Bali oleh Bali


sarad, foto: agustanaya

Perbincangan tentang Bali telah banyak dilakukan orang.  Tulisan-tulisan pun bertebaran, makalah, skripsi, disertasi, buku, novel, pidato pejabat, atau catatan perjalanan anak sekolah ketika piknik memenuhi tugas pak guru. Banyak tulisan itu yang ala kadarnya, main-main, saling kutip, sehingga isinya berputar-putar hambar. Orang kemudian menjadi sangsi: Bali yang sebenarnya itu seperti apa? 

Tapi tentu banyak tulisan yang bagus, dialog dan komentar yang memikat. Pelakunya adalah mereka yang sungguh-sungguh berniat mengenal Bali lebih dalam, terarah, terencana, dalam satu kerangka pengkajian menyeluruh. Mereka tak hendak menampilkan Bali yang sepotong-sepotong, yang bisa meletupkan kesalahpahaman dan kegelisahan.   

Island of Bali karya Miguel Covarrubias misalnya, satu contoh buku paling lengkap tentang Bali hingga kini. Ialah buku sederhana, apa adanya, dan dijauhkan dari kesan nyinyir. Setiap orang yang hendak memahami Bali, patut menjadikannya sebagai pintu gerbang. Sebuah buku klasik yang juga sepantasnya dibaca oleh orang Bali, oleh mereka yang lahir di zaman kini, ketika kehalusan budi dan keluguan tradisi tarik menarik dan saling banting dengan dunia modern yang hingar bingar.  


Tulisan-tulisan itu dilakoni oleh orang-orang dari seluruh dunia. Pengerjaannya melewati berbagai zaman, melintasi ambang batas waktu. Sejak berabad-abad silam hingga entah sampai kapan nanti,  cerita tentang Bali tak habis-habisnya. Ia seperti sumur tanpa dasar, mungkin tempat orang-orang sekadar numpang minum, tapi juga bagi banyak orang untuk membasuh diri. Yang datang  tak cuma mereka yang tidak begitu paham tentang rentetan peristiwa, tapi juga kaum cerdik pandai. Bali menjadi sebuah tempat untuk memasuki jiwa yang baru.  
Jiwa yang baru itu adalah spirit yang disuguhkan dengan tulus oleh manusia Bali, oleh alam dan lingkungannya. Kaum cerdik pandai yang datang pun mengkajinya, yang kemudian memberinya nama besar dan keluhuran hidup. Sementara orang-orang Bali, seniman, maestro, krama banjar, tetap hidup seperti sedia kala, sebagian yang lain berdesak-desak dalam balutan dan kocokan tradisi dengan modernisasi.

Bali memang sebuah spirit, yang juga mengilhami lahirnya SARAD, majalah ini. Spirit itu tak sebatas cuma untuk Bali, tapi juga bagi mereka yang hendak mengenal dan memahami Bali. Spirit bagi siapa saja yang berniat memasuki jiwa baru yang sungguh-sungguh Bali. Sebuah spirit yang mungkin kelak bisa menjawab pertanyaan, mengapa tentang Bali banyak ditulis oleh orang luar, tidak oleh orang Bali.
  
Teks dari luar tentang Bali acap kali dirasakan terlampau sistematik, sehingga kehilangan rasa kebaliannya. Kalaupun geliat Bali terasa, misalnya karena penulisnya tinggal lama dan bergaul di tengah masyarakat Bali, ia tak sanggup menampakkan sosok dengan roh Bali. Orang kemudian mengira-ngira, itu terjadi karena tidak dikerjakan oleh orang Bali, sehingga teks – kendati tajam dan jitu –  menjadi kering dan meranggas. Sebab yang dituju semata adalah kebenaran dan ketepatan berdasar kejujuran dan objektivitas.
  
Penampilan teks Bali oleh orang Bali sejak lama menjadi kerinduan. Sayangnya sedikit cerdik pandai Bali yang senang menulis. SARAD, karena itu, mencoba mengisi rasa kangen itu. Sehingga tulisan tentang manyama braya (kekerabatan) misalnya, lebih berjiwa, menjadi otentik dan unik. Tulisan dan liputan tentang keagamaan (Hindu) akan menyuguhkan ketakwaan orang Bali. Membaca SARAD kita tak cuma memperoleh informasi bagaimana rasa bakti (religiositas) manusia Bali, tapi juga tentang harapan dan senda gurau mereka. Maka SARAD tidak akan menulis agama sebagai khotbah, atau politik dan kekuasaan dalam wujud praktek dan fisik. SARAD mengupayakan tulisan yang berada dalam titian kerangkatatwa, susila, dan upakara. Ia diidamkan menjadi majalah gumi (jagat). 

Tentu ini selaras dengan sarad yang berarti sesaji yang terbuat  dari kue-kue besar melambangkan isi dunia. Dalam setiap karya agung keagamaan di Bali, sarad senantiasa dibuat dan ditempatkan di depan gerbang masuk. Majalah ini akan menterjemahkan makna itu dalam setiap edisi yang terbit sebulan sekali. Ia diharapkan menjadi pintu gerbang bagi siapa saja yang berniat memahami prihal pikir, kata, dan tindak manusia Bali, di Bali, dan di belahan dunia mana pun mereka berada. 

Sarad yang sepenuhnya dibikin dari isin gumi, isi semesta, bagi masyarakat Hindu-Bali selain membentangkan simbolik makna kebenaran spiritual (satyam), juga menampakkan secara gamblang kemuliaan/kesucian (siwam) dan keindahan (sundaram). Jaja sarad yang biasanya didominasi warna atraktif makenyah Bali tulen, seperti merah, kuning, dan hitam ini memang mempesona di antara sajen-sajen persembahan lainya. 

Sarad juga bermakna usungan dan mohon bantuan. Tentu tepat, jika majalah ini menempatkan dirinya sebagai media untuk diusung bersama, menjadikannya tempat untuk saling membantu dalam filosofi manyama braya. Karena itu paras-paros (kebersamaan) melatarbelakangi kelahirannya. 

Cuma beberapa orang yang melahirkan SARAD, memang. Namun ia diharapkan menjadi milik banyak pihak. Hanya dengan begitu majalah ini sungguh-sungguh menjadi media Bali oleh Bali, dengan sajian yang unik dan otentik.
   
Selamat membaca dan Selamat tahun baru 2000.  

No comments:

Post a Comment