Menelusuri Jalan Leluhur di Blitar

Pura kahyangan jagat berdiri di Blitar. Arsitekturnya khas Jawa Timur. Padmasana-nya menggunakan dasar ular kobra, bukan naga. Selain sebagai tempat persembahyangan, pura ini memang dimaksudkan untuk menggali kembali kebudayaan Hindu di Jawa yang telah lama terkubur.

Ada kesan sangat lain menyusup ke sanubari ketika kami, sejumlah mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, mengikuti upacara piodalan di Pura Penataran Prabha Bhuwana, Blitar, Jawa Timur. Sekilas memang mengingatkan kami pada upacara-upacara piodalan di pura-pura di seantero Bali. Namun, segera kami tersadar, saat itu, kami bukan menjejakkan kaki di tanah Bali, melainkan di sebuah daerah yang dikenal sebagai tanah kelahiran mendiang Presiden RI Pertama, Soekarno  —ratusan kilometer di sebelah barat tanah Bali. 
Alunan gamelan yang mengiringi gemulai tarian Jawa memberi nuansa lain. Kidung-kidung dalam bahasa Jawa yang mengiringi Rama Pandita, pemimpin upacara setempat, menguncarkan bait-bait mantra pengantar yadnya pun menumbuhkan kesan tersendiri. “Nuansa religiusnya berbeda. Seperti masuk ke zaman Kerajaan Majapahit saja,’’gumam seorangteman.
Braya Hindu Jawa ngayah di Pura Besakih. foto: widnyana sudibyaBegitulah, kesan budaya setempat memang sangat kuat tertangkap di Pura Penataran Prabha Bhuwana –dan kami pun sangat suka itu. Memang, sebagaimana halnya saat piodalan pura-pura di Bali, warga Hindu di Blitar pun menghaturkan sesajen berupa pajegan. Sesajen ini juga dirangkai tinggi, layaknya di Bali. Cuma, tingginya tentu saja tak seatraktif yang biasa terlihat di Pulau Dewata. Beda lainnya, kalau di Bali pajegan dibuat dengan merangkai aneka buah hasil kebun atau hutan dan aneka kue, di Blitar yang dirangkai adalah hasil bumi asli setempat.  Misalnya, tomat, pisang, ketimun, dan jambu. Kue-kuenya pun berbentuk asli lokal. 
“Pajegan tak hanya dihaturkan saat piodalan. Setiap Purnama dan Tilem pun umat Hindu di Blitar menghaturkan banten pajegan,’’ ungkap Eko Susiadi, tokoh pemuda setempat yang lama menimba ilmu di Bali ini.  

