Tiang Peradaban Bernama Wanita

Kitab Manawadharmasastra menyuratkan: Di mana wanita dihormati di sana dewa-dewa merasa senang. Tetapi di mana wanita tidak dihormati, maka tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala. Maka, tak berlebihan bila wanita disebutkan sebagai tiang peradaban. 
luh luih  
luh luu  
luh galuh  
bacakan luh  
ne patut suluh 



Adalah Made Sanggra (74), penyair Bali modern yang juga tokoh veteran, menulis puisi jenaka sarat makna itu dalam buku Kidung Republik, terbitan Yayasan Wahana Dharma Sastra, Sukawati, Gianyar, 1997. Judulnya: Luh (Wanita). 
Bagi Anda yang lihai berbahasa Bali, deretan lima baris kata tersebut tentulah bukan semata-mata akrobat kata-kata. Sebalik-nya,  justru mengurai makna wanita dalam visi Bali secara mendalam: /wanita utama (luh luih)/ wanita hina dina (luh luu)/ wanita ayu mempesona (luh galuh)/ itulah ragam wanita (bacakan luh)/ yang patut dijadikan cermin (ne patut suluh)//.  Begitulah kira-kira pesan yang hendak disampaikan penulis sepuh yang tetap gigih menuliskan karya-karya sastranya dalam bahasa Bali, entah berbentuk cerpen, artikel, ataupun puisi. 


Made Sanggra bagai mengingatkan pembacanya, betapa seorang wanita (luh) bisa menjadi luih (utama). Namun bila salah laku, peluang menjadi luih begitu mudah tergerus, menjadi hina dina layaknya sampah (luu). Kemuliaan, bagi seorang tua macam Sanggra, tampaknya memang begitu tipis jaraknya dengan kedinaan. Bila selamat meniti hidup, dia akan mempesona galibnya seorang galuh (putri raja yang jelita). Bila gagal, bukan mustahil dicampakkan lazimnya luu, sampah. Mudah dipahami bila tradisi Bali lantas mengingatkan betapa seorang wanita hendaknya pintar-pintar membawa diri agar tak terperosok menjadi luu. 
Nun jauh di abad lampau, kitab Manawadharmasastra dengan indah  mengingatkan kearifan hidup agar senantiasa memuliakan wanita. Bila Anda menghendaki kebahagiaan, begitu tersurat dalam kitab hukum Hindu yang aslinya berbahasa Sanskerta ini, maka wanita harus dihormati dan disayangi baik oleh ayahnya, kakaknya, suami maupun ipar-iparnya. 
Sebagaimana lazimnya kitab hukum, Manawadharmasastra pun menyuratkan ganjaran. Simaklah: Di mana wanita dihormati di sanalah dewa-dewa merasa senang. Tetapi di mana wanita tidak dihormati, maka tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala. 
Prof Dr IGN Gorda memaknai sloka suci tersebut bahwa wanitalah yang mampu mengelola kebahagiaan keluarga  atau graha-jagadhita. Semua sumber daya yang diperoleh oleh laki-laki (suami) itu akan dikelola oleh wanita (istri) ke arah pencapaian kebahagiaan keluarga. Maka, dalam tafsir Gorda, fungsi utama pertama wanita adalah membangun graha-jagadhita itu sebagai wadah untuk memproses tumbuh kembangnya anak utama (suputra). “Ini hak paling esensial, karena apabila semua keluarga di muka bumi ini bisa melahirkan anak suputra maka dunia ini akan menjadi damai,” papar Gorda.

