Bersahabat dengan Batara Kala

Manusia, sebenarnya, bisa menjadi lebih besar daripada waktu. Manusia juga bisa memilih hari dan jalan kematiannya dengan benar. Syaratnya: jiwa-pribadi harus jernih, bening. 

Tersulut hasrat ingin melanggengkan kekuasaan dan wibawanya atas seantero jagat, raja Purusada mengadakan tawar-menawar dengan Batara Kala. Hasilnya: Purusada diwajibkan mempersembahkan 100 orang raja hidup-hidup kepada Batara Kala.
     
Tak urung dimulailah petualangan penaklukan Purusada ke kerajaan-kerajaan lain. Ditopang angkatan perang tangguh dan kesaktian pribadi yang ulung, 100 kerajaan pun takluk di bawah kuasanya. Mereka semua dimasukkan dalam kerangkeng, sebagai tahanan.

Celakanya, setelah menatap satu per satu raja-raja persembahan Purusada tersebut, Batara Kala langsung hilang selera. Bagi Kala, 100 raja yang berhasil ditaklukkan Purusada sama sekali tak ada artinya, karena di antara mereka tak termasuk Raja Hastina yang bernama Sutasoma. Bagi Kala, 100 raja tahanan tersebut bahkan bisa saja dibebaskan untuk ditukar dengan hanya seorang Sutasoma.

Toh, Purusada tak surut langkah. Dia yang sudah dilelap-kan oleh dambaan kuasa dan wibawa ini menyanggupi syarat Batara Kala. Pertempuran tera-khir dan habis-habisan pun tak terhindarkan. Pada puncaknya, Purusada yang ber-triwikrama sebagai Rudra pun saling berhadapan dengan Sutasoma yang telah mencapai titik keheningan budi-kasih, buddhi-sattwa.Di puncak pertempuran, kobaran api amarah Rudra (kalagni-rudra) bukannya menghancurkan, namun justru berubah menjadi budi-damai (buddhi-santha) penuh kasih oleh cahaya matahari-rohani (surya-rupa) Sutasoma yang disaputi hati bersih-bening, rasa dan sikap maharddhika (merdeka-bijaksana) serta ikhlas-total. Purusada justru tunduk lalu berguru pada Sutasoma, 'Sang Putra Rembulan'.

Selesai? Belum. Meskipun Purusada sudah tidak ingin lagi mempersembahkan Sutasoma kepada Batara Kala, toh Sutasoma sendiri tetap secara ikhlas menyerahkan dirinya sebagai santapan (caru) Batara Kala. Karuan saja Kala girang tak alang kepalang. Tiga syarat yang diajukan Sutasoma, yakni semua raja yang ditahan dibebaskan, korban tewas perang dihidupkan kembali, dan tindakan membunuh-bunuh dihentikan, pun sontak disanggupi Batara Kala.  

Maka, keris tajam mengkilap pun dihujamkan Kala ke tenggorokan Sutasoma. Tak mempan. Sutasoma tak bergeming. Ia tetap tersenyum. Ia tetap bugar. Tiga hingga empat kali demikian, tak juga mempan. Batara Kala pun berubah rupa menjadi naga besar menakutkan, lalu serta-merta menelan Sutasoma yang tetap saja tersenyum diliputi keheningan budi-kasih. Apa yang terjadi kemudian?  

Batara Kala yang semula bergejolak tiba-tiba terdiam. Keriuhan jiwanya berubah jadi kesunyian nan damai-penuh pesona (somya). Dia tak mampu lagi menelan. Manakala kaki Sutasoma menginjak hati Batara Kala, kobaran api amarah dan gelombang nafsu membunuhnya sontak lenyap. Terbitlah kesadaran rasa welas-asih (twas arddhamreta) di hati Batara Kala.  

"Laku apakah yang engkau takuti, Prabu Hastina?" tanya Kala dalam keheningan.   
"Tiada satu pun, Batara. Juga tiada takut aku pada raksasa, detya, denawa. Pun termasuk manusia atau dewa sekalipun. 

Namun, membunuh, mencabut nyawa mereka itulah yang paling aku takutkan."  
Sutasoma tetap tersenyum. "Kenapa Batara tiba-tiba berhenti menelan tubuhku? Bukankah tubuhku ini yang Batara harap-harapkan sebagai  caru paling utama? Membunuh dan membunuh, bukankah itu mau-Mu senantiasa?"  

"Aku tak sanggup!" Batara Kala tertunduk. "Kini aku ingin berguru kepadamu, Prabu Hastina. Lukat, sucikanlah, papa-ku ini. Hanya engkaulah yang bisa membebaskan aku dari ke-papa-an." Kala kemudian bukan memangsa Sutasoma, sebaliknya justru menyembah Sutasoma.   
   