Uniknya, setiap usai persembahyangan, semua warga Hindu di sini tidak langsung kabur meninggalkan pura. Mereka semuanya sabar menunggu satu kegiatan istimewa. Itulah: nyurud. Semua banten pajegan yang telah dihaturkan tadi, kemudian disantap bersama-sama. Tanpa perbedaan jenis kelamin. Tanpa perbedaan umur. Juga tanpa perbedaan status sosial. Di sini semuanya baur, paras-paros kalau istilah di Bali. Dengan demikian, nyama-braya Hindu di Blitar ini mewujudkan kebersamaan sekaligus kesamaan, melakonkan solidaritas senyata-nyatanya. 
Tak heran bila nyurud ini menjadi detik-detik yang dinanti-nantikan. Begitu persembahyangan dinyatakan selesai, anak-anak pun langsung mengambil ancang-ancang untuk nyurud di depan pajegan. Tingkah polah anak-anak kecil ini menjadi bagian yang menyatu dengan kemeriahan piodalan dan rasa syukur umat Hindu di Blitar. Di sana, ada lucu, ada keriaan dan kepolosan. Ada juga keikhlasan dan ketulusan. Semuanya duduk melingkar layaknya orang magibung di Bali, lantas santap bersama. Di samping banten pajegan yang sudah dihaturkan, biasanya masing-masing sudah berbekal makanan dan lauk-pauk dari rumah. Di Bali, mungkin di Pura Ulun Danu Batur-lah yang masih secara rutin menyisakan kegiatan serupa, yang dinamakan maprani. 
‘’Nyurud dan makan bersama ini memang menjadi tradisi setelah menghaturkan bakti bersama,’’ ujar Eko yang juga sarjana peternakan jebolan Unud ini.
Rasa kebersamaan itu kini memang kian mengkristal di kalangan umat Hindu di Blitar. Pura Penataran Prabha Bhuwana itu pun tak bakalan pernah ada kalau tanpa keeratan rasa kebersamaan umat sedharma di sana. Sebagai pura kahyangan jagat, selain sebagai tempat persembahyangan, Penataran Prabha Bhuwana juga direncanakan digunakan sebagai tempat pendidikan agama dan seni budaya Jawa. Dalam desain besarnya, pura penataran ini dibangun dengan maksud untuk menggali kembali budaya Jawa, utamanya budaya agung Majapahit.
Pura ini memang dibangun dengan arsitektur khas Jawa. Mulai dari palinggih, bangunan wantilan, hingga tembok panyengker-nya pun menggunakan dasar perhitungan asritektur Jawa. Meskipun para undagi (arsitek) penggarapnya dari Bali, namun desain dan ukirannya tetap menonjolkan budaya Jawa. Sehingga, pura ini secara keseluruhan memang menampakkan ciri ragawi yang berbeda dengan pura umumnya di tanah Jawa yang sangat kental warna Bali-nya. 
Palinggih utama Padmasana, misalnya, lebih menyerupai candi yang memang bertaburan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kalau di Bali Padmasana dibelit naga di bawahnya, di Blitar ini dasar Padmasana justru dibelit ular kobra. Ukiran kepala naga di sini diubah menjadi kepala ular kobra. “Penggunaan unsur candi dan ular kobra lebih merupakan pendekatan budaya, dan sebelumnya sudah melalui diskusi mendalam,’’ papar Parbasana, kontraktor yang ikut merancang desain pura ini. 
Wanita-wanita Jawa Hindu di Besakih. foto: widnyana sudibyaPinandita pura setempat, Suproyono, mengisahkan, awalnya dasar Padmasana sudah dibuat terbelit ukiran naga, layaknya di Bali. Namun, kemudian diganti lagi. “Setelah melewati laku spiritual, kami sepakati menggunakan ular kobra. Kebetulan di daerah sini banyak terdapat ular kobra,’’ jelasnya.
Mendiang Daryanto Ugroseno, sesepuh warga Hindu di Blitar, semasa hidupnya memang senantiasa menekankan agar umatnya di sini senantiasa berusaha menggali kembali budaya Jawa. “Untuk mengingat budaya dan adat Jawa Timur, sekaligus menghargai karya leluhur, sebagaimana di Bali yang budayanya kental,’’ ujarnya suatu kali. Dan, umat di Kendalrejo ini, nyatanya, memang rajin belajar tari, tabuh, dan kidung asli Jawa Timur, selain rajin mengikuti pertemuan atau ceramah-ceramah agama yang digelar secara rutin. Bahkan, orang Bali yang banyak sudah menjadi warga desa di sini pun turut membaur, mempelajari budaya setempat. Mereka tampak tak hendak ‘mem-Bali-kan’ masyarakat Blitar. Sebaliknya, justru secara bersama-sama mengisi diri dengan ajaran dharma. ‘’Saling mempelajari kebudayan bukan tidak mungkin terjalin di antara kami,’’ kata Ugroseno, saat-saat akhir hayatnya. 