Dalam kaitan melahirkan anak yang suputra itulah maka wanita perlu dijaga, disayangi, dihormati oleh lingkungannya. Logikanya, bila kondisi kejiwaan wanita tenang, damai, maka janin yang berada dalam kandungannya pun bakal tumbuh baik, kreatif. Sebaliknya, kalau wanita ditekan sehingga tidak bisa melaksanakan fungsi atau kewajiban utamanya, maka, “Tidak ada ampun bagi pihak yang menekannya. Dengan yadnya sebesar apa pun tidak bisa menebus dosa pihak yang menekan wanita itu,” tambah Gorda.  
Begitulah sentralnya posisi wanita sebagai sang ibu dalam nenentukan watak anak. Ilmu kedokteran modern pun sudah menemukan, betapa kecerdasan emosi maupun intelegensia anak sebenarnya sudah bisa dipersiapkan sejak janin dalam kandungan rahim sang ibu. Kasih sayang dan kedamaian lingkungan itulah beberapa jalan utamanya. Bila jiwa sang ibu yang mengandung tertekan, terguncang, maka emosi dan intelektualitas bayi yang lahir pun tak terjamin. Dalam tradisi Bali, akhirnya bukan anak-anak suputra yang lahir, melainkan justru anak-anak kuputra, jahat dan bejat. “Inilah titik awal ambruknya suatu peradaban umat manusia,” ingat penekun sastra dan adat Bali, Ngurah Oka Supartha. 
Epos abadi Mahabharata memberi isyarat berharga, bagaimana wanita tertekan akhirnya melahirkan generasi cacat fisik maupun mental. Pertama kali, ketika Abhyasa hendak berhubungan intim dengan istrinya, sang istri sangat ketakutan. Ia pun memejamkan mata. Dari sini lahirlah Drestarasta yang buta, fisik maupun batin. Drestarasta pada gilirannya menghasilkan keturunan Seratus Korawa yang licik, culas, dan lapar kekuasaan serta materi. Pada kesempatan kedua, istri Abhyasa yang lain terkejut hingga pucat. Lahirlah Pandu yang lemah dan pucat secara fisik, meskipun pintar dan bijak. Dari sini berlanjut keturunan Panca Pandawa. Terakhir Abhyasa sebenarnya sudah sangat hati-hati. Namun dia rupanya tak bersabar, sehingga tak sengaja kakinya menggebuk paha istrinya saat berhubungan intim. Hasilnya, lahir Widura yang cerdas, namun cacat pincang kakinya. 
Simbolik lain, Batara Kala sebagai Dewa Kematian dikisahkan dalam Kala-tattwa lahir dari penolakan Dewi Uma atas keinginan pasangannya, Dewa Siwa. Karena Siwa tak sabar, air mani pun menetes di samudera. Kelak air mani itu tumbuh menjadi mahluk yang sangat sakti sekaligus mengerikan, diberi nama Batara Kala. 
Kisah-kisah mitologis lain bisa saja ditam-bahkan hingga panjang. Namun, satu hal yang jelas: hari depan generasi, dan karenanya juga peradaban manusia, sangat tergantung pada wanita. Wanitalah divisikan oleh leluhur Bali sebagai penentu watak anak. Sehingga tak berlebihan, memang, bila kearifan tradisi Bali memposisikan wanita sebagai tiang peradaban. 


