Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Air

Om Swastiastu

SARAD

  Beginilah kami haturkan sembah kami  ke hadapan-Mu,  Hyang Paramakawi .  Karunia beras-Mu  kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami  ulat-ulat  jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu,  Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati  Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung  menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. .   Maka, inilah  SARAD  persembahan kami  Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk  kayonan  cerah  makenyah  kami letakkan di sisi kiri  pamedal genah tawur   di...

Subak Magpag Toya, Kota Makpak Yeh

Di hulu orang gunung khusuk magpag toya, di hilir, perkantoran, pebisnis pariwisata, rakus makpak yeh. Air Bali di ambang krisis. PDAM bisa berubah jadi Perusahaan Daerah Angin Mengalir. Tanggung jawab kelestarian air dan juga kehidupan di Bali kini sepertinya hanya menjadi tanggung jawab para petani subak. Terkesan kuat, hanya pe-tanilah yang berkewajiban melangsungkan upacara-upacara di pura-pura penting berkaitan dengan siklus air itu. Mereka yang bergerak di sektor jasa, di bisnis industri baru? Masing-masing mungkin sudah tahu jawabannya sendiri-sendiri.  Padahal, aci-aci (rangkaian upacara) yang mesti digelar tidaklah kecil. Juga, tidaklah berbiaya murah. Saat hendak memulai ke-giatan di sawah, petani subak sudah menggelar upacara magpag toya (menyambut kedatangan air) sebagai wujud syukur mereka terhadap anugerah Hyang Widhi dalam wujud air. Lalu, berlanjut ke tahapan ngrawit, mulai menanam padi. Terus berlanjut hingga nunas panglanus, mohon air suci agar tanaman subur...

Memelihara Siklus Air, Menjaga Kesucian Jiwa

Air bagi manusia Bali bermakna kehidupan. Bisa juga kesucian. Mengoyak tatanan air, berarti memporakporandakan hidup sendiri. Dengan air jalan roh leluhur bisa dilempangkan, kesucian jiwa dimurnikan. Jagat menggang-menggung. Air tak lagi bersari. Bumi pun tak memberi hasil. Hyang Siwa tepekur. Lalu, diutus-Nya Batara Brahma, Wisnu, dan Iswara menyelamatkan jagatraya seisinya.  Batara Brahma melesak masuk ke dalam bumi, menjadi Naga Anantabhoga. Dari tubuhnya tumbuhlah pepohonan. Daunnya hijau lebat menyejukkan. Bunganya semerbak, buahnya tak terhitung. Dari pepohonan yang tumbuh dari Anantabhoga inilah manusia hidup, memetik kapas, memperoleh sandang, membuat papan. Kelaparan di bumi sontak berubah jadi kemakmuran. Anantabhoga memang berarti sandang, pangan, dan papan (bhoga) yang tiada habis-habisnya (ananta). 

Setelah Pangliman Toya Dilenyapkan

Air subak ‘dibajak’. Saluran irigasi dipotong. Air tanah disedot. Kawasan resapan sepanjang sungai (ruwi) yang secara tradisi tak bertuan, malah disertifikatkan. Siapa bertanggung jawab mengontrol pembangunan fisik yang tak mengindahkan tatanan air ini? Aduh! Bagaimana ini, PDAM? Tiap pagi airnya kok saencrit-saencrit. Kapan gedenya?” keluh seorang ibu suatu pagi dari kawasan Sanglah, Denpasar. “Bagaimana tak mangkel? Sumur saya juga kering. Siapa yang mesti bertanggung jawab. Halo, halo, halo .…” suara si ibu yang disiarkan langsung sebuah radio swasta itu tiba-tiba terputus. Tragisnya, hingga acara keluh-kesah lewat telepon itu usai sejam kemudian, tak ada pihak yang bisa memberikan jawaban melegakan si ibu. Keluh si ibu menguap begitu saja. Padahal, hari itu sejumlah kegalauan tentang air juga muncul dari ibu rumah tangga lainnya di kawasan Tohpati, Monang-Maning, bahkan Ubung. Isinya sama: pasokan air ke rumah kecil, air sumur surut.

Ketika Tradisi Air Digerus Budaya Jalan

Tanpa disadari tradisi Bali yang berorientasi pada air tergerus arus tradisi jalan. Dengan jalan-jalan beraspal mengkilat, transportasi memang lancar. Namun orang Bali menjadi kehilangan banyak media komunikasi dengan nyama braya. Saling curiga merebak. Perseteruan antarsesama kian memuncak. Bagaimana mengatasinya? Hilang sudah keceriaan yang biasa direguk Nyoman Sudiasih di kampung halamannya, di Desa Satra, Klung-kung. Masih tergores jelas dalam ingatan ibu satu anak ini, sepuluh tahun lampau, saban senja, seusai membantu orangtua-nya di sawah, ia berendam di Tukad Jinah. Di sana ia mandi sepuasnya bersama-sama dengan orang-orang di kampungnya. “Masa-masa itu sungguh menyenangkan,” kenangnya, berbinar. Meskipun sudah kelas tiga sekolah menengah atas (SMA) ketika itu, toh dia dengan wanita-wanita lain di desanya tetap saja merasa pantas mengecibakkan air yang mengalir deras dan bening di sela-sela bebatuan.