Desa Kendalrejo sendiri hanya sebuah desa kecil di Kecamatan Talun, di sebelah timur Blitar.  Di desa ini Hindu berkembang sejak 1966 silam, bersamaan dengan berkembangnya agama Hindu di desa-desa lain di Kabupaten Blitar. Kini pemeluk Hindu  di desa yang tenang ini kurang lebih 1.000 orang atau 200 KK. Mereka tersebar di dua dusun. 
Hindu di Kendalrejo berkembang sebagai kesadaran sebagian masyarakat terhadap ajaran leluhur mereka. Umumnya mereka masyarakat petani kecil yang awalnya tercatat sebagai penganut aliran kepercayaan Kejawen. Aliran kepercayaan ini secara jelas menggariskan laku hidup yang dirumuskan sebagai angger-angger ngunduh wohing tumindak. Maksudnya, setiap laku akan memberi pahala. Baik laku, baik pula buahnya. Buruk polah, buruk juga yang akan dipetik. Ringkasnya, keyakinan ini sama de-      ngan hukum karmaphala dalam Hindu tulen. 
Keselarasan ajaran aliran Kejawen dengan Hindu ini akhirnya membuat nyama braya di Blitar memantapkan diri masuk sebagai penganut Hindu. Politik otoriter Orde Baru yang mewajibkan setiap warganegara memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah, turut pula mengantarkan mereka bergegas lapang memilih Hindu. Untuk lebih memantapkan diri, beberapa pemuka masyarakat Kendalrejo pun meluncur ke Bali. Di Pulau Dewata ini para tokoh adat Kendalrejo belajar lebih jauh soal pelaksanaan ajaran agama Hindu.
“Berbekal buku Upadesa, mantram Tri Sandya, dan tuntunan Panca Sembah, mereka kembali ke Blitar dan dengan tekun membimbing umat Hindu di Kendalrejo bahkan daerah lainnya di Kabupaten Blitar,’’ Eko Susiadi mengenang usaha tokoh-tokoh agama di desanya yang kini sudah berpulang satu per satu. 
Awal-awalnya, umat Hindu di Blitar beribadah dengan tatacara tradisi setempat. Itu pun dilakukan di sebuah rumah sederhana milik Karso Medjo. Di rumah Pak Karso inilah pertemuan rutin dilakukan, lalu diikuti dengan persembahyangan dan belajar agama bersama-sama. Dari sini secara bertahap kemudian dibangun sebuah ba-ngunan mirip palinggih tugu di Bali. Ba-ngunan suci ini oleh warga Hindu di Blitar, saat itu, dinamakan Sanggar Pemujaan. Setelah bergiat mengumpulkan dana sedikit demi sedikit, beberapa tahun kemudian Sanggar Pemujaan berkembang menjadi pura kecil. Namanya, Pura Marsudi Dharma. “Hanya ada sebuah palinggih sederhana saat itu,” kenang Eko.
Kini, setelah melewati waktu tiga dasawarsa lebih, nyama braya di sana memiliki sebuah pura panataran yang lumayan megah. Peletakan batu pertama dilakukan September 1997. Kini baru usai dibangun tahap pertama, berupa palinggih Padmasana dengan areal pemujaan yang cukup luas. Masih ada dua tahap lagi yang belum rampung. Meski demikian pura ini sudah ramai dikunjungi umat yang tangkil mabakti. Tak hanya umat Hindu Blitar dan seantero Jawa Timur yang tangkil ke sana. Bahkan dari Bali pun tak luput umat secara periodik pedek ke pura yang sebelumnya bernama Pura Dharma Bhakti Satya Wulung itu. 
Di tengah himpitan krisis ekonomi yang membelit, kini secara bergotong-royong umat Hindu Kendalrejo berupaya menyelesaikan tahap akhir pembangunan pura. “Terus terang kami masih membutuhkan bantuan baik sarana pendidikan maupun materiil untuk pengembangan sumber daya umat,’’ harap Eko. Laki-laki lajang ini yakin, “Ajaran leluhur kami akan kembali jaya di tanah Jawa. Respons umat sungguh luar biasa sema-ngatnya.” Nah, adakah Anda terketuk untuk peduli pada nyama braya di Blitar sana?
Jung Iryana 

No comments:

Post a Comment