Wanita paling dasar pengertiannya, kata Oka Supartha, adalah sebagai ibu. Teks-teks susastra-agama di Bali menuliskan ibungku, ibuku, sebagai panggilan bagi wanita. Ibu mengandung janin sembilan bulan, lantas melahirkan dan menyusui anak. Anak meneruskan kehidupan dengan peradabannya. “Bila ibu dirusak, anak yang lahir pun akan ‘cacat’, ya bisa saja ‘cacat’ mental atau cacat rasa kemanusiaan. Pada akhirnya peradaban manusia pun akan runtuh bila dilanjutkan generasi yang tak becus,” tandas Oka Supartha.  Maka, wajar bila susastra-susastra agama yang diwariskan di Bali hingga kini membentangkan pesan agar memuliakan wanita.
Kesucian pikir, kata, dan laku wanita, karenanya, penting dijaga agar jiwanya suci. Dari wanita berjiwa suci dan damai inilah diharapkan bakal lahir anak suputra yang bakal melanjutkan pitra-puja, pemujaan kepada leluhur dan penghargaan pada pencapaian-pencapaian leluhur. Maka, dalam tradisi Bali, wanita pun dikedepankan dalam pembuatan banten hingga menghaturkannya, sedangkan pria kebagian mempersiapkan segala bahannya. Dengan aktif dalam pembuatan banten seorang wanita sesungguhnya sedang dilatih mengendalikan pikir, kata, dan tindaknya agar tetap ning, terarah pada kesucian. “Etika membuat banten memang menggariskan agar orang selalu berada dalam radius pikiran, perkataan, dan perbuatan yang ning, suci,” urai Oka Supartha. 
Bagi mantan Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, Ida Pedanda Pidada Puniatmaja, adalah hakikat alam semesta kesuburan itu dimiliki oleh ibu. Bumi yang subur, tempat semua mahluk hidup tumbuh dan berbiak, ini pun dikenal dengan sebutan Ibu Pertiwi, Ibu Bumi. Sedangkan langit disebutkan sebagai Bapa Akasa. Tanpa wanita sebagai ibu maka tak akan terjadi penciptaan. Pembuahan tak bakal terjadi tanpa wanita. Sebaliknya, kesuburan yang ada pada wanita tak bakal menjadikan penciptaan jika tak dibuahi oleh pria. “Hanya bila laki dan perempuan itu bertemu akan terjadi penciptaan, lahir anak sebagai buah penciptaan,” papar Ida Pedanda.   
Wanita dan laki-laki, karenanya, dalam pemahaman Bali dipandang berposisi setara dan berdampingan. Keduanya hadir dan bertemu untuk melahirkan umat manusia. Lahirlah dari pertemuan wanita dan pria ini atmaja, yakni putra yang lahir dari roh suci ibu dan bapak. Ida Pedanda lantas mengingatkan, “Perlu disadari bahwa wanita dan perempuan sama untuk mewujudkan keluarga yang bakti melalui kelahiran anak yang suputra.” Alur pikir demikian, lanjut Ida Pedanda, kembali menggariskan agar menghormati wanita dan secara keseharian agar menghormati lembaga perkawinan. 
Dalam Hindu, wanita diistilahkan pradana, sedangkan pria disebut purusa. Pengertian ini pun bisa dijelaskan bertingkat-tingkat dari yang sangat ragawi, seperti sosok pria dan wanita, tapi juga bisa dipaparkan secara filsafati. Pedanda Pidada Puniatmaja mengungkapkan, secara filosofis Tuhan sebagai purusa merupakan Paramatman, Dia Yang Agung, Mahakosmis, atau Mahajiwa yang tinggi dan roh pemberi hidup semesta. Ia dibalut oleh sakti atau pradana. Sakti ini adalah kemahakuasaan Tuhan, Hyang Widhi. Beliau memiliki empat sakti, yaitu jnana-sakti (mahatahu), prabhu-sakti (mahakuasa), wibhu-sakti (mahabesar/mahaada), dan kriya-sakti (maha pencipta). 
Begitulah, Paramatman ini bertemu dengan sakti-Nya, sehingga muncullah alam semesta. Purusa memberikan kekuasaan dan Pradana memberikan kasih sehingga alam semesta ini ada. “Seperti halnya  motor, mesinnya adalah pradana dan purusa itu energi yang menggerakkan motor tersebut, sehingga wanita memiliki kedudukan yang sama dan penting dengan pria. Dia memiliki andil terhadap terjadinya kehidupan,” Ida Pedanda memberikan ilustrasi.

