Kasih Dihadang Pecalang

Bersama ribuan pemedek yang hendak ngaturang bakti, Mardika (memakai kemeja safari), dan kekasihnya, Astiti (mengenakan kebaya sutera dan kain endek), berdri di depan gerbang Pura Luhur Uluwatu. Antrean panjang pemedek berdesakan menuju jeroan. Setelah menunggu lebih setengah jam, sampai juga mereka di dekat pintu masuk. Dua orang pecalang berdiri di sisi kiri kanan, mengatur para pemedek agar tertib bergilir masuk.
Mardika berdiri  persis di belakang Astiti, memegang pinggang pujaannya. Sekali-sekali Astiti menoleh ke belakang, beradu pandang dengan Mardika, tersenyum, seolah-olah bimbang, jangan-jangan yang memegang pinggangnya laki-laki lain. Beberapa anak tangga lagi, mereka akan bediri di gerbang utama, menunggu giliran segera  masuk ke jeroan. 

Tiba-tiba ada dorongan kuat dari belakang, Astiti nyaris tersungkur, kalau tidak Mardika mempererat pelukannya. “Alon-alon Pak, alon-alonnnn....., “ teriak seorang pemedek wanita.  “Aduh...aduh.... kaki saya terinjak.... aduh...!” teriak yang lain. Bau keringat dan parfum bertubrukan di udara. Seorang bapak mengangkat anak  laki-lakinya ke atas pundak agar tak terjepit himpitan pemedek. Anak itu pun menyembul dengan menyedot-nyedot ingusnya di antara keben-keben yang diusung pemedek. Beberapa ekor monyet yang berloncatan di ranting-ranting kamboja menyeringai mentertawainya. Anak itu menjawabnya dengan lambaian tangan dan menggoyang-goyangkan kepala. 
Para pemedek sudah tak sabar lagi. Maklum, mereka sudah pegal berdiri. Maka ketika gerbang dibuka, dan pemedek yang selesai ngaturang bakti ke luar, desakan dari belakang semakin kuat. Astiti melangkah pelan-pelan ke depan, Mardika tetap memegang pinggangnya. “Ini sebuah perjuangan keras, As!” bisiknya di telinga sang pacar. Tinggal selangkah lagi Astiti akan melewati gerbang itu. Dan..... ia lolos masuk. Tapi Mardika tidak. 
“Stop...stop.... cukup sekian, di jeroan sudah penuh!” teriak pecalang.
Mardika  melepas pelukannya, Astiti menjerit. “Ayo Bli Mar... ayo... cepat masuk...!”
Mardika dilarang masuk. Pecalang itu menutup pintu. “Sabar Pak, tunggu sebentar lagi, di jeroan sudah penuh.”
“Satu saja Pak. Pacar saya sudah terlanjur di dalam, saya harus masuk Pak, harus ikut,” rengek Mardika.
Pecalang itu menggeleng kaku. “Tidak bisa, yang lain antre, Bapak juga harus antre!” perintahnya tegas.
Astiti menghampiri pecalang itu. “Tolong Pak, saya mohon, ijinkan pacar saya masuk. Satu saja. Jangan pisahkan saya dengan pacar saya Pak,” ratap Astiti memelas. Wajahnya yang ayu, pucat. Bibirnya yang disapu lipstik pink gemetar.
Tapi pecalang itu tetap ku-kuh. Ia tak mau membuka pin-tu. Mardika tetap tertahan di luar. Ia tatap pintu, yang memisahkan dirinya dengan sang kekasih, itu dengan galau. “Sudahlah, kamu duluan mebakti As, tunggu aku di jabaan nanti,” pinta Mardika pada Astiti.
Tapi Astiti tak sudi. “Kalau begitu biar aku kembali ikut antre,” sahutnya. Matanya basah. Ia datangi pecalang dengan langkah gontai, memohon agar dibukakan pintu untuk ke luar. Ia korbankan gilirannya mabakti lebih dulu. Ia ingin terus lengket dengan pujaannya.
Begitu pecalang membuka pintu, Astiti langsung menubruk dada Mardika, menggamit tangannya, membalikkan badan, dan kembali antre menghadap ke gerbang, persis di depan pintu. Ia selalu merasa aman berada di dekat kekasihnya. Wajah Astiti yang pucat kini bersemu merah. Monyet-monyet di pohon-pohon kamboja itu melongo sejenak, lalu kembali ceroat-ceroet meloncat-loncat. Mardika kembali memegang pinggang kekasihnya. Pemedek lain tersenyum-senyum menyaksikan kesetiaan sepasang kekasih yang berdiri menunggu giliran ngaturang bakti di Pura Luhur Uluwatu. 
Selangkah lagi, sejoli  itu akan memasuki gerbang pura.

Jung Iryana

No comments:

Post a Comment