Mimpi Luwih Luh Luwes

Perempuan BaliPengusaha kerajinan perak, Desak Made Suarti, sepakat wanita Bali dikatakan sudah memiliki potensi kuat. “Tiang lihat wanita Bali sudah memiliki kekuatan, semangat, kecerdasan, kelembutan  sebagai seorang luh luwih (wanita utama) dan luh luwes. Tinggal ditingkatkan untuk memasuki dunia mo-dern,” paparnya.   
Wanita Bali asal Gianyar yang disun-ting pria Amerika ini menilai, perempuan modern di Eropa dan Amerika, memang memiliki kecantikan, namun cenderung melupakan sisi kewanitaannya. “Mereka lupa mengontrol diri terhadap apa yang semestinya ia lakukan sebagai seorang wanita,” katanya. Sebaliknya, wanita Bali meskipun masuk jagat modern,  tetap punya jati diri, seperti kesetiaan pada suami, mendidik anak, dan bertanggung jawab terhadap keluarga.   


Toh, di tengah kekagumannya pada wanita tanah kelahirannya, Suarti gundah juga, “Saya khawatir jangan-jangan wanita Bali menjadi seperti wanita modern di luar sana yang hilang identitas diri atau ciri khasnya.”  
Suarti yang tetap aktif membina kelompok kesenian di Ubud ini mengaku mulai melihat tanda-tanda kecemasannya bakal mewujud. Ada yang mengaku berat jadi wanita Bali. Ada juga yang mengeluh tuyuh, sehing-ga tak dapat berkarir dengan leluasa. Ada tergoda pada tawaran kemewahan dan aneka kemudahan modern. “Dalam kegiatan sosial saya senantiasa tekankan, keluhan demikian keliru. Justru harus bangga jadi wanita Bali dengan tradisi adat yang kuat,” tuturnya.   

 Namun dia mengingatkan agar wanita Bali tetap diberikan pengertian guna mening-katkan kesadarannya. Misalnya, tentang kesehatan reproduksi –yang biasanya sangat diabaikan. Juga agar tidak begitu saja mau dimadu, karena akan menggeser wanita ke posisi cuma memberi tanpa pernah menerima. Bisa juga direndahkan. Padahal, wanita Bali memberi banyak kesetiaan dan rasa bakti.  

Kecemasan lain Suarti: makin banyak wanita Bali diincar diperistri pria asing. Ini dia amati dari teman-teman dekatnya yang rata-rata sudah menjejakkan kaki di beberapa negeri asing, akhirnya malah disunting orang luar. Bedanya, Suarti sehari-hari tetap saja menjejakkan kakinya di Bali sambil membina kesenian dan seniman. “Saya ngeri. Jika semuanya diambil keluar, siapa yang akan ngrambang (memikirkan) Bali. Padahal, peran wanita begitu vital. Bisa jadi kualitas orang Bali akan menurun,” ia tercenung.   

Soalnya, bagi pria asing, lanjut Suarti, wanita Bali itu sangat menarik. Tak usah diapa-apakan pun wanita Bali sudah harum. Ia bertutur, “Saya terharu betapa di mata orang luar negeri wanita Bali itu harum. Tanpa berbuat apa-apa orang luar sudah tertarik. Ketika wanita Bali menunjukkan identitasnya seperti membuat sesajen, berpakaian Bali, nyuun banten ke pura, ngalih yeh (mencari air) ke pancuran, itu citra yang masyur di luar negeri.” Wanita Bali seperti mimpi nyata tentang luh luwih yang luwes.   

Menarik? Di mata Giuseppe Confessa, yang akrab dipanggil Pino,  wanita Bali di masa lalu memang mempersona. Bahkan, pria Italia yang mempersunting gadis Bali hingga memutuskan menjadi orang Bali total ini mengaku, jika di tahun 1970-an dia diperhadapkan dengan 10 wanita yang dijejer, “Saya dengan mudah bisa menebak, ini wanita Bali, itu bukan. Senyum, tawa, gerak tubuh, ayunan tangan saat berjalan, cara berbusananya memang sangat khas.”   

Sejak satu dasawarsa lalu, jangankan menilai 10 wanita, “Menebak tiga saja saya sulit, mana wanita Bali mana bukan. Semuanya sudah berubah akibat pengaruh orang luar. Karakter itu kini makin kabur,” papar seniman pantomim yang kini menjadi Konsul Italia di Denpasar ini.   

Bagi Pino, karakter wanita Bali kini sedang digoncang. Artinya, dia tetap teguh sebagai wanita Bali, namun, “Kewanitaannya sekarang merupakan sebuah tanda tanya besar.” Nilai luar yang dibawa pendatang, baik dari pulau lain di Indonesia maupun dari luar negeri, diakui atau tidak mengguncangkan perempuan Bali. Keperawanan, misalnya, dulu tak pernah diperdebatkan, tapi kini dibicarakan justru karena orang luar Bali memperbincangkannya. Dulu wanita Bali berorientasi ke desa, kini di desa-desa pun sudah berseliweran orang asing.   

Dulu wanita Bali masih suka dengan kulitnya yang sawo matang. Sekarang maunya putih-putih layaknya kulit orang Cina. Gaya rambut juga baru, sebagian tak i-ngin rambut panjang. Dulu mau berjalan dengan sandal jepit, kini dengan hak tinggi. Akibatnya, pembawaan dan cara jalannya dipastikan berubah. “Seperti Jalan By Pass Ngurah Rai dari Bandara hingga Tohpati, Denpasar. Tak ada lagi kesan fisik Bali,” tandas pria berkumis yang sejak 1980 jadi dosen sukarela di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar ini.   
Syukurnya, ayah dua anak bernama I Putu Asmara Francesko (13 tahun, SMP kelas dua) dan I Made Angelo Trisnu suputra (9 tahun, SD kelas 4) ini masih melihat ‘kewanitaan’ Bali pada rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap bagaimana dia harus mengambil keputusan tentang diri sendiri dan kehidupannya. Di sisi ini, Pino boleh jadi merasa bersyukur, karena wanita Bali belum tergelincir menjadi luh luu, wanita dina.   

Jung Iryana 

No comments:

Post a Comment