Sija, Orang Bali Miskin yang Berkecukupan


bapa sija di rumahnya. foto: dianthaIa dikenal sebagai seniman multidimensi: pencipta wayang arja, pembuat sarad, penari, undagi, pelukis, yang menjadi guru ba-nyak murid. “Saya orang miskin yang berkecukupan,” akunya. 

Di zaman Soekarno ada dua desa di Bali yang sangat terkenal: Tampaksiring dan Bona, keduanya di Gianyar. Tampaksiring terkenal karena di sebuah puncak bukit berdiri istana kepresidenan, mendongak di atas Pura Tirtaempul. Dan Bona tersohor karena di dusun itu bisa dijumpai pertunjukan cak terbaik. Jika menyebut  cak, langsung orang terngiang-ngiang Bona.  

Ke kedua desa itu Soekarno sering berkunjung, karenanya jalan menuju dusun-dusun itu mulus, seperti aspal hotmix masa kini. Di hari Galungan banyak anak-anak plesir ke Bona bersepeda, untuk merasakan kenikmatan meluncur di atas kereta angin tanpa guncangan sedikit pun.  

Tampaksiring sampai kini tetap dikenal dengan istananya, namun Bona tak lagi beken dengan cak. Banyak sekaa cak bagus-bagus dari desa lain di Bali Selatan bermunculan. Namun kalau sekarang orang menyebut kerajinan ental (daun lontar), seperti tas, keranjang, bakul, a-nyaman, orang langsung menyebut Bona. Desa ini berhasil melahirkan ciri nama baru: desa perajin lontar.  

Di kalangan seniman dan pemeluk Hindu yang teguh, Bona membawa pula ciri baru: tempat berta- nya sastra agama dan kreativitas seni. Tempat itu melalui gang sempit, di sebuah rumah khas Bali dengan lumbung besar di timur dapur. Di situ seorang laki-laki, 70-an tahun, kakek delapan cucu, menghabiskan waktunya sejak ia lahir dan beranak pinak. Laki-laki berperawakan sedang itu, Made Sija, menjadi sosok yang memberi makna baru bagi Bona. “Ke rumah Bapa ini siapa pun bebas ke luar masuk. Bapa menerimanya de-ngan baik, karena mereka semua o-rang baik-baik,” ujar Sija.  

Orang cukup memanggilnya Bapa, panggilan terhormat untuk laki-laki Bali dari golongan biasa, bukan dari sosok triwangsa. Bagi Sija, panggilan Bapa langsung membersitkan jiwa kerakyatan, bahkan mengesankan panggilan untuk o-rang-orang tiwas (miskin). “Saya memang orang miskin, tapi orang tiwas yang berkecukupan, tak merasa kekurangan apa pun,” jelasnya. 

Tentu ini bukan kata-kata buat menyombongkan diri. Tidak untuk membangun suasana merendahkan diri yang acap kali dilontarkan oleh mereka yang sebenarnya kaya. Ini kalimat bersayap yang menyiratkan, hidup yang kaya sesungguhnya adalah romantika kemiskinan yang luhur.   

Sija memberi contoh. “Jika saya punya kerja adat, saya tak khawatir kekurangan material. Ada saja yang mengantar beras, daging, janur, atau bambu.” Ia hendak me-ngatakan, kemiskinan pun adalah sebuah rejeki. 
Kerja adat adalah karya. Bagi Sija, orang-orang miskin adalah pelaku-pelaku karya.Siapa saja yang rajin matetulung jika ada kerabat punya karya, akan menerima pahala dari pertolongan-pertolongan yang pernah ia berikan kepada orang lain.Dan Sija tak hanya dikenal sebagai orang yang ringan matetulung atau ngoopin untuk o-rang-orang sedesanya, tapi ke desa-desa di seluruh Bali. Sebagai seniman ia rajin, tekun dan tulus, memberikan apa yang ia kuasai. Ia mendalang, menari topeng, membuat sarad atau gayah, bagi siapa saja yang memintanya, untuk orang-orang yang sedang sibuk punya karya. Ia bahkan menciptakan sarad knockdown, sehingga bisa dibongkar pasang, memudahkan membawa atau memindahkannya.  

Kalender Bali yang tergantung di meten rumahnya, angka-angkanya penuh oleh bulatan-bulatan supidol, menandai ke mana hari itu ia mendalang atau nopeng bagi mereka yang punya karya. Di rumahnya, anak-anak dan kerabatnya acap kali suntuk membuat sarad. Di rumah itu sering tampak kesibukan memotong babi untuk membuat gayah. Banyak orang mengakui, sarad atau gayah garapan Sija rinci, ketat, penuh detail, dan pangus (cocok dan pas).  

