Yang Bergerak Terus: Wayan Tangguh

Wayan Tangguh membukukan dirinya sebagai penakik tapel (topeng) terbaik yang kini dimiliki Bali. Ketika muda ia sangat miskin, di hari tua ia sangat pemurah.
Wayan Tangguh dan deretan karyanya. foto: wayan dianthaApakah yang bisa dilakukan oleh mereka yang papa? Yang karena dirubung kemiskinan, sangat akrab dengan kenestapaan hidup? Penakik topeng Wayan Tangguh tahu persis jawabannya: jangan diam, teruslah bergerak. 
Bergerak bagi Tangguh artinya bekerja. Zaman sekarang bekerja bisa diartikan persis untuk mendapat uang. Dengan uang orang sanggup menyelesaikan banyak hal:  Tapi, karena begitu getir masa kanak-kanak dan remaja Tangguh, berkerja di tahun 30-an bisa cuma berarti untuk sekedar makan. Di rumahnya tidak selalu tersedia cukup makanan. Maka ketika Tangguh muda mulai bekerja, yang ada dibenaknya adalah, “Saya bekerja untuk meringankan beban orang tua,” katanya.
Di zaman itu, di tempat kelahirannya Banjar Mukti, Desa Singapadu, Gianyar, pusat kerja tidak di toserba, pabrik, atau pasar swalayan, tapi di puri, tempat para penguasa lokal berada. Di puri pula banyak masalah digelar dan dise-lesaikan. Ke sini orang bisa datang untuk mohon kelangsungan hidup, meminta petunjuk untuk bisa menduduki jabatan dan memuluskan karier. Maka tak keliru jika Wayan Tangguh muda datang ke Puri Singa-padu. Di sana ia berte-mu dengan Ida Co-korda Oka Tublen. 