Batara Kala menyembah Sutasoma yang berwujud manusia? Begitulah memang Mpu Tantular menyuratkan dalam karya gemilangnya, Kakawin Purusadasanta, yang di kalangan masyarakat pecinta sastra Kawi lebih dikenal dengan sebutan Kakawin Sutasoma ini. Dalam kakawin yang digubah sekitar tahun 1380 atau hampir tujuh abad silam ini, Mpu Tantular memang mengajak kita yang membaca karyanya jadi merenung soal waktu. Kala, memang berarti 'Waktu'. "Sebutan Batara yang lazim dilekatkan dalam penyebutan oleh masyarakat awam, atau pun sebutan Sang Hyang dalam teks-teks Kawi menyiratkan bahwa Sang Kala, Sang Waktu, juga berhakikat suci," papar peneliti sastra Kawi, Dr IBM Dharma Palguna.  

Dari Kama Batara Siwa

Siapakah Sang Kala, Sang Waktu itu? Lontar Kala-tattwa mengisahkan, suatu kali Batara Siwa bersama shakti-Nya, Batari Giri Putri alias Dewi Uma, terbang di atas samuderaraya. Tiba-tiba kasmaranlah Siwa, ingin bersanggama dengan Dewi Uma. Dewi menolak. Alasannya, sebagai dewa tak pantas berperilaku demikian. Tapi, Siwa terus mendesak. Hasrat kasmaran-Nya kian membuncah. Tak urung, kama (sperma) Siwa pun muncrat, jatuh ke samuderaraya.

Berkat yoga-samadhi Batara Brahma dan Wisnu, kama yang sudah cerai-berai itu pun menyatu kembali, lalu berubah wujud menjadi sesosok raksasa sakti yang sangat menge-rikan. Suaranya menggetarkan seluruh samudera dan jagatraya. Dialah Batara Kala. Tak ada yang sanggup menandingi Kala yang aeng dan sakti tan kabina-bina itu. Bahkan, dewa pun kalah olehnya.

Kala disebutkan berbadankan semua yang hidup dan berkeinginan (sarwa mambekan). Oleh Batara Siwa dan Batari Uma, Kala pun diberikan kewenangan untuk membunuh semua yang hidup dan atau berkeinginan itu. Karenanya, "Tak ada yang bebas dari belitan Batara Kala di dunia ini. Tak ada yang bisa lolos dari 'jemputan' Sang Waktu. Semua pada akhirnya 'berangkat' bersama Sang Waktu," ungkap Kepala Departemen Agama Kodya Denpasar, Drs Cokorda Raka Krisnu.

Bagi siapa saja yang tidak sadar, lupa pada hakikat jati dirinya (tan anuta ri sapari- kramaning panjadman ira), maka Batara Kala diberikan hak untuk memangsanya. Juga Batara Kala berwenang menadah orang yang salah waktu (salah masa), salah ruang, dan salah laku.

Namun, selain diberi kewenangan membunuh Kala juga diberi hak memberikan ganjaran atau 'bonus' kasidyan kepada siapa saja yang sadar pada hakikat (pangastutyan) kemanusiaannya. Mereka ini dinamakan manusia sejati, dan karenanya patut menjadi sahabat Batara Kala. 

Pada diri manusia yang sadar pada pangastutyan-nya ini, menurut Kala-tattwa, Batara Dharma sebenarnya sudah menyatu, sehingga jiwanya suci-bersih (mahening), layaknya air yang jernih bening. Juga bercahaya layaknya nyala api. Karena itu, siapa saja yang berkepribadian seperti ini akan ditakuti bahkan disembah oleh semua mahluk yang ganas, galak, menakutkan dan sejenisnya. Juga ditakuti oleh semualeak. Maka itu, Batara Kala diwajibkan memberikan kasidyan kepada siapa saja yang seperti ini. 

Kesucian Dalang Leger   
Kesadaran pada hakikat diri yang suci itulah kunci untuk bisa bersahabat dengan Batara Kala, Sang Waktu. Sebagaimana halnya Sutasoma, Mpu Dalang Leger pun dapat 'menjinakkan' Batara Kala yang tak terkalahkan itu. Lontar Kala Purana menyuratkan, Sang Hyang Kumara ('Yang Suci') lolos dari buruan Batara Kala setelah dilindungi Dalang Leger. Saat sedang ngewayang, tiba-tiba saja Hyang Kumara -–yang juga adik Batara Kala—  datang minta perlindungan di hadapan Dalang Leger. Tak tega melihat Kumara yang menangis dikejar-kejar Kala, Sang Dalang pun menyembunyikan Kumara di dalam peti wayang. 

