Merengkuh Untung dari Bisnis Tedung

Asian Games 1961 di Jakarta menyulap tedung dari perangkat upa-cara menjadi komoditi bisnis. Payung khas Bali ini kini sudah bisa didapatkan di mana-mana di seluruh dunia.
Bali itu semarak. Jempana, tedung, kober, umbul-umbul, pajeng, berseliweran di mana-mana, setiap waktu. Hotel-hotel menggunakan  tedung dan pajeng (payung) sebagai trade mark promosi produk mereka. Pajeng dengan warna perada gemerlap dipajang di lobi, menyapa wisatawan untuk memasuki atmosfir Bali. Pajeng yang semula digunakan untuk nedungin Ida Batara di pura, kini digamit untuk pariwisata. Dalam brosur –brosur  hotel dan produk jasa pariwisata, penggunaan pajeng  seolah merupakan suatu keharusan sebagai duplikat identitas Bali untuk menambah nilai jual produk yang ditawarkan.  Layaknya koboi untuk Amerika.
Pajeng memang identik dengan karakter seni orang Bali, yang membuat Presiden Sukarno kesengsem, lalu menjadikan pajeng sebagai identitas Indonesia di arena Asian Games di Jakarta, 1961. Sejak itulah bisnis pajeng menggeliat. 

Produksi untuk keperluan upacara, ikut menyasar pasar pariwisata, yang menantang kreativitas produsen payung Bali ini.  Pilihan yang ditawarkan jadi beragam. Dari pajeng tingkat atau tumpang satu hingga bertumpang tiga kini diproduksi, dari pajeng bentuk standar hingga pajeng dalam ukuran jumbo. Bahkan kreasi terakhir pajeng pantai untuk wisatawan berjemur juga diproduksi. 
Pembeli umumnya telah mengklasifikasikan pajeng sesuai harga, yang biasa, sedeng, dan halus. Pembagian ini  didasarkan pada bahan kayu, kain, pernik serta tingkat kesulitan membuatnya. Menurut Wayan  Budana, pembuat pajeng asal Banjar Pande, Mengwi, meski pajeng halus laris karena pariwisata, tak semua pembuat pajeng pindah membuat pajeng halus. Di Munggu, Mengwi, misalnya, masih bisa dilihat kelompok pengrajin pajeng tradisional yang memproduski pajeng biasa untuk konsumsi pasar-pasar di Bali, diproduksi massal atau kodian. Kayu dan kain yang digunakan berkualitas rendah. Di musim hujan seperti Februari ini, kayu duren, kamper dan jati datang tak tepat waktu. 
Permintaan dari industri pariwisata  kerap membuat pembuat pajeng tak sanggup memenuhinya. Kondisi ini menguntungkan masyarakat Mengwi. Masyarakat mendapat tambahan secara ekonomi dengan mengambil pasuh membuat pajeng. Untungnya lumayan. Ongkos mengerjakan satu payung dibayar Rp 12.000. Rata-rata pengrajin berpenghasilan Rp 500.000-Rp. 600.00 sebulan. Setiap pengrajin sebulan bisa menyelesaikan 300 pajeng bermacam ukuran.
Pajeng dijual dengan harga bervariasi, sesuai jenisnya. Para pedagang memasang harga dari Rp.70.000 sampai Rp.90.000 untuk jenis sedeng. Yang besar dijual sampai Rp. 300.000. Yang jenis pantai harganya Rp. 800.000. ‘’Harga tidak saklek, bisa ditawar tergantung jumlah pembelian,‘’ ungkap seorang pedagang di Mengwi.
 Soal harga, beberapa pedagang memiliki semacam kesepakatan tak resmi dalam menentukan harga terendah. ‘’Biasanya kami memiliki patokan harga terendah untuk masing-masing jenis, soal cari untung kami punya tawaran dan cara sendiri-sendiri,’’ ujar pemilik toko pajeng Dewi Sri yang malu menyebut nama ini. “Jika tak percaya coba tawar pada pedagang yang ada sekitar sini,’’ tantangnya pada SARAD. Pedagang pajeng yang sudah memiliki nama biasanya memiliki harga lebih tinggi. Untung yang diraup pun lebih gede. Nama mereka melambung tinggi, misalnya, karena berhasil me-nyabet juara dalam lomba membuat tedung agung ketika pesta kesenian Bali.
Perajin mengerjakan Tedung. foto: prayatna sudibyaDisamping karena tuntutan pariwisata, permintaan pajeng halus datang dariorang Bali sendiri. Alasan mereka memilih yang halus, agar sebanding dengan pura yang dibangun megah. “Masak puranya megah dan berukir, pajeng-nya sederhana, kan tak sebanding,’’ sergah seorang pramuwisata dari Denpasar yang tengah memilih-milih pajeng. 
Keberadaan toko mulai diperhatikan pedagang pajeng. Meski tak sampai mengubahnya menjadi art shop, aspek penataan barang dagangan dan servis makin diperhatikan. ‘’Ini untuk menarik perhatian pembeli, terutama wisatawan,’’ tukas Made Kerni, pedagang perlengkapan upacara di Taman Ayun, Mengwi.  Tokonya adalah salah satu dari 50-an pedagang pajeng yang tersebar di Mengwi. Kawasan ini memang dikenal sebagai tempat terbesar penjualan pajeng Bali, selain pasar seni Sukawati, Petulu Gianyar, dan Satria Klungkung. 
Rata-rata pedagang pajeng di Mengwi ini adalah usaha lanjutan. Mereka umumnya berawal dari pembuat pajeng. Satu per satu berdiri toko-toko penjual pajeng. Kebetulan kawasan Taman Ayun sering dikunjungi sebagai tempat wisata, sehingga memungkinkan usaha ini bergerak dan akhirnya menjadikan daerah bekas pusat kerajaan Mengwi ini tempat menjual pajeng. 
Di Taman Ayun, Mengwi, pedagang pajeng memang menjamur. “Tapi awal dan pusat pembuatan tedung ada di Desa Satria sini,” ujar Anak Agung  Raka Putra, pemilik usaha pajeng Sinar  Agung, Klungkung. Di Mengwi, masyarakat setempat menyebut kaum pedagang itu sebagai dealer pajeng. Meski menjamur, para pedagang mengaku tetap bersaing secara sehat. Menghindari perang harga, mereka membuat kesepakatan harga. Rata-rata pembuat pajeng memiliki ciri dan kekhasan pada pajeng yang dibuatnya, untuk merebut pelanggan. Memang, siapa saja ingin menyuguhkan mutu yang terbaik, namun tentu tak semua sanggup melaku-kannya.
Selain itu, tak semua pedagang pajeng itu lantas mendapat cipratan dollar. Masih banyak diantara pedagang itu yang meng-alami hambatan dalam berusaha. ‘’Bisnis ini perlu modal besar, makanya tiang terus berharap mendapat bantuan modal,’’ keluh Made sambil menggendong anaknya.
Jung Iryana

No comments:

Post a Comment