja.
Seorang buruh penunggu busung bisa menerima Rp 10.000 - Rp 15.000 semalam, plus nasi bungkus. Buruh-buruh itu diberi batasan harga, misalnya Rp 9.000 untuk satu pesel, atau Rp 1.200 per ikat ukuran sedang. Buruh diberi kebebasan menjual lebih mahal, kelebihannya menjadi kentungan mereka. “Tapi lebihnya tak banyak, soalnya pembeli busung di pasar kan pintar nawar,” kata Wayan Darmi, buruh penjual busung. 
Maka menjual janur di Pasar Badung membutuhkan perjuangan tersendiri. Kendati begitu, yang melakoninya sangat banyak. Holik (48) bersama isterinya Mina, harus melakoni perjalanan panjang utuk bisa sampai di Denpaar menjual janur. Busung-busung itu ia kumpulkan dari berbagai tempat di Genteng, Banyuwangi. Biasanya ia pakai mobil pikup, mengangkut 200 pesel janur.  “Biar tak rugi, saya juga bawa selepan, kelapa, dan keperluan upacara lain. Pisang juga saya angkut,”  ujar Holik, yang berangkat dari Banyuwangi pukul tiga sore.
Menjual busung di pikup. foto: AgustanayaIa mengaku keuntungan menjual janur tipis. Kendati hari raya, dan busung banyak dibu-tuhkan, “Tapi persaingan ketat, karena sudah banyak yang tahu dan mengerti pemasaran janur,” ujar bapak empat anak ini. Jika musim sepi seperti sekarang, saya harus nombok dua ratus ribu rupiah,” katanya kepada SARAD awal Februari lalu.
Karena itu, dalam semalam janur belum tentu habis. Biasanya janur-janur itu langsung dibawa ke pengecer di pasar-pasar dan warung-warung. Made Roni (52) pedagang di Pasar Ketapaian, Denpasar, setiap hari menerima limpahan janur-janur tak laku itu. Tapi di musin hari raya, Made punya pemasok sendiri. Di musim ramai itu 6 - 7 mobil pikup mengangkut janur untuk diecer di Ketapaian.
Di pedagang pengecer seperti Made Roni, belum tentu janur habis. “Karena itu saya juga menjual canang,” kata Roni. Busung-busung tak habis itu dijahitnya menjadi canang atau ceper. “Jadi, tak ada janur yang terbuang,” ujar wanita kelahiran Singapadu ini. Limpahan busung ini tak hanya ke pasar-pasar seputar Denpasar, tapi jauh sampai ke Badung Selatan. “Hampir setiap hari saya mengecer busung ke warung-warung di Jimbaran, Nusa Dua, dan Kuta,” ujar Made Mudana. 
Busung-busung yang melimpah sampai ke Badung Selatan itu tetap saja janur yang datang dari Banyuwangi. Konsumen menyebutnya sebagai busung Jawa. Tapi menurut Mudana, itu belum tentu seluruhnya busung Jawa. “Saya pernah ke Banyuwangi, ke daerah-daerah pemasok busung, pohon-pohon kelapa di sana sudah tua-tua dan tidak lagi bisa diharapkan menyediakan banyak busung,” katanya. Lalu dari mana Bali akan mendatangkan janur?  “Busung Lampung sudah mulai masuk Bali,” kata Mudana yakin. Busung-busung itu diangkut truk, dalam bentuk utuh, lalu di Banyuwangi di-lekles (dipisah-pisah menjadi batangan daun-daun). “Baru kemudian dipesel, diikat, dibawa ke Pasar Badung,” kata Mudana. Di sini pembeli tetap mengatakan itu busung Jawa.
Kemana perginya busung-busung Bali?  “Busung Bali ada, tapi sedikit, dan harganya sangat mahal, bisa dua kali lipat busung Jawa,” ujar Nengah Sadri. Janur Bali untuk Denpasar dipasok dari Negara, sementara untuk Bali Timur, seperti Klungkung, dipasok dari Karangasem.
Ibu-ibu lebih menyukai busung Bali. Bukan fanatisme, tapi karena, “Busung Bali lebih lemes, lebih lebar, menjahitnya jadi jauh lebih gampang,” ujar Wayan Kondri, pedagang canang di Pasar Sanglah. Kalau busung Jawa renyah, mudah robek. Orang lebih menyukai busung Bali juga karena lebih panjang. Harganya memang lebih mahal, tapi sebenarnya lebih menguntungkan. Cuma, karena susah mencarinya, apalagi  di musim rerahinan, orang kemudian mau saja pakai busung Jawa, karena tak ada pilihan. Maka di musim rerahinan, busung Bali menjadi rebutan, harganya sangat mahal. Satu ikat kecil bisa sampai Rp 2.000- Rp 2.500 di hari biasa, melonjak jadi Rp 3.500 kalau hari raya Galungan. Satu peel bisa sampai Rp 20.000,-
Bagi orang Bali busung itu seperti beras. Beras memenuhi kebutuhan badan, busung memberi jalan menuju kecerahan jiwa. Jika busung Bali kemudian sulit dicari, adakah jalan menuju pencerahan itu terganggu? “Sebenarnya sama saja, itu kan cuma perasaan, “ ujar Kondri, pedagang canang itu.

Made Sarjana

1 comment:

  1. Om swastiastu info untuk pemasaran busung dan kelapa daksine pak?

    ReplyDelete