Kala datang, langsung mengamuk. Ia memakan habis semua banten di hadapan Dalang Leger. Terang saja Sang Dalang balik memarahi Batara Kala. Bahkan, Dalang menyalahkan Kala yang memakan banten yang menjadi hak Dalang, tanpa seizin Dalang. Dihardik demikian, Kala tak menyerah. Kala balik menuding Dalang bersekongkol melindungi Kumara yang juga menjadi haknya.

"Kumara datang minta perlindungan kepadaku. Aku bisa memberikannya perlindungan, kenapa tak boleh aku lakukan," cecar Dalang.  
"Hyang Siwa sudah mengizinkan aku memangsanya. Karenanya, Kumara itu hakku."  
"Tapi, kenapa Batara Kala tak memintanya kepadaku? Karena tak meminta, bagaimana aku memberikannya. Semestinya, Batara minta dulu kepadaku, dan selanjutnya adalah hakku mengabulkan permintaanmu atau tidak. Karena tak meminta, terang aku tak berikan. Itu sebabnya Batara Kala tetap bersalah, memakan habis banten yang menjadi hakku." 

Kala tak berkutik di hadapan Sang Dalang. Ia pun menyerah manakala Dalang meminta 'ganti rugi'. "Karena Batara Kala telah salah, maka sebagai ganti banten yang telah Batara habiskan, Batara wajib membebaskan Hyang Kumara. Mulai kini, jangan makan Hyang Kumara ('Yang Suci')," pinta Dalang.

Dari kisah demikianlah tampaknya tradisi wayang sapu leger  lantas berkembang di Bali, hingga kini. Sang Dalang Leger pun berganti nama menjadi Mpu Dalang. Dia diberi kewenangan oleh Kala untuk membebaskan orang dari  belitan mala dengan panglukatan suddhamala sehingga orang menjadi nirmalaLontar Kala Purana memang menyuratkan, panglukatan suddhamala atau parisuddha sebagai kata kunci untuk membebaskan diri dari perburuan Batara Kala. Sedangkan kitab Sarasamuccaya mengistilahkannya dengan sebutan pahehening ikang buddhi, kebersihan budi.

"Dalang adalah simbolik Siwa. Siapa saja datang dengan kesucian dan ketulusan minta perlindungan kepada Siwa, dia terbebas dari kejaran Kala, seperti Hyang Kumara," Cok Raka Krisnu menafsirkan.

Kisah Sutasoma dan Mpu Dalang membentangkan gagasan, betapa manusia sebenarnya bisa menjadikan dirinya tak hanya bersahabat dengan Sang Waktu, tapi juga lebih besar daripada Sang Waktu. Bersahabat ataupun menjadi lebih besar daripada Sang Waktu berarti bisa 'memilih waktu dan jalan mati yang benar'. Tak hanya itu. "Bersahabat dengan Kala berarti orang bisa 'tawar-menawar' dengan Kala, sehingga tercegahlah adanya kematian dini," tambah IBM Dharma Palguna.

Boleh jadi, itulah sebabnya kenapa Rama pada ujung kisahnya dalam Uttara Kandadisebutkan segera meletakkan jabatannya sebagai 'maharaja penguasa dunia' setelah Batara Kala sebagai 'penguasa waktu dan kematian' menemuinya lewat pertemuan dan percakapan yang amat rahasia. Bhisma pun menunda kematiannya untuk 'memilih waktu' yang tepat dan benar, setelah matahari bergeser ke arah utara.

Kala, Sang Waktu, sebagaimana disuratkan Maharsi Byasa, memang berbadankan Kematian, Sang Hyang Mretyu. Siang dan malam adalah bagian tubuhnya. Sedangkan sakit dan usia tua itulah bentuk lahirnya. Sang Waktu menyusup memenuhi seluruh dunia. Ia mencaplok segenap mahluk hidup yang ada. Tak ubahnya ular pemangsa angin, maka ditelanlah angin itu. Karenanya, penggubah kitab Mahabharata ini tak segan memberikan jaminan:  Bagi orang yang bersahabat dengan Batara Kala alias Sang Hyang Mretyu (Sang Dewa Maut), dia terluput dari usia tua maupun kematian; dia berhak dan berwenang menentukan kapan kematiannya tiba.

Benar, semua mahluk hidup pada akhirnya dijemput lalu berangkat bersama Sang Waktu. Namun, Maharsi Byasa tampaknya ingin mengingatkan agar orang tak mati sia-sia. Sebaliknya: Matilah dengan benar! Inilah, barangkali, yang dinamakan mati bukan sebagai 'kekalahan', melainkan justru 'Kemenangan'. Untuk itu, orang mesti bersahabat dengan Batara Kala, karena, "Pertemuan dan perpisahan, suka maupun duka, semuanya adalah disebabkan karena Sang Waktu (Kala)," demikian Bhagawan Walmiki menyuratkan.  
Jung Iryana,  
I Ketut Sumarta  

No comments:

Post a Comment