Ketut Siandana - Tat Twam Asi

Seorang lelaki siteng acap kali muncul di karya-karya piodalan Pura Sad Kahyangan. Tubuhnya yang kekar membuat ia gampang ambil bagian dalam kerja yang memerlukan ketahanan fisik. Misalnya, ketika melasti ke Pantai Klotok saat upacara Panca Bali Krama tahun lalu, atau tatkala mendaki Puncak Mangu, nedunang Ida Batara Luhur Puncak Mangu. Ia selalu sigap, dan kuat. “Ini kegiatan yang sangat membahagiakan,” ujar laki-laki itu, Ketut Siandana 
Sulung dari tiga anak laki-laki Wayan Kari ini selalu menyempatkan waktu tangkil ke pura, di tengah kesibukannya mengurus banyak perusahaan. Ia menggeluti mulai dari usaha toko kelontong sampai pelayaran (cruise) untuk wisatawan asing. Semua bisnis itu berpayung di bawah bendera Waka Gae Selaras. Semakin menukik ia ke kegiatan usaha mengurus orang asing,  justru kian kuat hasratnya berada di tempat-tempat suci. Ia ingin, usaha yang digelutinya sejak 1990, tetap mempertahankan kebaliannya. “Usaha-usaha kami mengacu pada proses penciptaan arsitektur tradisional Bali, “ aku arsitek alumnus Fakultas Teknik Universitas Udayana ini. 
Ia memberi contoh. Setiap langkah dalam menciptakan bangunan Bali selalu disertai doa dan upacara agama, dari awal hingga akhir. Karena itu ia menerapkan filosofi tat twam asi dalam mengendalikan roda usahanya. “Prinsip kami, aku akan merasa senang jika kamu sebagai pemakai karya arsiekturku merasa senang terlebih dahulu,” jelasnya.  
Sebagai seorang undagi, Ketut gembira melihat kecendrungan umat Hindu berlomba memperbaiki tempat suci. Tapi ia me-nyayangkan jika usaha itu tidak disertai pemahaman yang benar tentang arsitektur aslinya. “Lama-lama semua pura kita akan kelihatan baru, dan modern. Kesannya,  kesadaran kita munculnya baru-baru ini juga,” katanya. 

No comments:

Post a Comment