Beruntung Oka Tublen tak cuma seorang perekanggo (penguasa), tapi juga pemuja seni. Ia bangsawan yang sangat menguasai seni ukir, khususnya seni ukir kulit dan topeng. Tublen pun dengan tangan terbuka menerima kehadiran Tangguh, sebab anak muda ini punya benang merah sejarah di Puri Singapadu.
Kakek dari Wayan Tangguh adalah seorang adipati puri, menjadi kepercayaan penguasa. Cinta kemudian membawanya ke nasib buruk: ia menikahi seorang penyeroan (abdi) puri. Karena itu ia harus dihukum. “Semestinya kakek  diasingkan, dan didenda. Tapi mengingat jasa-jasanya, ia hanya dikenani sangsi tak berhak lagi menggarap sawah. Karena itulah kakek jadi miskin, ayah saya miskin, dan saya pun miskin. Di keluarga kami kemiskinan itu menular, kami menderita turun temurun,” ujarnya te-nang.
Dan bergerak te-rus, bekerja, menyelamatkan Tangguh. Ia rajin, tekun, dan taat, mengikuti nasihat gurunya, Cokorda Tublen. Kendati ia tidak tidur di Puri, ia datang  dan pergi se-perti pegawai kantoran. Pagi-pagi ia sudah tangkil, melanjutkan pekerjaan kemarin, atau menanyakan, apakah ada pekerjaan baru yang harus dikerjakannya.
Ia menekuni mengukir kulit. Ia pilih pengetahuan dan pekerjaan mengukir busana barong. Singapadu memang terkenal akan barongnya. Di Batubulan, tetangga Singapadu, tari barong hingga kini menghidupi banyak orang, mulai penari, sopir taksi, pemandu wisata, penjaga tiket masuk, sampai ke pedagang kaki lima. Kesenian itu digelar untuk memancing dollar ke kantong.
Tangguh, foto: wayan dianthaTapi Tangguh bukanlah anggota sekaa barong. Ia justru lebih mengarahkan diri-nya sebagai pencipta dan pembuat pakaian barong. Pertama kali membuat pakaian barong, upah yang diterimanya sangat kecil. Tapi katanya, “Saya sudah bisa pu-nya penghasilan sendiri.”
Itulah Tangguh yang miskin. Awalnya, dengan tidak diam, dia bisa meringankan beban orang tua. Kemudian, dengan terus ber- gerak, ia punya penghasilan sendiri. Ia menyelesaikan persoalan hidupnya lewat proses, perla-   han, pasti, tak perlu sekali jadi.
Bersama enam kawan sebaya yang datang berguru ke puri, ia yang paling tangguh. Apalagi kemudian ia diajak keliling Bali memulas barong di banyak pura. Dengan begitu ia bisa mengintip teknis  memulas barong agar “berkarat”, punya taksu.
Cokorda Tublen perlahan-lahan memberinya kepercayaan untuk menyelesaikan secara penuh sebuah pekerjaan.Ini berarti ia mulai dipercaya menyelesaikan sendiri sebuah “proyek”.
Tahun 1971 ia mulai bekerja sendiri di rumah, tak lagi harus datang ke puri. Sang guru merestui hasrat murid yang sangat berbakat ini. Yang dikerjakan Tangguh masih tetap pesanan yang diserahkan ke puri. Ia masih sering berkonsultasi dengan sang guru. Itu masih tetap dilakukannya ketika ia sudah menerima pessanan langsung, tak lagi lewat puri.
Tapi tangguh tetap menghargai gurunya lebih dari yang lain.Setelah pekerjaan selesai, ia antarkan sendiri pesanan itu ke puri. Cokorda Tublen menyerahkan seluruh ongkos untuk Tangguh, tapi Tangguh menolak. “Tak layak hamba menerima semuanya, Ratu Cokorda,” ujarnya. “Semestinya ada bagian untuk puri.”  Cokorda Tublen menginginkan Tangguh menerima semua ongkos itu, tapi Tangguh tetap menolak. Akhirnya ia mengambil setengah saja, kadang dua pertiga.
Studio Wayan Tangguh, foto: widnyana sudibyaKarena itu puri sangat menghargai ke-tulusan dan kesederhanaannya. Jika di puri ada pertemuan khusus membuat barong atau memulas tapel, ia selalu diikutkan. Puri juga memberinya banyak kesempatan untuk me-nimba pengetahuan membuat topeng de-ngan seniman-seniman dari Amerika, Italia, Perancis, untuk perbandingan.
Tangguh pun kemudian sungguh-sungguh tangguh sebagai pembuat tapel. Tahun 1984 ia merebut juara pertama lomba membuat tapel topeng tua, dan juara kedua membuat topeng putri yang diselenggrakan Pemda Bali. Ia semakin dikenal banyak orang, ia menunjukkan sosoknya yang tangguh sebagai penakik topeng. Karya-karyanya diminati kolektor, disegani seniman-seniman ukir dan pregina (seniman tari)
Setiap pregina yang datang padanya hendak membuat topeng untuk dipentaskan, ia selalu mengajukan pertanyaan, “Siapa yang akan memakai topeng itu?” Petanyaan pertama ini penting untuk tapel yang akan dipakai masolah (menari). Pertanyaan kedua adalah, bagaimana latar belakang si penari? Dari mana ia menimba seni panggung? Jika jawabannya ia adalah seniman alam, maka Tangguh akan membuat topeng yang kalem. “Kalau penarinya tamatan STSI di Denpasar, saya akan buatkan topeng yang lebih keras.” Alasannya, ia harus ciptakan topeng yang energik, sebab rata-rata penari tamatan ekolah Tinggi Seni Indonesia  (STSI) pasti pernah belajar tari baris. “Mereka yang tahu tari baris, lalu nopeng, tariannya lebih ngerenjit (enerjik),” kata Tangguh.
Tangguh sangat menguasai pembuatan tapel uhtuk pentas. Ia pernah menjadi penari arja, tapi cuma sepintas. Ia kemudian menjadi pengayah (pelayan) pregina (penari). Dari sana ia belajar jiwa topeng yang pas untuk karakter penari yang berbeda. Orang kemudian sadar, betapa dalam keterlibatan batin Tangguh terhadap topeng-topeng ciptaannya. Ia tak sekedar menakik kayu, tapi lebih dari itu, ia menciptakan karakter baru: membuat keselarasan dan keseimbangan antara topeng ciptaannya dengan mereka yang menarikannya.
Sekarang Tangguh hidup tenang di desa kelahirannya. Ia punya studio sendiri, tak mesti bangunan khusus, tapi sebuah tempat damai di bawah bangunan lumbung sebelah timur dapur. Ia menerima pesanan, karena itu ia memberi nafkah, bisa sampai lma belas orang, jika pesanan yang datang tak cuma membuat tapel, tapi juga membuat barong. Mereka  bukan semata pekerja, tapi juga muridnya. Ia menularkan ilmu, tapi tidak merembetkan kemiskinannya yang dulu, yang  membuatnya menderita di masa muda. 
Wayan Tangguh kini tak miskin lagi. Dari mengerjakan tapel, menjunjung mutu, ia membiayai anak-anaknya sampai tamat perguruan tinggi. Dia tentu tak melupakan jasa besar gurunya, Ida Cokorda Oka Tublen. Bersama kawan-kawannya satu perguruan di Puri Singapadu, ia membuat lembu hitam, dipersembahlkan untuk pembakaran jenazah sang guru, sebagai wujud terima kasih dan bakti.
Wayan Diantha, Made Widnyana Sudibya, Aryantha Soethama

No comments:

Post a Comment