Beginilah kami haturkan sembah kami ke hadapan-Mu, Hyang Paramakawi . Karunia beras-Mu kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami ulat-ulat jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu, Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. . Maka, inilah SARAD persembahan kami Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk kayonan cerah makenyah kami letakkan di sisi kiri pamedal genah tawur di...
Tanpa disadari tradisi Bali yang berorientasi pada air tergerus arus tradisi jalan. Dengan jalan-jalan beraspal mengkilat, transportasi memang lancar. Namun orang Bali menjadi kehilangan banyak media komunikasi dengan nyama braya. Saling curiga merebak. Perseteruan antarsesama kian memuncak. Bagaimana mengatasinya? Hilang sudah keceriaan yang biasa direguk Nyoman Sudiasih di kampung halamannya, di Desa Satra, Klung-kung. Masih tergores jelas dalam ingatan ibu satu anak ini, sepuluh tahun lampau, saban senja, seusai membantu orangtua-nya di sawah, ia berendam di Tukad Jinah. Di sana ia mandi sepuasnya bersama-sama dengan orang-orang di kampungnya. “Masa-masa itu sungguh menyenangkan,” kenangnya, berbinar. Meskipun sudah kelas tiga sekolah menengah atas (SMA) ketika itu, toh dia dengan wanita-wanita lain di desanya tetap saja merasa pantas mengecibakkan air yang mengalir deras dan bening di sela-sela bebatuan.