Mata Air Bali

Apa hubungan mata air denganair mata ?  
Bagi seorang mahayogi suci, mata air yang baru  menyembul dari bawah tanah, bisa sangat menggetarkan hatinya. Kebeningan air sering dipersamakan dengan kesucian jiwanya. Tidak heran bila sumber-sumber susastra-agama di Bali lantas banyak membentangkan renungan-renungan tentang air. Air (baca juga: zat cair) yang menggenangi ¾ jagatraya serta mengisi ¾ jagat diri manusia ini, diberikan makna filosofis. Bahkan disakralkan. Di Bali, namanya berubah, dari yeh menjadi toya, lalu menjadi tirta. Sepertinya, ada tingkat-tingkatan air, meskipun secara fisik rupanya sama. Hanya, kegunaannya berbeda. Dan itu bisa dirasakan secara mendalam lewat rasa.   



Ketika seorang awam biasa mengeluh soal kucuran hujan yang menembus genting rumahnya hingga membuat kasurnya basah, lantai rumahnya becek, bahkan akhirnya banjir, seorang mahayogi malah memberi renungan indah. Titik air hujan yang mengucur dari langit lantas menimpa air samudra itu justru diberikan makna seumpama jiwa manusia yang jernih suci menyatu de-ngan Sang Mahajiwa Yang Mahasuci. Aliran air sungai di ujung hilir yang bertemu dengan air laut itu pun diberikan makna simbolik tak ubahnya jiwa manusia yang tersekat-sekat dalam raga meretas lantas menyatu dengan Sang Maha Pencipta Yang Tak Terbatas —layaknya air samudra tanpa tepi. Di laut, titik hujan tak berbekas lagi. Air sungai pun tak bisa dibedakan lagi, karena telah menyatu baur dengan air laut.  

Renungan puitis begini, misalnya, dipaparkan begitu indah dalam kitab Bhuwana Kosa. Dalam kitab tertua yang memuat uraian tentang filsafat Ketuhanan Siwaistis ini, sungai-sungai besar di alamraya diidentikkan dengan jaringan urat-urat hingga otot-otot dalam diri manusia. Maka, ketika dalam alamraya ini sehari-hari kita mendengar ada istilah segara pitu (tujuh lautan), dalam diri manusia pun ada tujuh lautan itu. Dari lautan air kemih, darah, hingga lautan otak.   

Mungkin renungan-renungan demikianlah yang mempengaruhi cara pandang manusia Bali tentang air, sehingga ada laku ‘pensakralan’ terhadap air. Ada keyakinan, menjaga kemurnian air di alamraya ini sama dengan menyelamatkan jiwa yang ada dalam diri. Air pun diberikan makna religius, diupacarai. Kalau hujan tak turun hingga kemarau menikam, misalnya, upacara digelar untuk mengundangnya. Kalau air lancar hingga panen di sawah mensejahterakan hidup, upacara juga digelar. Bukan untuk mengundang hujan, tentu, melainkan mengucap puji syukur  atas segala karunia-Nya.   

Untuk menjaga kesucian dan kebersihan sang air, etika diciptakan. Ada larangan mengotori air sungai dengan sampah, bangkai, dan semacamnya. Bahkan, limbah rumah tangga pun tak diperbolehkan dibuang ke sungai (tukad/telabah). Seorang pendeta yang ajeg melakonkan ajaran susastra-agama dalam hidupnya bahkan tak mau sekadar kencing pun di air sungai yang mengalir, karena itu akan mengotori manusia lain yang memanfaatkan air tersebut di aliran berikutnya. Mengotori hidup orang lain, berarti juga mengotori jiwa dirinya sendiri.  

Lantas, apa hubungan mata air dengan air mata?  
Bagi seorang pebisnis, mata air yang bening dengan debit kuat, sontak mendesirkan naluri dagangnya. Mesin penyedot dipasang. Air dikemas dalam botol-botol plastik, mulai seukuran gelas hingga sebesar galon. Merek ditempel: Air murni pegunungan. Karena Bali juga sudah jadi merek dagang yang laris, ‘mantra penglaris’ pun ditempel: Airnya Bali. Kepraktisan ditawarkan. Konsumen dimanjakan. Keuntungan mengalir sederas aliran sungai di pegunungan yang subur.   

Itu belum cukup. Kolam renang dibuat, lagi-lagi untuk memanjakan konsumen. Lapangan golf rakus air —tapi tak sanggup menampung air—dibentangkan puluhan hektare. Lahan resapan air dialihgunakan. Teriakan petani yang mensakralkan air, seperti terjadi di Tukad Yeh Ho Tabanan maupun Tukad Ayung Gianyar, diabaikan. Perseteruan antara petani subak dengan pebisnis melentik, ketegangan tersemai. Dengan sedikit sulutan saja, pertikaian gara-gara air bakal berkobar. Air yang mestinya memadamkan api, malah mengobarkan bara amarah.   

Itu belumlah akhir. Pohon-pohon besar penahan air dirobohkan. Lahan landai di Selasih, Gianyar,  yang menjadi kawasan resapan air hendak diporandakan jadi hamparan rumput padang golf. Tebing-tebing hijau penyerap air, seperti di kawasan Ubud, Kadewatan, didigilas jadi bangunan-bangunan hotel. Hutan Bedugul yang jadi paru-paru bumi Bali dibor dengan alasan pemanfaatan gas untuk sumber tenaga listrik –namun akhirnya kentara kosong melompong. Sempadan pantai dari Canggu, Kerobokan, Kuta, hingga Jimbaran, Nusa Dua, lantas Sanur, dan kini mulai merengkuh Tulamben di Karangsem, digerus. Citra dagang direka-reka: hotel natural ramah lingkungan –padahal sudah jelas mengoyak alam.   

Kearifan menghormati cara pandang lokal Bali terhadap air harus tetap disisakan pada diri insan yang hidup di Bali ini. Tradisi petani-petani subak mengelola air, sangat bijaksana bila tak langsung divonis kuno. Menoleh ke kegemilangan masa lalu bukanlah sia-sia. Ada kalanya itu dibutuhkan justru untuk bernostalgia tentang masa depan: bahwa di Bali nanti tetap akan ditemukan 500-an mata air yang bening, bukan 5 juta pasang mata bersimbah air mata.  

No comments:

Post a Comment