Di Batur, Kintamani, Desember 1999 lalu berlangsung upacara pabersihan Segara Danu lan Gunung Batur yang menurut pangelingsir Pura Ulun Danu Batur Jero Gede Duwurandan Jro Gede Alitan telah 200 tahun belum pernah dilaksanakan. Usai tawur, lima gandeng perahu yang memuat wewalungan meluncur ke tengah danau lalu berpencar ke arah nyatur: utara,timur, selatan dan barat, serta satu tetap di tengah. Perahu-perahu lain kemudian menyusul, mengangkut para pangayah.
Hujan yang sejak pagi mengguyur deras, mulai reda. Suasana di tengah danau terasa hening. Lima gandeng perahu bermuatan wewalungan (binatang kurban) tadi telah menempati posisi masing-masing, diam menunggu perahu sekaa gong. Penantian yang khusuk itu tiba-tiba digoda suara berderak keras disertai suara byur, byur, byur, susul menyusul. Bunyi mengagetkan itu datang dari sisi utara danau, tempat upacara tawur.
Pakerimik? Ada. Yang berpikir polos menarik kesimpulan, rakitnya terlalu ringkih untuk memuat lebih dari 25 orang sementara krama Jero Gamel bakti dan kebersamaannya besar untuk paras-paros ngaturang ayah saat pakelem. “Yadiastun bakti, kalau berlebihan tentu berakibat kurang baik,” begitu kata mereka.
Ada yang melogikakan spirit Dewi Danu yang dipuja sebagai penguasa air berkehendak agar kehadirannya dirasakan oleh panjak-panjak Sang Dewi. Memang, sejak pagi, yang tetap kering dan hangat adalah Jero Gambel yang menabuh gamelan di bale gong.
Berbagai perkiraan bisa saja disodorkan tapi upacara agama bukanlah apel bendera yang bisa dilatih lewat gladi kotor dan gladi resik. “Semakin besar yadnya dipersembahkan, semakin besar pula gangguan yang menggoda,” ujar Jero Gede saat ditanya tentang kesulitan yang dihadapi selama mempersiapkan yadnya.“Geng karya, geng goda,” katanya.
AS, WS
No comments:
Post a Comment