Dari membuat karya-karya seni itulah rumah tangga Sija hidup: membeli beras, mengasapi dapur. Ia mencoba meyakinkan lingkungannya, kesenian tak hanya memberi kedamaian jiwa dan kehangatan spiritual, tapi juga kebutuhan hidup fisik: menyediakan kecukupan sandang dan pangan. Filosofi seperti ini senantiasa coba ia tanamkan bagi seniman mana saja, tradisi dan modern, yang berkunjung ke rumahnya, yang acap memintanya lama bercakap-cakap untuk menuangkan filosofi berke-senian.  

Dan Sija akan melayani mereka sampai kapan pun mereka suka. Ia tahan bercerita berjam-jam, dengan suara lantang, lugas, dan lurus. Bicaranya jadi menarik karena ia kaya referensi. Ia suka membahas tattwa diselingi gending-gending. “Banyak gending-gending itu tidak ada lontar, tapi saya karang sendiri,” akunya. 
Yang pasti, ia tahan bicara dan duduk berjam-jam, karena ia seorang dalang. Ia punya stamina hebat dan bakat luar biasa untuk merakit sastra agama menjadi patokan dalam pelaksanaan hidup keseharian. Awalnya ia memang dalang, bahkan kini, berpuluh tahun kemudian, ia berhasil menjadikan dalang tak hanya sebagai sebuah profesi, tapi sebagai sebuah pribadi. Ia menjadikan dalang sebagai tumpuan jiwa.  

Karena itu ia terus menerus menelusuri lontar. Ia yakin perpustakaan atau kamus ada di mana-mana. Jika ia tertarik pada sebuah keluarga yang punya lontar langka, ia akan ngayah ke sana. “Saya mau mendalang atau nopeng di keluarga itu jika punya karya, lalu lontar mereka saya pinjam dan saya pelajari,” katanya. Ia ingin menyiratkan, hakikat pengetahuan tak harus didapat dengan mengeluarkan uang, tapi berkat kemampuan dan keterampilan. “Yang terbaik, memang, kita mencari pengetahuan dengan pengetahuan, tidak dengan uang,” katanya.  

Begitu banyak ia membaca kepustakaan lama,sampai bisa menarik satu benang merah yang mungkin membuat banyak o-rang tercengang. “Saya tak pernah percaya lontar, tapi saya terus dan senang mempelajarinya,” katanya. Alasannya, karena lontar disusun manusia, pasti banyak keku- rangannya.  

Sikap ini menuntunnya untuk mempe-lajari aneka ragam kesenian Bali, yang justru banyak dijumpainya di banyak lontar. Setelah menguasai pedalangan, ia belajar nopeng, lalu belajar menakik kayu, membuat tapel, membangun bade. Ia kemudian menerima gelar yang diidam-idamkan seniman tradisi: menjadi seniman komplet. Menjadi sangging. Sija kini dikenal sebagai dalang, pregina, penabuh, sastrawan, undagi, pelukis. Namun seperti kebanyakan orang tradisi yang kian menguasai kesenian dan tattwa, ia mengaku, “Sebenarnya yang saya tak pahami masih sangat banyak. Bapa ini masih terus belajar.”  

Bagi Sija bekerja adalah belajar. Ia menjadikan bekerja sebagai sebuah proses pencarian idiom-idiom baru. Dari perjalanannya melakoni dan mengkaji kesenian, ia  akhirnya paham, zaman telah melahirkan tak hanya cabang-cabang seni, tapi juga filosofi berkesenian. Sekarang ia berhasil mengelompokkan tiga macam seni berdasarkan tujuan orang melakoninya. Yang pertama adalah seni ekonomi. Seni macam begini diumbar untuk tujuan bisnis.Orang menciptakan karya untuk menyabet uang sebanyak-banyaknya.  

“Yang kedua adalah seni bakti, seni yang dilakoni oleh leluhur kita,” ujar Sija. Seni begini digiatkan oleh orang-orang yang berkesenian untuk ngayah, buat persembahan di pura dan kegiatan keaga-maan. Yang ketiga adalah seni sosial, yakni seni yang dilakoni oleh seniman yang merasa bahagia jika membagi ilmunya kepada orang lain, acap kali tanpa imbalan. “Bahkan sering memberi bekal murid untuk ongkos pulang,” jelas Sija.  