Paramatman atau Purusa memberi roh unsur-unsur hidup, zat kehidupan.
Sedangkan Pradana memberikan unsur utama kehidupan, seperti panca maha bhuta (bumi/zat pada, air/zat cair, sinar, angin/udara, dan eter) dan pancatanmatra (gandha, rasa, sparsa, rupa, dan sabda). Dari sini jelas terlihat betapa tingginya kedudukan pradana. “Wanita bisa diartikan di sini sebagai simbol produktivitas,” urai Ida Pedanda. 
Bisa dimengerti bila dalam pengucapan sehari-hari dewa dipasangkan dengan dewi, batara digandengkan dengan batari. Dalam laku sehari-hari di Bali pun, bila seorang suami mawinten (disucikan) menjadi pamangku (rohaniwan pura), istrinya pun diwajibkan ikut mawinten. Si suami menjadi mangku lanang, si istri dinamakan mangku istri. Lanang dan istri masing-masing bentuk ucapan halus atau hormat bagi pria dan wanita. 
Demikian bila si suami menjadi pedanda (pendeta), sang istri pun turut menjadi pendeta, disebut pedanda istri atau wiku tapini. Masing-masing saling menunjang dengan kewenangannya sendiri-sendiri. Pendeta pria akan bertugas memberikan pilihan hari baik suatu upacara lantas mengantarkan upacara itu dengan pujanya, sedangkan pendeta wanita akan memberikan tuntunan jenis banten yang digunakan. Keduanya memiliki batas kewenangan sendiri-sendiri, bukan saling mengungguli. Bahkan, “Kalau pedanda lanang (pendeta laki) tak bisa muput, pedanda istri pun akhirnya berwenang muput,” papar Oka Supartha. Di luar itu, wanita yang tanpa suami pun bisa madiksa atau madwijati (mensucikan diri) menjadi pendeta, namanya pedanda kanya. Maksudnya, pendeta wanita yang tak pernah kawin. 
Secara tepat tradisi Bali menggambarkan kesederajatan purusa dan pradana, laki-laki dan perempuan, itu dengan simbolik Ardhanareswari. Ardha berarti setengah. Nara bermakna laki-laki, sedangkan swari berarti wanita. Ardhanareswari, karenanya, digambarkan sebagai setengah laki-laki setengah perempuan. Tuhan Yang Mahaesa, Mahatunggal itulah divisikan tidak berjenis kelamin laki atau perempuan, melainkan setengah laki-laki dan setengah perempuan. Dalam lingkup praktis, Ida Pedada menafsirkan, “Ini simbolik ajaran bahwa antara purusa dan pradana memiliki kedudukan yang sama. Simbol bahwa Beliau adalah energi mahasadar yang tidak berkelamin. Ardhanareswari itu adalah Dewa Siwa, yaitu kekuatan atau energi yang memiliki daya menghidupkan.”
Dan, adalah menarik manakala belakangan dunia psikologi Barat pun membuktikan daya kewanitaan dan daya kelelakian itu tidak terpisah. Psikoanalis Jerman, Carl Gustav Jung, lewat penelitian panjangnya menyimpulkan: dalam diri seorang lelaki pun ada daya kewanitaan (feminitas, animus), sebaliknya dalam diri seorang wanita juga terdapat daya kelelakian (maskulinitas, anima). 
Daya kewanitaan itu, antara lain, berupa sifat-sifat cinta kasih, penyayang, halus, lembut. Adapun daya kelelakian itu berwujud kekuatan, keperkasaan, ketegasan. Artinya, bila wanita-wanita Bali perkasa bekerja, tegar, itulah tanda kuatnya daya kelelakian (maskulinitas) dalam diri mereka, di samping kelemahlembutannya ketika menari, nanding banten, menjunjungnya, lalu menghaturkannya ke pura. Sebaliknya, bila di samping pekerja keras laki-laki Bali juga dikenal sebagai penari, penabuh, dan seniman kreatif lainnya, dalam pemahaman Jung, itulah isyarat besarnya daya kewanitaan (feminitas) dalam raga lelaki Bali. 
Tak berlebihan bila Ida Pedanda Pidada Puniatmaja mewanti-wanti, “Sangat jelek akibatnya jika merusak wanita. Jika wanita diganggu maka si prialah yang akan menanggung dosanya.” Kenapa? “Ya, ini karena kemuliaan wanita itu sendiri.” 
Dalam kaitan itulah rupanya epos Mahabharata kembali memberikan pelajaran bermakna: bagaimana Korawa dengan keagungan negeri Hastinapura yang mereka warisi akhirnya poranda setelah menghinakan Dewi Drupadi, wanita yang setia kepada para suaminya, Panca Pandawa. Juga Rama dalam kisah klasik Ramayana ditikam duka tiada tara akibat melalaikan kesetiaan Dewi Sita –yang akhirnya melesak ke pelukan Ibu Bumi, setelah membuktikan kemurnian cinta dan setianya kepada Rama lewat unggun api. Adakah ini, kini, masih menyentuh perasaan Anda?

Jung Iryana, I Ketut Sumarta  

No comments:

Post a Comment