Seniman yang digolongkan dalam ke-lompok ketiga ini adalah seniman pemurah. Dan Sija sunguh-sungguh bisa dikelompokkan ke golongan ini. Ia dikenal sebagai seniman sosial, murah hati, tidak hanya di desanya, tapi di kalangan seniman di Bali, luar Bali, dan luar nege-ri. Ia disegani sebagai guru dan seorang pemberi. Sebagai dalang, penari, undagi, pembuat topeng, ia sangat boros membagi pengetahuannya. Hikmahnya adalah, ia harus senantiasa tampil lebih dibanding yang lain, dibanding murid-muridnya. Karena itulah ia mengaku terus menerus belajar. Dengan begitu ia selalu punya sesuatu  yang baru untuk diberikan kepada murid-muridnya. Dengan menjadi guru, ia terus menerus menjadi murid.  

Di rumahnya, suasana berkesenian selalu muncul, menjadi highlight yang terus berbinar. Ia menjadi tonggak yang diikuti oleh keturunannya. Cucu-cucunya sangat dekat dengan Sija, karena anak-anak itu senantiasa ingin kakeknya menirukan suara gamelan, dan anak-anak itu dengan tangkas menari. Mereka menari baris, jauk, dan tiba-tiba mengambil topeng yang tengah dikerjakan sang kakek, mengenakannya, dan menari. Acap kali Sija terengah-engah capek menirukan suara gemalan, dan anak-anak itu tak mau berhenti menari. Mereka merengek terus agar diiringi dengan gamelan dari mulut Sija.  

Made Sija adalah seniman yang tipikal Bali. Ia menjadikan seni sebagai sebuah e-sensi. Ia ingin seni digeluti  intens oleh keturunannya. Anaknya, Made Sidia, dosen pedalangan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar, disegani oleh ba-nyak seniman mancanegara. Ia sering berkolaborasi de-ngan seniman-seniman  luar negeri. Dan pengaruh sang ayah sebagai dalang melekat kuat pada sang anak. Tentu Sija sangat bangga akan hal itu. Ia bangga pada kesempatan-kesempatan yang berhasil direbut oleh darah dagingnya. Ia berhasil membuktikan, daya pikat Bali, keotentikannya, memang benar-benar pada kesenian. Sija mengajak siapa pun seniman yang menjadikan seni sebagai tempat mewujudkan rasa bakti, hendaklah juga menjadikannya sebagai pilihan hidup.  

Berkesenian sebagai pilihan senantiasa ia tanamkan pada murid-muridnya, sehingga ia rajin mengajak seniman siapa saja yang magang padanya untuk pentas di mana pun Sija diminta manggung. Sija tak pernah memilih, apakah seseorang itu baru belajar, sudah kondang, atau memang te-ngah dalam pencarian identitas sebagai penari. Sija bersedia pentas dengan seniman kaliber macam apa pun. Dengan pemula pun ia sudi menari. Acap kali orang-orang menyayangkan keputusannya ini. “Masak Bapa Sija yang sudah kondang sudi menari dengan penari arja pemula,” sesal orang acap kali. Tapi Sija tak peduli.   

Karena itu yang datang padanya berguru dari kalangan macam-macam. Dari seniman kampung yang mau menjadi penari sungguh-sungguh, kalangan intelektual, seniman modern, seniman tradisi, dan orang-orang yang sekadar mampir karena kebetulan tahu popularitasnya. Banyak yang datang cuma sekadar ngobrol, dan Sija menyambutnya penuh antusias.  

Disitulah kelebihan Sija. Ia menjadi penerima dan pemberi. Ia menjadi tempat untuk menumpahkan, dan tempat untuk memetik. Ia nyaris tak punya batas dengan tamu-tamunya. Ia cepat akrab dengan o-rang yang baru pertama datang padanya.  Temannya mengobrol jadi senang, karena mereka seperti menonton sebuah pertunjukan monolog. “Kalau Sija bicara dan menjelaskan, ia tak hanya aktor, tapi sebuah teater,” komentar orang-orang itu.  

Sedikit seniman Bali yang bisa menjadikan dirinya sebagai sebuah pertunjukan. Banyak yang kalem, lugu,  pendiam. Tapi Sija memiliki karakter yang penuh gerak. Seniman yang memulai kariernya sebagai dalang ini, akhirnya menjadi nara sumber kesenian dan kehidupan Bali. 
AS 

No comments:

Post a Comment